Jumat, 10 Februari 2017

BamSoet: Kerugian Negara dalam Tipikor



Kerugian Negara dalam Tipikor
Oleh: Bambang Soesatyo

AKURASI dan kecepatan menjadi tantangan baru dalam kerja pemberantasan korupsi, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan keharusan data actual loss keuangan atau kerugian negara dalam penanganan kasus Tipikor.

Mau tak mau, respons KPK, Polri, dan BPK atas putusan MK itu adalah penguatan koordinasi, demi kecepatan dan akurasi kerja tim. Keputusan MK yang mewajibkan data actual loss keuangan atau kerugian negara dalam penanganan kasus Tipikor (tindak pidana korupsi) itu menghadirkan sejumlah konsekuensi logis dalam kerja pemberantasan korupsi.

Seperti diketahui, pada Rabu (25/1), MK memutuskan menghapus kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31/1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Konsekuensinya, delik korupsi yang sebelumnya dipahami sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat. Maka, dalam kasus Tipikor, faktor kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti.

Dengan demikia n , KPK, Polri dan Jaksa Penuntut harus bisa menyajikan angka kerugian negara sebelum menetapkan status sebuah Tipikor hingga ke persidangan. Bunyi keputusan MK yang demikian ini tentu saja memancing perdebatan, khususnya di kalangan pegiat antikorupsi. Dengan berbagai argumentasi yang berpijak pada sejumlah pertimbangan hukum dan moral, keputusan MK itu dikhawatirkan akan menghambat kerja pemberantasan korupsi.

Namun, keputusan sudah dibuat dan wajib dilaksanakan oleh penegak hukum. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menetapkan: ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara —-dst.”

Adapun Pasal 3 menetapkan: ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ….dst.”

MK berpendapat, frasa ”dapat” dalam pasal 2 (1) dan pasal 3 UU Tipikor itu inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dua pasal itu menumbuhkan rasa takut di kalangan pejabat pemerintah pengambil keputusan. Karena menjadi delik formil, dalam pratiknya sering disalahgunakan oknum penegak hukum, antara lain melakukan kriminalisasi dengan alasan dugaan penyalahgunaan wewenang.

MK pun menegaskan, ”Kriminalisasi kebijakan terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata ”dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum.” Memang, pertimbangan MK cenderung sebagai respons atas aspirasi atau langkah pemerintah mendorong para pejabat di pusat dan daerah untuk berani menempuh diskresi untuk mengakselerasi pembangunan, dan tidak takut dikriminalisasi.

Sering Disalahgunakan

Menurut MK, delik formil sebagai konsekuensi dari frasa ”dapat” sering disalahgunakan untuk menyergap banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk diskresi yang belum ditemukan landasan hukumnya. Akibatnya, banyak pejabat publik takut mengambil kebijakan, karena khawatir dikenakan pasal Tipikor.

Kalau dibiarkan, kecenderungan seperti ini bisa berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Terlihat bahwa dalam memperbarui Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipiklor itu, pertimbangan MK tidak sektoral atau semata-mata pertimbangan teknis hukum, melainkan pertimbangan yang menyeluruh.

MK coba membangun kepastian hukum sambil mendorong pejabat pemerintah di semua tingkatan untuk berani menggunakan wewenang menempuh diskresi dengan pembangunan. Pada sisi yang lain, penguatan kedua pasal itu mendorong semua penegak hukum untuk bertindak profesional, kredibel dan berintegritas agar tidak lagi dicurigai melakukan kriminalisasi.

Seperti halnya dengan ungkapan tebang-pilih, kata kriminalisasi yang popular dalam beberapa tahun belakangan ini lebih dimaknai sebagai tuduhan atau kritik kepada semua institusi penegak hukum. Ketika banyak pejabat pembuat keputusan takut dikriminalisasi, persoalannya tentu menjadi lain dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Maka, keputusan MK atas dua pasal pada UU Tipikor itu bisa juga dipahami sebagai jalan keluar pemecah kebuntuan. Proses menetapkan sebuah masalah sebagai kasus Tipikor sudah berubah, tidak sesederhana seperti sebelumnya. Bahkan, kewenangan penyidik untuk menetapkan sebuah kasus dengan pijakan ”diduga melakukan Tipikor yang merugikan negara… sejatinya telah dicabut oleh keputusan MK melalui perubahan atas dua pasal dalam UU Tipikor itu.

Penyidik berwenang menetapkan kasus Tipikor setelah kasus Tipikor itu menyajikan fakta kerugian negara yang nyata dan pasti. Boleh jadi, kerja pemberantasan korupsi memerlukan rumusan strategi baru karena terkait dengan wewenang menghitung kerugian negara akibat kasus Tipikor itu. Maka, baik KPK, Polri dan BPK harus memperkuat koordinasi dan kerja sama, agar pemberantasan korupsi tidak terhambat oleh ketentuan baru dari MK itu.

Bisa dibuat kesimpulan bahwa penguatan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipiklor itu bertujuan mendorong penegak hukum bekerja lebih keras pada tahapan investigasi kasus dan pengumpulan dokumen-dokumen yang menjadi bukti kasus Tipikor. Hasil investigasi dan pengumpulan dokumen belum cukup untuk menetapkan sebuah kasus Tipikor. Penyidik harus berkoordinasi lagi dengan instansi yang berwenang dan kapabel dalam menghitung dan memastikan adanya kerugian negara. []

SUARA MERDEKA, 10 Februari 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar