Jumat, 13 Januari 2017

Azyumardi: Halaqah Pesantren (4)



Halaqah Pesantren (4)
Oleh: Azyumardi Azra

Dalam halaqah pesantren, sekali lagi dikaji apakah dengan perubahan substansi dan kelembagaannya berpengaruh pada ‘ideologi’ pesantren. Hemat saya, secara umum pondok dan/atau pesantren masih tetap menganut ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, baik Aswaja NU maupun Ahl al-Sunnah Muhammadiyah dan ormas-ormas arus utama lain yang juga kian giat mengembangkan pesantren.

Dengan tetap memegangi paham dan praksis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, pesantren tetap pula pertama-tama menjadi lokus penerusan dan penguatan Islam Nusantara atau Islam Indonesia berwatak Islam wasathiyyah  distingtif. Fungsi ini dapat disebut sebagai pemeliharan dan penguatan tradisi Islam Indonesia. Fungsi lainnya adalah transmisi ilmu Islam, dan terakhir sebagai lokus kaderisasi calon ulama. 

Mencermati perkembangan dan dinamika pondok atau pesantren, perlu kategorisasi pondok atau pesantren. Setidaknya kini dua kategori pesantren. Pertama, pesantren Salafiyah yang menganut paham dan praksis Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah; dan kedua Pesantren Salafi yang berpegang pada paham dan praksis Salafi—termasuk Wahabi.

Meski terjadi banyak perubahan besar di pesantren, saya mengasumsikan, mayoritas pesantren masih tetap dimiliki para kiyai NU. Juga kian banyak pesantren Muhammadiyah, al-Washliyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan (NW) dan ormas arus utama lain, serta jaringan Pondok Moderen Gontor baik yang langsung dikelola atau didirikan para alumni.

Tantangan terhadap pesantren Islam washatiyyah datang dari pesantren salafi yang kelihatan cukup berkembang belakangan ini. Pesantren salafi pada dasarnya tidak menganut ideologi ‘Aswaja’ atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, tetapi ideologi ‘Salafi’. Pesantren Salafi sebaliknha menganut paham dan praksis salafi yang menekankan ‘Islam murni’ seperti dipraktikkan kaum Salaf. Pesantren Salafi menolak kompromi dengan keindonesiaan semacam penghormatan pada bendera merahputih dan lagu Indonesia Raya.

Tetapi perkembangan ini memerlukan penelitian lebih jauh tentang pesantren berideologi Salafi, khususnya tentang kurikulum, proses pembelajaran, posisi dan peranan kiai, sub-kultur dan viabilitasnya di tengah masyarakat.

Jika asumsi saya di atas benar—bahwa mayoritas pesantren sebagai lembaga induk masih dimiliki ormas arus utama—maka lingkungan ideologi keagamaan Islam wasathiyah inklusif dan akomodatif juga tetap bertahan. Dengan demikian, bisa diharapkan pandangan dunia yang menerima dan menghormati kemajemukan, inklusivitas dan toleransi tetap pula bertahan dan bahkan punya peluang untuk dikembangkan lebih jauh.

By the same token, literalisme syariah—yang mungkin terdapat pada ‘pesantren’ berideologi Salafi—sulit berkembang di lingkungan pesantren NU dan juga di pesantren milik ormas Islam arus utama lain. Penekanan yang tetap masih kuat pada tasawuf dan tarekat di kalangan NU khususnya—yang merupakan part and parcel dari ideologi ‘Aswaja’—membendung tumbuhnya literalisme syariah atau fiqh di lingkungan pesantren NU.

Mempertimbangkan realitas pesantren dan lingkungan Islam lebih luas baik di tingkat nasional, regional dan internasional, pesantren dapat menjadi lokus utama bagi proses internasionalisasi Islam wasathiyyah. Sejak Peristiwa 11 September 2001 kian banyak kalangan pejabat tinggi asing yang berkunjung ke pesantren dan akhirnya melihat pesantren sebagai lembaga alternatif untuk mencegah bertumbuhnya paham dan praksis keislaman radikal.

Dalam konteks itu, pesantren perlu meningkatkan proses internasionalisasi. Internasionalisasi itu dapat dibangun dengan memperkuat dan memberdayakan jaringan pondok/pesantren di lingkungan ASEAN. Melalui jaringan ini dapat diperkuat paham dan praksis Islam wasathiyah.

Selanjutnya, pesantren dapat mengembangkan sendiri jaringannya dengan lembaga pendidikan Islam di mancanegara lebih luas—khususnya Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Para pemikir dan praktisi pendidikan pesantren dapat membantu pengembangan lembaga pendidikan Islam di mancanegara tidak hanya dalam hal pendidikan saja, tapi juga dalam sosialisasi dan penguatan paham dan praksis Islam wasathiyyah. 

Bekerja sama dengan Kemenag, Kemendikbud dan lembaga filantropy Islam untuk penyediaan beasiswa, pesantren dapat meningkatkan jumlah para santri mancanegara, tidak hanya dari negara-negara ASEAN, tapi juga dari Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Pesantren juga dapat bekerjasama dengan NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang memiliki bobot, leverage, dan jaringan luas untuk membangun networks dengan para pimpinan, organisasi dan lembaga mancanegara, sehingga lebih memungkinkan rekrutmen para santri interasional.

Dengan internasionalisasi baik di tingkat ASEAN maupun mancanegara lebih luas, pesantren dan mereka yang terlibat dalam segala prosesnya dapat meningkatkan aktualisasi dan peran Islam rahmatan lil-‘alamin. []

REPUBLIKA, 12 Januari 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar