Kamis, 02 Februari 2017

Zuhairi: Trump dan Dunia Islam



Trump dan Dunia Islam
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dalam pidato pelantikan, Presiden Ke-45 Amerika Serikat Donald Trump secara eksplisit berjanji akan menumpaskan kelompok Islam radikal-teroris. Sikap tersebut mendapat perhatian luas, baik di dalam negeri AS maupun dunia internasional, khususnya dunia Islam.

Jika dilihat dari pidato-pidato Trump selama masa kampanye, pernyataan dalam pelantikan tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, Trump secara eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris. Tetapi, di sisi lain, Trump kerap melakukan generalisasi terhadap Islam. Bahkan, ia akan menerapkan pengawasan yang ketat terhadap imigran Muslim di AS.

Ironisnya, sikap Trump yang cenderung keras dan diskriminatif terhadap Islam berbalik dengan persepsi publik yang jauh lebih positif sejak tragedi World Trade Center. Hal tersebut berkat Obama yang menggariskan kebijakan yang relatif baik dengan dunia Islam di bawah prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan kedua belah pihak.

Meskipun Trump secara eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris, pernyataan tersebut bukan tanpa masalah. Sebab, kelompok teroris di belahan dunia, khusus Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda, sangat menunggu narasi politik AS yang seperti itu. Mereka merasa mendapatkan angin segar untuk mengonsolidasikan gerakan dan melakukan perekrutan lebih agresif. Pasalnya, ideologi anti Barat menjadi salah satu modal penting untuk memperluas jaringan kelompok radikal dan teroris.

Selanjutnya yang menjadi kemuskilan dalam pidato Trump adalah terma radikal-teroris yang diletakkan dalam satu narasi. Sebab, pada dasarnya dua terma tersebut mempunyai haluan yang berbeda. Kelompok radikal belum tentu menjadi teroris, sementara kelompok teroris sudah pasti melalui fase radikalisasi paham keagamaan. Radikalisme adalah tangga sebelum fase seseorang menjadi teroris.

Narasi yang disampaikan Trump tampaknya ingin menyasar semua kelompok radikal dan teroris sekaligus. Artinya, perhatian Trump bukan hanya pada kelompok-kelompok yang sudah diidentifikasi sebagai teroris global, seperti Al Qaeda dan NIIS, melainkan juga kelompok-kelompok yang mempunyai paham radikal.

Menurut William McCants (2016), sikap Trump tersebut bisa dilihat dari kekhawatiran para penasihat politik Trump terhadap kecenderungan beberapa Muslim di AS yang hendak mengusulkan syariat Islam dan hukum Islam sebagai hukum positif. Kecenderungan ini sangat membahayakan bagi AS.

Sebenarnya, menurut McCants, sikap tersebut sangat berlebihan karena kecenderungan implementasi syariat Islam di AS tidak menguat. Orang-orang Muslim di AS merasa nyaman dengan konstitusi yang berlaku sekarang. Bahkan, di dunia Islam, kecenderungan tersebut tidak terlalu menguat meskipun mereka menerapkan syariat Islam pada hukum privat, bukan pada hukum pidana.
Oleh karena itu, Trump harus lebih hati-hati untuk memahami Islam dan dunia Islam. Sebab, generalisasi terhadap Islam akan berdampak yang serius, yang tidak hanya mengancam AS, tetapi juga dapat menciptakan instabilitas politik di dunia.

Melawan terorisme

Kata kunci yang sangat menakutkan dari pernyataan Trump adalah ingin menumpas kelompok radikal-teroris dari muka bumi. Kata-kata tersebut menyimpan suatu dendam, kebencian, dan bernuansa kekerasan.

Padahal, untuk melawan kelompok radikal dan teroris harus menggunakan pendekatan yang bersifat komprehensif. Pendekatan militeristik, jika tidak hati-hati, hanya akan melahirkan spirit terorisme. Dulu, Jemaah Islamiyah ditumpas, lalu muncul Al Qaeda. Kemudian Al Qaeda berhasil ditumpas dan Osama bin Laden dibunuh. Akan tetapi, kemudian muncul NIIS, dan Abu Bakar al-Baghdadi dibaiat sebagai khalifah bagi kelompok teroris yang paling banal itu.

Itu artinya, menumpas kelompok teroris hampir bisa dipastikan mustahil. Yang bisa dilakukan adalah memastikan kelompok-kelompok teroris tidak mendapatkan sokongan dana dan persenjataan serta ada upaya deradikalisasi terhadap ideologi mereka.

Tantangan dunia Islam adalah masifnya ideologi radikalisme. Bukan hanya itu saja, ideologi radikal juga tumbuh di negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa. Ideologi radikalisme dapat menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menggaet seseorang atau kelompok menjadi teroris. Lihat para tentara NIIS yang umumnya berasal dari kelompok radikal di Eropa.

Sikap AS dan Eropa yang cenderung ”membiarkan” terhadap paham dan kelompok radikal akhirnya menjadi senjata makan tuan. Mereka akhirnya melakukan aksi bom bunuh diri di negara yang telah memberinya kebebasan dan kemakmuran.

Maka, melawan terorisme pada dasarnya melakukan deradikalisasi yang sangat serius dan intensif terhadap kelompok-kelompok radikal. Pengalaman Mesir, Arab Saudi, Indonesia, dan Iran dapat menjadi contoh terbaik dalam menanganinya.

Pada dasarnya, mereka yang menjadi radikal sesungguhnya tidak mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang Islam. Mereka mempunyai gairah keislaman yang kuat dalam dirinya, tetapi gairah tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam dan benar tentang Islam. Akibatnya, mereka terjebak dalam ideologi kaum radikal, yaitu ideologi purifikasi dan kekerasan.

Secara umum, ideologi kaum radikal disuplai oleh Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin ala Sayyed Qutb. Kedua ideologi ini menjustifikasi kekerasan dalam menghadapi mereka yang dianggap musuh. Mereka umumnya menggunakan diktum amar ma’ruf nahi munkar dan hisbah.

Perluas kelompok moderat

Oleh karena itu, menurut saya, untuk menghadapi ideologi radikal tidak bisa dengan pendekatan militeristik. Pengalaman Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah patut dijadikan contoh untuk menghadapi kelompok radikal agar tidak menjadi kelompok teroris.

Pendidikan keagamaan dan kebangsaan menjadi salah satu kunci untuk melakukan deradikalisasi. Pengalaman Indonesia menarik. Sebab, meskipun kelompok radikal relatif tumbuh, mereka bisa diantisipasi untuk tidak menjadi teroris. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang terorisme adalah haram menjadi faktor penting untuk meredam keterlibatan kelompok Muslim untuk menjadi teroris.

Pengalaman NU dan Muhammadiyah yang terus mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, dan moderat mempunyai dampak yang serius agar seseorang atau kelompok tidak mudah bergabung dengan kelompok teroris.

Donald Trump mestinya belajar dari Indonesia dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal dan teroris ini. Intinya, perluas kelompok moderat dan berikan peran kepada kelompok moderat untuk melakukan deradikalisasi, maka kelompok radikal dan teroris akan melemah.

Sebaliknya, jika Trump melakukan pendekatan militer an sich, maka hal tersebut akan menjadi bumerang bagi AS dan dunia Islam. Pendekatan tersebut akan menjadi makanan empuk bagi kelompok radikal dan teroris untuk memperluas pengaruhnya di dunia. Di sinilah, dunia sedang deg-deganmenanti kebijakan Trump terhadap kelompok radikal dan teroris. []

KOMPAS, 1 Februari 2017
Zuhairi Misrawi | Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Politik dan Pemikiran Timur Tengah di The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar