Selasa, 07 Februari 2017

(Ngaji of the Day) Fiqh Medsos: Suarakan Haq Tinggalkan Hoax



Fiqh Medsos: Suarakan Haq Tinggalkan Hoax

Zaman jahiliyah opini tergantung ungkapan para penyair, jika pujangga tersebut memuji sesuatu, masyarakat Arab saat itu turut memujinya. Sebaliknya jika mereka mengumpat sesuatu maka rakyat pun beramai-ramai latah mencaci sesuatu tersebut.

Ketika Islam datang dengan Al-Qurán, yang kalamnya lebih indah, lebih bermakna, di situlah masyarakat Arab berbondong-bondong masuk Islam. Ini salah satu kekuatan mukjizat Al-Qurán, redaksinya dapat memukau dan menggetarkan hati bagi yang mendengarnya.

Perkembangannya kemudian, kekuatan opini bukan lagi dikendalikan para penyair, akan tetapi wartawan, para kuli tinta. Mereka dianggap sebagai kekuatan perubahan sosial, tapi itu sudah berlalu. Kini dominasi opini itu digerakkan oleh kekuatan media sosial (medsos). Informasi dunia maya ini melesat cepat merubah mindset dan perilaku manusia. Parahnya medsos dijadikan alat provokasi, fitnah dan caci maki, dengan menghalalkan segala cara (الغاية تبرر الوسيلة) karena semestinya kaidah yang benar adalah "tujuan tidak boleh menggunakan segala cara kecuali dengan dalil" (الغاية لاتبررالوسيلة الا بالدليل).

Informasi hoax yang massif dan bergentayangan di tengah masyarakat dari satu gadget ke gadget yang lain disantapnya tanpa sensor, seolah menjadi kebenaran. Informasi hoax sudah dianggap sebagai berita haq, fakta yang mutawatir, hal ini sunggguh memprihatinkan. 

Apakah penyebar hoax mengira, medsos merupakan alat perang, sehingga tipu daya dan hoax dibenarkan (الحرب خدعة). Jika berkeyakinan menganggap medsos disamakan dengan ‘medan peperangan’ sungguh keliru besar. 

Saya berharap anggapan tersebut hanya salah persepsi. Medsos adalah sarana komunikasi dan informasi, sehingga alangkah indahnya, jika ia dijadikan media silaturrahim, media pemberi nasehat kebaikan, pendidikan, kesehatan, dan informasi aktual positif lainnya. Karena media adalah upaya untuk meraih sebuah gool idea, antara sarana dan tujuan sehinga mempunyai bobot hukum yang sama (الوسائل لها احكام المقاصد).

Di tengah perkembangan teknologi informasi yang begitu kuat dan mudah, dimana informasi berita dapat dinikmati oleh siapa pun dan dimana pun berada, kita dituntut untuk lebih arif dan hati-hati dalam menyikapi informasi yang diterima. Informasi yang diterima jangan langsung ditelan mentah-mentah dan langsung disebarkan kepada orang lain. Akan tetapi informasi tersebut harus dicari keabsahannya, sehingga ketika di sebar tidak menimbulkan fitnah atau masalah baru.

Lebih dari 14 abad yang lalu, Al-Qurán sudah memperingatkan tentang bahaya menyebarkan kebencian dan aib orang lain serta bahaya fitnah. Bagi mereka yang suka menggunjing dan menyebarkan kebencian dan aib orang lain, diibaratkan orang yang memakan bangkai temannya sendiri, sebagaimana termaktub dalam surat al-Hujurat ayat 12;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Menebar kebencian saja dilarang apalagi sampai pada persoalan fitnah. Fitnah digambarkan dalam al-Quran sebagai sesuatu yang lebih kejam dari pembunuhan. Hal ini termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 191;

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ

...dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.
Menurut Tenaga Ahli Bidang Diseminasi Informasi Publik Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Ismail Cawidu, ciri-ciri mengenali berita hoax adalah:

“Pertama, biasanya berita-berita itu ada kata-kata di bawahnya “agar disebarluaskan”. Itu pasti. Itu ciri pertama. “Agar dishare, jangan berhenti di anda”. Itu salah satu ciri. Kemudian kalau kita mau menguji, buka di media lain apakah berita tersebut juga dimuat oleh media lain. Kalau tidak dimuat, tidak ada media yang memuat, itu salah satu ciri bahwa berita itu hoax. Kemudian penggunaan kalimat itu bisa diketahui, bisa dikenali dan diketahui. Biasanya bahasa-bahasanya itu dalam bahasa yang bersifat instruktif, bahasa-bahasa yang tidak biasa seperti sebuah berita yang layaknya berita bagus. Kemudian kalau itu foto, pasti bisa diketahui kalau karena ada logikanya foto ini foto apa. Kemudian secara fisik bisa dibuktikan bahwa foto ini tidak benar. Jadi kalau hoax itu bukan hanya berita, termasuk foto, video, disebut hoax karena tidak mengandung kebenaran.”
Sebegitu besarnya informasi hoax yang mengarah pada kebencian dan fitnah, penulis mengajak netizen (masyarakat internet) untuk lebih cerdas dalam mencerna informasi yang beredar. Sebelum informasi disebar, mari kita cek kebenarannya, jika informasi tersebut salah, jangan kita sebar lalu kita ingatkan orang memberikan informasi tersebut. Jika informasi itu benar dan bermanfaat bagi orang lain, barulah kemudian kita sebar.  Dalam hal ini Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. Al-Hujarat [49]: 6).

Ayat tersebut merupakan landasan “fiqh medsos”, perintah Allah yang mengajarkan akhlak dan adab tentang pentingnya keharusan meminta klarifikasi dan validasi suatu informasi, terutama berita yang tidak bertuan akan sumber dan fakta kebenarannya. Salah-salah jika tidak mengindahkan etika tersebut berakibat menzalimi pihak lain, seperti pencemaran nama baik, atau perbuatan tidak menyenangkan yang pada akhirnya akan berhadapan hukum baik KUHP maupun UU ITE. []

NU ONLINE, 05 Januari 2017
Sa'dullah Affandy | Katib Syuriyah PBNU dan Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar