Kamis, 23 Februari 2017

Buya Syafii: Tanggapan tanpa Kebencian



Tanggapan tanpa Kebencian
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Penulis “Resonansi” ini tentu merasa bersyukur karena hampir selalu mendapat tanggapan, ada yang sedikit panjang ada pula yang singkat, dari para pembaca budiman yang dimuat di forum komentar di bagian bawah setiap tulisan online di harian ini.

Tidak ada masalah bahwa sebagian tanggapan itu menolak pendapat saya, sedangkan sebagian yang lain merasa mendapatkan sesuatu yang berguna. Semuanya itu penting bagi penulisnya agar kita saling berbagi dan berdialog. Untuk orang yang berupaya mencari kebenaran, perbedaan pendapat adalah amunisi yang perlu dipelihara untuk sama-sama digunakan agar pelor yang ditembakkan mengenai sasaran yang benar. Kebenaran adalah tujuan tertinggi yang harus diraih oleh semua manusia yang berintegritas.

Tetapi, panoramanya akan menjadi lain sama sekali, dalam menyusun tanggapan dari mereka yang tidak setuju sering benar disertai dengan kebencian terhadap seseorang yang tidak disukai. Maka ungkapan sumpah serapah, pengikut liberalisme, antek zionisme, agen Barat, tua bangka, bau tanah, antisyariat, dan ungkapan lain yang beradik-berkakak dengan itu yang diluncurkan begitu saja tanpa adab sama sekali.

Sampai-sampai ejaan nama telah diperkosa demikian rupa, ditulis semau gue. Tanggapan seperti ini tidak layak diberikan oleh manusia beretika. Jika muncul sengketa pendapat, sampaikan dengan jujur dengan argumen yang agak bermutu. Jika tanggapan-tanggapan itu ternyata memang dibangun atas argumen yang lebih kokoh, saya tidak keberatan jadi makmum.

Saya pernah mengutip ungkapan Alexandr Solzhentsyn (11 Desember 1918-3 Agustus 2008), sastrawan Rusia pemenang Hadiah Nobel tahun 1970, yang berasal dari peribahasa bangsa itu: “Sebuah kata kebenaran bobotnya lebih berat dari dunia” (one word of truth outweighs the world). Maka tanggapan berdasarkan kejujuran dan rasionalitas, sekalipun berisi penyanggahan, adalah bagian yang menyatu dengan sikap seorang pencari kebenaran. Sedangkan, sikap benci dan bengis tidak punya bobot sama sekali, akan mudah menghilang dibawa angin lalu.

Oleh sebab itu, jika mau naik kelas, mari kita bersama mengucapkan, “Selamat tinggal kepada segala jenis kebencian dan kebengisan,” karena demikian itulah semestinya karakter orang beradab. Kecuali jika memang tidak mau naik kelas, itu adalah pilihan pribadi.

Yang ironis adalah bahwa tanggapan bernada kebencian itu ditulis oleh mereka yang mengaku beriman, sebagian besar laki-laki, tetapi ada juga jenis perempuan yang tidak kurang bengisnya. Kepada mereka ini semua saya ingin mengingatkan perintah Alquran kepada Nabi Musa dan Harun dalam menghadapi Firaun, sang tiran kelas satu yang mengaku sebagai tuhan tertinggi: “Maka sampaikanlah oleh kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Firaun) tutur kata yang lemah lembut, siapa tahu ia akan ingat atau takut.” (QS Thaha: 44).

Ini adalah akhlak mulia yang diajarkan Alquran dalam menghadapi pihak yang kejam sekalipun. Insya Allah, saya tidak kejam. Sekiranya tuan dan puan tak terbiasa menyusun tutur kata yang lemah lembut, buatlah yang wajar saja, sebab saya sendiri sebagai manusia yang lemah belum tentu selalu dapat menjalankan akhlak Alquran itu, sehingga ada saja pihak yang tersinggung karena merasa sedang berada di titik sasaran. Mohon saya dimaafkan atas segala kelancangan saya dalam bertutur.

Kepada para pembaca yang berhasil menangkap misi tulisan saya dalam “Resonansi” yang sudah berlangsung sekitar 14 tahun serta memberikan dukungan dan doa, adakalanya sedikit berlebihan, disampaikan ribuan terima kasih. Tetapi setiap dukungan itu jangan sampai mengorbankan sikap kritikal, karena kita sama-sama berupaya mencari kebenaran, tidak mencari yang lain. Dalam setiap pencarian kebenaran tanpa disertai sikap kritikal bisa mendorong orang ke jalan buntu, sesuatu yang tidak ada dalam kamus si pencari kebenaran. Oleh sebab itu, jika nada tulisan saya sudah dirasa dan dinilai telah melanggar pematang adab, mohon senantiasa diingatkan agar terhindar dari kubangan kebenaran semu.

Akhirnya, sekali lagi, seandainya memang tulisan saya dinilai telah mengganggu zona aman sebagian besar Anda berdasarkan parameter agama yang benar, maka mintalah dengan baik-baik kepada pimpinan harian Republika ini agar saya tidak lagi dibolehkan mengisi ruang “Resonansi” ini. Saya tidak ingin memberi beban yang tidak perlu kepada para pembaca. []

REPUBLIKA, 21 Februari 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar