Jumat, 13 Januari 2017

Al-Audah ila Iktisyaf Tsauratina, Kitab Pusaka Presiden Soekarno



Al-Audah ila Iktisyaf Tsauratina, Kitab Pusaka Presiden Soekarno


Kitab berjudul “al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ” ini bernilai keramat. Kitab ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1959 oleh al-Dâr al-‘Arabiyyah li al-‘Ulûm, dengan tebal 68 halaman. Saya mendapatkan salinan kitab ini dari perpustakaan Biblioteka Alexandria, Mesir.

Apa istimewanya kitab “al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ” ini?

Kitab ini merupakan terjemahan dari buku berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang berasal dari pidato Presiden Republik Indonesia Soekarno pada hari kemerdekaan RI yang ke-14 (17 Agustus 1959).

Dalam pidatonya, Soekarno mengulas berbagai persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Pemikiran pidato ini kemudian menjadi Garis Besar Haluan Negara pada pemerintahan Soekarno.

Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia”, setelah sebelumnya Presiden Soekarno mencangkan sistem demokrasi terpimpin dalam mengatur pemerintahan. Berdasarkan Tap MPRS No. I/MPRSI1960, pidato itu kemudian ditetapkan sebagai garis-garis besar haluan negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan penyelesaian revolusi.

Di kancah perpolitikan dunia Arab pada masa itu, kitab ini punya pengaruh yang sangat besar. Kitab ini berisi tentang pandangan-pandangan revolusioner Soekarno yang saat itu ditahbiskan sebagai pemimpin Asia-Afrika, penggagas “Gerakan Non-Blok”, sekaligus pengilham kemerdekaan negara-negara dunia ketiga.

Terlebih lagi Mesir, yang saat itu baru menjalani 7 (tujuh) tahun masa revolusi (Juli 1952) yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser. Tokoh revolusioner Nasser yang saat itu menjadi presiden Mesir dan dijuluki “Za’îm al-‘Âlam al-‘Arabî” (Pemimpin Dunia Arab) menyatakan dirinya sebagai murid gerakan revolusi Soekarno. 

Antara Nasser dan Soekarno terjalin hubungan persahabatan yang sangat erat. Dihitung dari tahun 1959, Presiden Soekarno sebelumnya sudah mengunjungi Mesir sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada 1955 dan 1958.

Keberadaan kitab ini menjadi saksi bisu jika pada masa itu Indonesia yang belum genap 17 tahun masa kemerdekaan sudah memiliki pengaruh yang besar di kancah dunia Arab, menjadi “guru” bagi para pemimpin negara-negara Arab yang saat itu baru merdeka dari penjajahan Inggris dan Prancis.

Lebih dari itu, Indonesia bahkan sudah mampu “mengekspor” ideologi, gagasan, dan kebijakan nasionalnya.

Dalam halaman terakhir kitab “al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ”, misalnya, dibuatkan glossary tentang falsafah kerakyatan dan kenegaraan Indonesia, seperti Pancasila (al-Mabâdi al-Khamsah) yang dalam bahasa Arab diterjemahkan butir-butirnya dengan; (1) al-Îmân billâh, (2) al-Insâniyyah, (3) al-Qaumiyyah al-Indûnisiyyah, (4) Siyâdah al-Sya’b, dan (5) al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah. Pancasila adalah ideologi hasil ijtihad para pediri bangsa-negara Indonesia yang memanifestasikan perpaduan nilai-nilai luhur keagamaan dan nasionalisme.

Selain Pancasila, tertulis juga tentang “al-Ta’addud fî al-Wihdah” (Bhinneka Tunggal Ika). Dijelaskan disana, bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah (أي أن إندونيسيا بالرغم من تعدد أقاليمها وقبائلها تكون وحدة متماسكة), yakni “bahwasannya Indonesia meskipun terdiri dari berbagai wilayah dan bangsa yang berbeda-beda, namun bersatu dalam kesatuan yang teguh”.

Terdapat juga falsafah hidup khas Nusantara yang diulas di glossary kitab ini, yaitu “al-Ta’âwun al-Musytarak” atau Gotong Royong.

Keberadaan kitab ini sezaman dengan kitab-kitab karangan ulama Nusantara yang ditulis dan diterbitkan di Timur Tengah pada saat itu, seperti Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Mandailî, Syaikh ‘Abd al-Hamîd al-Khatîb al-Minangkabâwî al-Makkî, Syaikh Muhammad Yâsîn ibn ‘Îsâ al-Fâdânî, Syaikh Marzûqî al-Batâwî, Syaikh Ihsân ibn Dahlân al-Jamfasî al-Kedîrî, dan lain-lain.

Di tahun yang sama dengan terbitnya kitab “al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ” ini (1959), seorang ulama besar Nusantara, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), diundang untuk datang ke Universitas Al-Azhar Kairo untuk menerima gelar doktor honoris causa (duktûrah al-syaraf). []

A. Ginanjar Sya’ban, Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar