Rabu, 04 Januari 2017

Shambazy: Kita dan Tiongkok



Kita dan Tiongkok
Oleh: Budiarto Shambazy

Tiba-tiba beredar fitnah sudah ada sekitar 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok di Indonesia. Padahal, jumlah mereka menurut data resmi hanya sekitar 21.000 orang atau sekitar sepertujuh dari jumlah TKI di Hongkong (Tiongkok) yang mencapai sekitar 153.000. Apa pun isu tentang Tiongkok paling enak ”digoreng” di republik ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun sempat diterpa fitnah bahwa ayahnya orang Tiongkok di Singapura.

Setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965, kita keliru memperlakukan warga keturunan Tiongkok. Ketika itu, hubungan kita dengan Tiongkok terbilang mesra. Tak heran Bung Karno dianggap pro Tiongkok walau sinyalemen itu belum tentu benar.

Beberapa tahun sebelum 1965, situasi politik Indonesia relatif kurang stabil. Hampir setiap tahun, terutama pada akhir tahun, beredar rumor tentang suksesi Bung Karno, baik melalui kudeta maupun cara damai. Dua nama yang sering disebut berpotensi sebagai ”putra mahkota” adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dan Ketua Umum PKI DN Aidit.

Sering terdengar rumor tentang kesehatan Bung Karno yang dianggap menurun cukup signifikan, di antaranya konon menderita penyakit ginjal yang kelak isapan jempol. Gosip mengenai itu konon bersumber dari hasil pemeriksaan seorang dokter yang khusus didatangkan dari Tiongkok.

Belakangan terungkap dokter itu warga Indonesia keturunan Tiongkok, salah seorang dokter yang dipercaya Bung Karno. Lalu, gosip itu berlanjut seolah-olah Beijing telah memberikan restu kepada Aidit ”mengambil alih” posisi Bung Karno yang sakit-sakitan. Sejumlah akademisi Barat berpendapat PKI akan memenangi persaingan politik dan Indonesia akan menjadi ”negara satelit” Tiongkok.

PKI bertambah kuat karena Bung Karno memutuskan pembentukan ”angkatan kelima” (setelah AD, AL, AU, dan kepolisian) yang bakal didominasi orang-orang komunis. Sempat pula mencuat informasi tentang senjata yang diimpor dari Tiongkok. Tahun 1965, kondisi Indonesia diistilahkan ”hamil tua”.

Saya masih ingat PKI merayakan ulang tahunnya besar-besaran pada Mei 1965. Mereka mengerahkan ratusan ribu kader berpawai dalam skala raksasa di berbagai jalan protokol di Jakarta. Mereka membawa poster-poster besar yang menampilkan wajah tokoh-tokoh komunis. Pawai sungguh meriah, tak heran jika sebagian pakar di Amerika Serikat berpendapat Indonesia akan ”jatuh ke tangan komunis”.

Pada kenyataannya itu tak terjadi. G30S justru jadi awal kehancuran PKI dan orang- orang yang dianggap komunis. Penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka terjadi di sejumlah daerah, terutama di Jawa dan Bali. Entah berapa banyak korban tewas—kisarannya 700.000 sampai lebih dari 1 juta—dan yang dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru. Penangkapan, pembunuhan, dan pemenjaraan itu dianggap cukup kolosal dalam sejarah.

Warga membakari kantor PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tak jauh dari kantor PKI tersebut ada pula kantor milik Pemerintah Tiongkok yang diduduki TNI dan mahasiswa. Ada belasan aset Pemerintah Tiongkok yang dirampas/dibekukan pasca G30S. Aset-aset tersebut di antaranya lahan bekas Kedutaan Besar Tiongkok di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat.

Indonesia menuduh Tiongkok sebagai pihak di balik G30S, tuduhan yang serius. Oleh karena itu, kita membekukan hubungan diplomatik tahun 1967. Terlalu naif menyimpulkan Tiongkok bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Walau begitu, Beijing dicap sebagai kambing hitam oleh rezim Orde Baru. Akibat tuduhan keblinger inilah peranakan Tiongkok merasakan perlakuan yang diskriminatif.

Sejak itulah kita terjebak dalam politik kebencian ”ganyang China” yang diskriminatif dan keras. Politik itu yang menjadi subkultur kekerasan yang setiap kali bangkit jika terjadi ketegangan politik, terakhir saat pecahnya kerusuhan Mei 1998.

Secara lebih sistematis lagi kaum peranakan Tiongkok mengalami diskriminasi yang kejam. Sebagian dipaksa ganti nama, sekolah-sekolah mereka ditutup, perayaan hari besar Imlek dilarang dirayakan dan mereka dikenai pembatasan untuk melamar pekerjaan di jajaran birokrasi pemerintah atau memasuki perguruan tinggi/akademi militer.

Di lain pihak, segelintir etnis pengusaha Tiongkok justru mendapat kesempatan besar berbisnis ala ”Ali-Baba”. Mereka menjadi Baba alias cukong yang menyuap sang pejabat, si Ali, mempraktikkan bisnis-bisnis raksasa yang menggurita dan koruptif. Pada periode kekuasaan Orde Baru itu pula kita buta apa yang terjadi dengan Tiongkok.

Kini, hubungan bilateral kita dengan Tiongkok makin dekat secara politis, ekonomi, dan budaya. Jika merujuk pada pengalaman 1965 sampai dibekukannya hubungan 1967, kita sebagai bangsa besar semestinya lebih matang, tak lagi berlaku diskriminatif terhadap ”orang Tiongkok” yang juga saudara-saudara kita sendiri. Benarkah? []

KOMPAS, 31 Desember 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar