Kita dan
Tiongkok
Oleh:
Budiarto Shambazy
Tiba-tiba
beredar fitnah sudah ada sekitar 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok di
Indonesia. Padahal, jumlah mereka menurut data resmi hanya sekitar 21.000 orang
atau sekitar sepertujuh dari jumlah TKI di Hongkong (Tiongkok) yang mencapai
sekitar 153.000. Apa pun isu tentang Tiongkok paling enak ”digoreng” di
republik ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun sempat diterpa fitnah bahwa
ayahnya orang Tiongkok di Singapura.
Setelah
Gerakan 30 September (G30S) 1965, kita keliru memperlakukan warga keturunan
Tiongkok. Ketika itu, hubungan kita dengan Tiongkok terbilang mesra. Tak heran
Bung Karno dianggap pro Tiongkok walau sinyalemen itu belum tentu benar.
Beberapa
tahun sebelum 1965, situasi politik Indonesia relatif kurang stabil. Hampir
setiap tahun, terutama pada akhir tahun, beredar rumor tentang suksesi Bung
Karno, baik melalui kudeta maupun cara damai. Dua nama yang sering disebut
berpotensi sebagai ”putra mahkota” adalah Menteri Panglima Angkatan Darat
Jenderal Ahmad Yani dan Ketua Umum PKI DN Aidit.
Sering
terdengar rumor tentang kesehatan Bung Karno yang dianggap menurun cukup
signifikan, di antaranya konon menderita penyakit ginjal yang kelak isapan
jempol. Gosip mengenai itu konon bersumber dari hasil pemeriksaan seorang
dokter yang khusus didatangkan dari Tiongkok.
Belakangan
terungkap dokter itu warga Indonesia keturunan Tiongkok, salah seorang dokter
yang dipercaya Bung Karno. Lalu, gosip itu berlanjut seolah-olah Beijing telah
memberikan restu kepada Aidit ”mengambil alih” posisi Bung Karno yang
sakit-sakitan. Sejumlah akademisi Barat berpendapat PKI akan memenangi
persaingan politik dan Indonesia akan menjadi ”negara satelit” Tiongkok.
PKI
bertambah kuat karena Bung Karno memutuskan pembentukan ”angkatan kelima”
(setelah AD, AL, AU, dan kepolisian) yang bakal didominasi orang-orang komunis.
Sempat pula mencuat informasi tentang senjata yang diimpor dari Tiongkok. Tahun
1965, kondisi Indonesia diistilahkan ”hamil tua”.
Saya
masih ingat PKI merayakan ulang tahunnya besar-besaran pada Mei 1965. Mereka
mengerahkan ratusan ribu kader berpawai dalam skala raksasa di berbagai jalan
protokol di Jakarta. Mereka membawa poster-poster besar yang menampilkan wajah
tokoh-tokoh komunis. Pawai sungguh meriah, tak heran jika sebagian pakar di
Amerika Serikat berpendapat Indonesia akan ”jatuh ke tangan komunis”.
Pada
kenyataannya itu tak terjadi. G30S justru jadi awal kehancuran PKI dan orang-
orang yang dianggap komunis. Penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka terjadi
di sejumlah daerah, terutama di Jawa dan Bali. Entah berapa banyak korban
tewas—kisarannya 700.000 sampai lebih dari 1 juta—dan yang dipenjarakan atau
dibuang ke Pulau Buru. Penangkapan, pembunuhan, dan pemenjaraan itu dianggap
cukup kolosal dalam sejarah.
Warga
membakari kantor PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tak jauh dari kantor
PKI tersebut ada pula kantor milik Pemerintah Tiongkok yang diduduki TNI dan
mahasiswa. Ada belasan aset Pemerintah Tiongkok yang dirampas/dibekukan pasca
G30S. Aset-aset tersebut di antaranya lahan bekas Kedutaan Besar Tiongkok di
Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat.
Indonesia
menuduh Tiongkok sebagai pihak di balik G30S, tuduhan yang serius. Oleh karena
itu, kita membekukan hubungan diplomatik tahun 1967. Terlalu naif menyimpulkan
Tiongkok bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Walau begitu, Beijing dicap
sebagai kambing hitam oleh rezim Orde Baru. Akibat tuduhan keblinger inilah
peranakan Tiongkok merasakan perlakuan yang diskriminatif.
Sejak
itulah kita terjebak dalam politik kebencian ”ganyang China” yang diskriminatif
dan keras. Politik itu yang menjadi subkultur kekerasan yang setiap kali
bangkit jika terjadi ketegangan politik, terakhir saat pecahnya kerusuhan Mei
1998.
Secara
lebih sistematis lagi kaum peranakan Tiongkok mengalami diskriminasi yang
kejam. Sebagian dipaksa ganti nama, sekolah-sekolah mereka ditutup, perayaan
hari besar Imlek dilarang dirayakan dan mereka dikenai pembatasan untuk melamar
pekerjaan di jajaran birokrasi pemerintah atau memasuki perguruan
tinggi/akademi militer.
Di lain
pihak, segelintir etnis pengusaha Tiongkok justru mendapat kesempatan besar
berbisnis ala ”Ali-Baba”. Mereka menjadi Baba alias cukong yang menyuap sang
pejabat, si Ali, mempraktikkan bisnis-bisnis raksasa yang menggurita dan
koruptif. Pada periode kekuasaan Orde Baru itu pula kita buta apa yang terjadi
dengan Tiongkok.
Kini,
hubungan bilateral kita dengan Tiongkok makin dekat secara politis, ekonomi,
dan budaya. Jika merujuk pada pengalaman 1965 sampai dibekukannya hubungan
1967, kita sebagai bangsa besar semestinya lebih matang, tak lagi berlaku
diskriminatif terhadap ”orang Tiongkok” yang juga saudara-saudara kita sendiri.
Benarkah? []
KOMPAS,
31 Desember 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar