Selasa, 07 Februari 2017

Kang Sobary: Sabda Pandita Ratu



Sabda Pandita Ratu
Oleh: Mohamad Sobary

PEMIMPIN Jawa—maksudnya Jawa Ortodoks—berpegang pada etika politik yang dikenal sebagai ‘sabda pandita ratu’. Ungkapan ini menjadi sejenis pedoman tingkah laku yang menekankan bahwa  segenap kata dan tindakan ‘ratu’ tersebut harus bisa dijadikan suri teladan seluruh rakyatnya seperti begitu jelas di dalam makna ‘sabda’, artinya kata, ucapan, pernyataan atau janji.

‘Pandita’ itu simbolisasi dari sikap dan sifat-sifat jujur, memenuhi janji dan tak pernah ingkar, tak pernah bohong. ‘Ratu’, yaitu raja, lambang dari kekuasaan yang besar, sehingga sekali ‘sabda’, sekali janji, sekali berkata, ucapannya didengar seluruh rakyat dan menjadi harapan mereka.

‘Sabda pandita ratu’ itu ibarat tinta hitam di atas kertas putih, yang membekas begitu ‘abadi’. Mungkin ibarat lainnya, ‘sabda pandita ratu’ itu seperti stempel: sekali dicap jadilah buat ‘selamanya’.

Kalau setiap ‘janji’ untuk membikin rakyat makmur dipenuhi, maka rakyat pun makmur. Jadi, sekali ‘sabda’ kumakmurkan rakyatku, maka mulai ‘besok’ sore,  rakyat pun makmur.

Ini bukan sabda-sabdaan, bukan sabda sembarang sabda melainkan ‘sabda pandita ratu’. Dalam ungkapan lain dijelaskan bahwa seutama-utamanya raja ialah raja yang murah hati dan gemar memberi derma, hadiah, sedekah dan sejenisnya sehingga rakyat miskin yang belum terjangkau kebijakan resmi negara bisa dijangkau dengan kebijakan alternatif, yaitu wujud kemurahan hati Baginda.

Ini sudah seutama-utamanya raja? Belum. Masih satu lagi, yang mirip ungkapan yang sudah disebut di atas: raja itu gemar memenuhi janji.

Kalau raja berjanji mau memberantas korupsi -ini dalam konteks ‘raja’ modern- maka korupsi pun diberantas. Raja tak pernah lupa, atau pura-pura lupa. Dan jelas tak boleh sebaliknya: di masa pemerintahannya justru menjadi zaman yang paling korup.

Kalau raja berjanji memberantas korupsi tetapi pemerintahannya malah menandai puncaknya puncak korupsi, berarti raja tidak amanah. Ini raja mencla-mencle esuk dele sore tempe yang rendah budinya.

Kalau raja berjanji memberantas korupsi tetapi aparat penegak hukum yang secara khusus menangani korupsi dengan sepenuh hati dipersulit dan diperkarakan, ini bukan cerminan tindakan pandita, bukan pula gambaran tingkah laku raja yang layak disembah dan diteladani.

Kalau raja seperti ini memerintah lama, apakah lamanya masa kekuasaan memiliki relevansi dengan cita-cita kenegaraan kita? Lamanya masa pemerintahan seorang raja tak selalu ada hubungannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. 

Kekuasaan tak selalu dioperasikan buat menata urusan kesejahteraan rakyat. Banyak raja yang berkuasa sekedar untuk berkuasa.

Ini sekedar merupakan tindak lanjut dari kemenangan politik dalam suksesi antar penguasa, antarraja. Banyak kalangan berpendapat bahwa perjuangan politik itu sekadar untuk meraih kekuasaan. Banyak orang lupa, kekuasaan itu hanya tujuan antara. Tujuan asasi sesudah orang berkuasa? Menjadikan kekuasaan itu sebagai basis hukum dan politik resmi yang sah untuk mengatur hidup rakyat.

Jadikan rakyat makmur. Bikin mereka tertawa dan berbahagia. Ini tujuan asasi perjuangan politik, dan bukan sekedar meraih kekuasaan untuk kekuasaan itu sendiri.

Kita tak bisa menerima sikap salah paham bahwa perjuangan politik itu untuk meraih kekuasaan. Ada hal lain lagi yang harus dilakukan dengan segenap susah payah sesudah kekuasaan di tangan.

Dalam masa sesudah reformasi yang mengakhiri kekuasaan otoriter yang begitu panjang dan menakutkan dulu itu, muncul cita-cita seorang tokoh—mungkin namanya ambisi pribadi—agar ia bisa menjadi presiden. Tak peduli hanya dalam waktu pendek, bahkan andaikata ibaratnya hanya sehari pun tak ada masalah asal ia pernah menjadi presiden.

Belakangan ini terdengar lagi cita-cita -lebih tepat ambisi pribadi- seperti itu. Kabarnya hal itu muncul dari ucapan orang berkedudukan tinggi pula, setidaknya sama tinggi dengan kedudukan orang yang pertama kali mendambakan jabatan presiden biarpun hanya sehari seperti disebut di atas.

Di negeri merdeka yang demokratis ini orang bebas mau apa saja. Tapi apakah ukuran keagungan sebuah tindakan hanya semata karena boleh, tak dilarang dan ada kebebasan hukum maupun politik? Apakah ukuran-ukuran itu sudah segalanya bagi yang bersangkutan, yaitu bagi dua tokoh yang sudah berkuasa dan jaya? Bagaimana pertimbangan etis, dan ajaran agama yang tak membolehkan keserakahan merajalela?

Bagaimana pula ajaran menyukuri apa yang sudah ada, dan cukuplah apa yang sudah ada? Bukankah pemimpin yang bisa bersyukur berarti telah mengajari rakyatnya tanpa kata-kata, tanpa khotbah tapi nyata, lebih nyata, karena menggunakan tindakan mulia?

Lagi pula patut dicatat bahwa ambisi pribadi seperti itu mengandung watak nista. Cita-citanya jelas sangat pribadi. Di sana tak tampak semangat menata kehidupan rakyat dengan baik, untuk membuat mereka makmur dan bahagia.

Jelas bagi kita, yang ada hanya ambisi. Mungkin tingkatnya sudah sedemikian ambisius, Tak peduli hanya sehari, yang penting jadi presiden.

Dilihat dari sudut kehidupan politik kita yang sedang tumbuh dan ibarat tanaman akarnya belum kuat, kok bisa lahir ambisi dari mereka yang sudah punya kedudukan untuk meraih kedudukan yang lebih dan lebih lagi? Kok bisa?

Mungkin jawabnya: bisa saja. Mungkin alasannya: mengapa tidak? Kita tak bisa memahami dengan baik ambisi seperti ini selain menganggapnya sebuah keserakahan. Ambisi masih boleh dan masih bisa diterima, tetapi keserakahan tidak. Sebaiknya, biarpun di dalam politik, kita tak boleh membiarkan keserakahan merajalela di sekitar kita.

Kedua kawan kita ini seperti orang kebelet, yang tak lagi mampu menahan diri dari hasrat menjadi presiden. Sikap kebelet itu hanya bisa disamai dan dijelaskan dengan menggunakan ungkapan orang ‘ngidam’. Perempuan hamil pun -yang aneh-aneh ngidamnya- masih mudah dipenuhi.

Belum pernah ada orang hamil yang ngidam ingin jadi presiden. Tapi di sini, yang ngidam itu orang laki-laki. Dua tokoh sama-sama pernah ngidam ingin jadi presiden.

Ini fenomena menarik kelihatannya. Ngidam boleh tapi jangan melompati batas pagar orang. Ngidam boleh tapi tak merugikan negara. Dan bagaimana dengan gagasan ‘sabda pandita ratu’ itu? Mengapa tak pernah terdengar suatu cita-cita dari para tokoh untuk mati-matian berjuang menegakkan keadilan dengan semangat mewujudkan gagasan ‘sabda pandita ratu’ tersebut?

Di sini tak dikenal ungkapan ‘mencla-mencle, esok dele sore tempe’. Mungkin ini tanda sikap orang murahan. Biasanya gampang dan cepat berjanji tapi tak pernah mampu untuk memenuhinya. Di dunia politik hal ini terjadi tiap saat, seolah memang menandai bahwa politik memang begitu.

Mereka yang memiliki sifat seperti ini jelas gambaran sifat murahan tadi. Dalam gagasan kekuasaan Jawa, sumber kekuasaan bukan rakyat, melainkan Tuhan. Kekuasaan juga dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Maka muncullah pepatah; raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Ini semua terserah bagaimana Tuhan mengaturnya. []

KORAN SINDO, 4 Februari 2017  
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.  Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar