Jumat, 24 Februari 2017

(Ngaji of the Day) Shalat Sunah Qabliyyah Tanpa Shalat Tahiyyatul Masjid



Shalat Sunah Qabliyyah Tanpa Shalat Tahiyyatul Masjid

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pak ustadz, saya ingin menanyakan seputar shalat dua rakaat ketika masuk masjid atau yang dikenal dengan sebutan shalat tahiyyatul masjid. Pertama, apa makna shalat tahiyyatul masjid? Kedua, apabila kita masuk masjid kemudian duduk, apakah anjuran melakukan shalat tahiyyatul masjid gugur? Ketiga, ketika kita masuk masjid mengingat waktunya begitu sempit kemudian kita langsung melakukan shalat qabliyyah, bolehkah kami menggabungkan niat shalat sunah qabliyyah dengan shalat tahiyyatul masjid? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Ahmad Majid – Pekalongan

Jawaban:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba untuk menjawab pertanyaan yang ketiga atau yang terakhir. Makna shalat tahiyyatul masjid adalah perwujudan dari salam penghormatan kepada masjid.

Sedangkan yang dimaksudkan adalah memberikan salam penghormatan kepada Sang Pemilik Masjid, yaitu Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan pada kesempatan sebelumnya. Karena itu maka yang menjadi poin penting adalah adanya shalat ketika masuk masjid sebagai bentuk salam kepada Allah.

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَطْلُوبَ مِنْ دَاخِلِ الْمَسْجِدِ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ لِيَكُونَ ذَلِكَ تَحِيَّةً لِرَبِّهِ تَعَالَى

Artinya, “Walhasil bahwa yang diminta (dianjurkan) dari orang yang masuk ke dalam masjid adalah hendaknya ia melakukan shalat di dalamnya sebagai bentuk salam penghormatan kepada Pemiliknya Yang Maha Luhur,” (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2000 M, juz II, halaman 18).

Atas dasar penjelasan singkat ini, maka setidaknya dapat dipahami bahwa ketika ada seseorang yang masuk ke dalam masjid kemudian melakukan shalat qabliyyah maka shalat tahiyyatul masjid sudah termasuk di dalamnya. Dengan catatan orang tersebut tidak menafikannya dalam niat ketika takbiratul ihram.

Dari sini kemudian kita bisa memahami pendapat dari para ulama madzhab Syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi—yang menyatakan bahwa tidak disyaratkan niat shalat tahiyatul masjid.

Karenanya ketika ia shalat dua rakaat dengan niat shalat sunah mutlak atau shalat sunah rawatib atau selainnya, atau bahkan shalat fardlu baik shalat ada`, qadla, atau nadzar maka hal itu sudah dianggap cukup. Konsekuensinya ia mendapat pahala sesuai dengan apa yang diniatkan sekaligus juga mendapatkan pahala tahiyyatul masjid.

قَالَ اَصْحَابُنَا وَلَا يُشْتَرَطُ اَنْ يَنْوِيَ بَالرَّكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ بَلْ إِذَا صَلَّي رَكْعَتَيْنِ بِنِيَّةِ الصَّلَاةِ مُطْلَقًا أَوْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ نَافِلَةً رَاتِبَةً أَوْ غَيْرَ رَاتِبَةٍ أَوْ صَلَاةَ فَرِيضَةٍ مُؤَدَّاةً أَوْ مُقْضِيَّةً أَوْ مَنْذُورَةً أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَحَصَلَ لَهُ مَا نَوَى وَحَصَلْتْ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ ضِمْنًا وَلَا خِلَافَ

Artinya, “Para ulama dari kalangan madzhab kami (madzhab Syafi’i) berpendapat bahwa tidak disyaratkan seseorang untuk berniat shalat tahiyyatul masjid dua rakaat, bahkan apabila ia shalat dua rakaat dengan niat shalat sunah mutlaq atau niat shalat dua rakaat shalat sunah rawatib atau selain rawatib, atau shalat fardlu baik shalat ada`, qadla, atau yang dinazdarkan maka hal teresebut dia anggap mencukupi dan ia mendapatkan sesuai dengan niatnya termasuk di dalamnya shalat tahiyyatul masjid. Dalam hal ini tidak ada perselisihan pendapat di antara mereka,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 544).

Lebih lanjut, menurut mereka, bahwa ketika seseorang niat shalat fardlu dan tahiyyatul masjid atau niat shalat rawatib dan tahiyyatul masjid, maka keduanya bisa peroleh sekaligus. Atau dengan kata lain mengabungkan niat shalat fardlu dengan tahiyyatul masjid atau shalat rawatib dengan tahiyyatul masjid adalah diperbolehkan dan tetap mendapatkan dua pahala sekaligus.

قَالَ اَصْحَابُنَا وَكَذَا لَوْ نَوَى الْفَرِيضَةَ وَتَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ أَوْ الرَّاتِبَةَ وَتَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ حَصَلَا جَمِيعًا بَلَا خِلَافٍ

Artinya, “Para ulama dari kalangan madzhab kami menyatakan, ‘Begitu juga apabila ia berniat shalat fardli dan shalah tahiyyatul masjid atau berniat shalat rawatib dan tahiyyatul masjid maka keduanya bisa diperoleh semuanya. Dalam hal ini tidak ada perselisihan pedapat di antara mereka,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 544).

Lantas apa logika atau argumentasi yang bisa diketengahkan untuk mendukung pandangan tersebut? Salah satu argumen yang bisa diajukan di sini adalah bahwa yang menjadi poin penting atau intinya adalah adanya shalat ketika masuk masjid sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Sedangkan ketika seseorang masuk masjid kemudian langsung menjalakan shalat apakah itu shalat fardlu atau rawatib, maka hal itu telah tercapai. Begitu juga ketika seseorang niat shalat fardlu dan niat tahiyyatul masjid misalnya, keduanya dapat diperoleh. Dengan kata lain mendapatkan pahala keduanya.

)وَتَحْصُلُ بِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ آخَرَ ) سَوَاءٌ نُوِيَتْ مَعَهُ أَمْ لَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَلَاةٍ قَبْلَ الْجُلُوسِ ، وَقَدْ وُجِدَتْ بِمَا ذُكِرَ ، وَلَا يَضُرُّهُ نِيَّةُ التَّحِيَّةِ لِأَنَّهَا سُنَّةٌ غَيْرُ مَقْصُودَةٍ خِلَافَ نِيَّةِ فَرْضٍ وَسُنَّةٍ مَقْصُودَةٍ فَلَا تَصِحُّ

Artinya, “Shalat tahiyyatul masjid bisa didapatkan dengan shalat fardlu atau shalat sunah yang lain baik shalat tahiyyatul masjid diniati bersamaan shalat fardlu atau sunah maupun tidak. Sebab, intinya adalah adanya shalat sebelum duduk di masjid dan hal itu sudah terwujud sebagaimana disebutkan. Dan niat shalat tahiyyatul masjid tidak merusak shalat tersebut karena shalat tahiyyatul masjid adalah termasuk sunah yang tidak ditentukan (sunah gharu maqshudah). Berbeda dengan niat shalat fardlu bersamaan dengan shalat sunnah yang sudah ditentukan. Dalam kasus ini shalatnya tidak sah,” (Lihat Jalaluddin Al-Mahali, Syarhu Minhajit Thalibin, dalam Hamisy Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, Syarikatu Maktabah wa Mathba’ah Ahmad Said bin Nabhan, juz I, halaman 215).

Berangkat dari penjelasan di atas maka impulannya adalah diperbolehkan menggabungkan niat shalat sunah qabliyyah dengan tahiyyatul masjid. Bahkan seandainya tidak niat tahiyyatul masjid tetap tahiyyatul masjid dapat diraih. Artinya juga mendapatkan pahala shalat qabliyyah sekaligus tahiyyatul masjid.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar