Senin, 23 Januari 2017

Sri Mulyani: Pertumbuhan tidak Kurangi Kemiskinan



Pertumbuhan tidak Kurangi Kemiskinan
Oleh:  Sri Mulyani Indrawati

SAYA melihat di seluruh dunia banyak negara yang mengalami ketimpangan pesat dari mulai 0,35% sampai mendekati 0,5%. Bahkan di Amerika Latin sampai 0,7%. Artinya betul-betul cuma segelintir orang yang merasakan kesejahteraan. Brasil dikatakan sukses karena Presiden Lula mengoreksi dari 0,7% jadi 0,6%. Itu dalam satu dekade menjadi presiden. Satu upaya yang luar biasa keras. Indonesia saat mencapai 0,4% alarm berbunyi. Ini berbahaya. Komentar datang dari mana-mana, media massa, masyarakat, partai politik, hingga stakeholder, dan ini disuarakan. Presiden Jokowi merespons dengan berbagai kebijakan karena kita tidak ingin naik lagi.

Ini tidak mudah karena harus berlanjut dalam jangka menengah. Kalau kita lihat angka kemiskinan, yang harus diwaspadai adalah pertumbuhan kita tidak bisa mengurangi kemiskinan secara lebih cepat. Intervensinya bukan hanya melalui cash transfer, tapi juga memotong tali kemiskinan antargenerasi. Kalau keluarga miskin tidak bisa memberikan nutrisi anak mereka sejak di dalam perut sehingga anak tidak sehat, tidak punya akses kesehatan, tidak punya akses pendidikan, pasti anak mereka akan miskin dan cucu mereka juga demikian. Inilah kemiskinan antargenerasi.

Inilah yang dipotong dan akhirnya diciptakan kartu pintar, kartu kesehatan. Mungkin ini sifatnya terlihat populis, tapi ini kebijakan yang harus dilakukan. Dari sisi stabilitas, inflasi dan nilai tukar bisa mengalami stabilitas dengan komparasinya di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri secara historis dan di luar dengan negara-negara setara kita. Inflasi 2016 ialah yang terendah dalam satu dekade terakhir dan nilai tukar kita bisa bertahan atau bahkan mengalami apresiasi cukup sedikit di 2016, ketika seluruh dunia mengalami pelemahan di saat dolar AS mengalami penguatan luar biasa.

Daya saing

Eksternal ekspor dan impor serta cadangan devisa kita relatif comfortable. Kalau kita lihat, cadangan devisa di atas US$100 miliar dengan ekspor dan impor yang selalu kita buat imbang. Yang paling penting adalah capital inflow atau arus modal karena mereka percaya terhadap prospek dan stabilitas ekonomi Indonesia. Bagaimana kita melihat tantangan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Kita lihat dalam konteks hari ini berarti berbicara mengenai konteks tentang bagaimana memberantas kemiskinan, bagaimana mengurangi ketimpangan, bagaimana membuat masyarakat kita produktif memiliki daya saing.

Dari sisi institusi karena orang sering lupa bahwa keberhasilan suatu negara maju dia tidak hanya berdasarkan hanya dari pembangunan fisik, dia juga membutuhkan pembangunan institusi. Institusi harus memiliki tata kelola yang baik, bersih, dan efektif. Ada institusi yang bersih, tetapi dia tidak efektif maka tidak banyak berguna juga. Dia bagus untuk inspirasi, tetapi tidak mampu untuk melayani masyarakat. Jadi, kita perlu institusi yang tata kelolanya baik, bersih, tetapi efektif. Ini adalah tantangan pembangunan bagi banyak negara di dunia.

Saya dalam kapasitas pekerjaan saya sebelumnya melihat banyak negara di dunia mengalami apa yang disebut middle income trap. Dia biasanya mampu dari negara miskin, yaitu pendapatannya di bawah US$1.000 per kapita menjadi sekitar US$3.000-US$3.500. Kemudian dia stuck saja di sana. Lama-lama sampai mendekati US$10 ribu-US$11 ribu per kapita, tetapi dia tidak pernah naik menjadi high income country. Biasanya ciri-cirinya ialah tata kelola dan institusi yang bersih dan efektif sangat tertinggal dari kemajuan ekonominya sehingga waktu muncul kelas menengah masyarakat yang menginginkan aspirasi pemerintahan yang bersih yang berfungsi dan akuntabel, selalu dikecewakan.

Kekecewaan terus-menerus, apalagi menjadi penyakit yang sangat sering terjadi, adalah munculnya apa yang disebut elite capture. Ada sekelompok elite atau biasanya elite di dekat mereka yang sudah menguasai negara tersebut, yang hanya terus-menerus memfokuskan policy-nya untuk kebaikan elite itu sendiri, dan itu terjadi di banyak negara. Apakah itu namanya menjadi oligarki, atau menjadi kronisme, namanya bisa macam-macam. Tetapi Anda bisa lihat dari Afrika hingga Timur Tengah, Rusia, Amerika Latin, Asia, banyak negara yang tidak pernah bisa lepas dari elite capture itu, biasanya mereka mengalami trap di tengah. Ini adalah salah satu pekerjaan rumah yang sangat luar biasa di dalam institusi. Makanya kami di Kementerian Keuangan dari 10 tahun lalu hingga sekarang berbicara tentang reform. Itu karena saya percaya Indonesia berhak dan harus memiliki institusi yang kuat dan bersih serta akuntabel.

Tanggung jawab kemenkeu

Karena berbicara tentang Kementerian Keuangan, menjadikan APBN sebagai instrumen yang menjadi tanggung jawab kami. APBN merupakan instrumen pembangunan yang luar biasa penting. Di dalam menciptakan tidak hanya pertumbuhan, tetapi mendekatkan kita kepada tujuan menyejahterakan masyarakat yang adil dan makmur. Seperti sebuah APBN banyak negara, dia terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dari sisi pendapatan negara, kalau kita lihat, tren 10 tahun terakhir peningkatan dari sisi revenue atau penerimaan. Namun, kalau tadi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang terutama didorong komoditas, Indonesia dalam hal ini, kami belum mampu untuk meng-capture-nya dalam bentuk penerimaan pajak yang cukup besar.

Ini adalah PR yang cukup besar kalau kita lihat dari rasio penerimaan kita mengalami penurunan. Ini yang kemudian muncul indikator bahwa Indonesia dianggap sebagai negara yang inequality dan bahkan sudah masuk kepada sektor-sektor yang dianggap di-capture dan tidak mampu kita pajaki sehingga benefit dari sektor tersebut, terutama pertambangan, infrastruktur besar hanya dianggap menguntungkan untuk kelompok yang di atas daripada kelompok yang di bawah.

Kegiatan pertambangan di Indonesia ketika economic boom pada saat komoditas tinggi, dia tidak membayar pajak sehingga negara tidak mampu melakukan redistribusi. Ini pekerjaan rumah yang luar biasa besar. Kalau sekarang kita melakukan tax amnesty karena kita yakin bahwa kita perlu melakukan deklarasi dan melihat, melakukan pemetaan terhadap potensi penerimaan negara. Belanja negara telah mencapai Rp2.080 triliun dan ini peningkatan yang cukup besar. Namun, kalau dilihat dari GDP kita, sebetulnya juga tidak terlalu besar. Jadi, kalau kita lihat APBN Indonesia, kita mampu untuk lari atau belanja lebih banyak apabila kita mampu mengumpulkan penerimaan yang lebih banyak. []

MEDIA INDONESIA, 20 January 2017
Sri Mulyani Indrawati | Menteri Keuangan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar