Rabu, 04 Januari 2017

(Ngaji of the Day) Hukum Praktik Bisnis Pejabat Tinggi Negara



Hukum Praktik Bisnis Pejabat Tinggi Negara

Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Kami ingin menanyakan tentang hukum pejabat tinggi negara seperti menteri, gubernur, bupati, atau pejabat negara lain yang memiliki kewenangan tertentu melakukan bisnis, di mana dengan jabatan dan kewenangan yang disandangnya berpotensi untuk membuat kebijakan yang dapat menguntungkan bisnisnya dan merugikan pihak lain.

Yang ingin kami tanyakan, bagaimana hukum pejabat tinggi negara melakukan bisnis di bidang yang masih ada hubungan dengan kewenangannya? Atas penjelasaanya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Agus B – Jakarta Selatan

Jawaban:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketika seseorang memangku jabatan seperti menteri, gubernur, bupati, camat, atau jabatan-jabatan lain, maka ia sebenarnya sedang menerima amanat yang cukup berat.

Mereka adalah para pemimpin masyarakat. Sedangkan para pemimpin adalah abdi atau pelayannya. Karena itu kemudian dikatakan sayyidul qaum khadimuhum (pemimpin umat adalah pelayan mereka). Karenanya, sudah sepatutnya para pejabat tersebut sigap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa pandang bulu.

Para pejabat itu dengan segala kewenangan yang melekat pada dirinya jelas tidak boleh mempergunakannya untuk kepentingan pribadi misalnya untuk kepentingan bisnisnya. Karena hal ini menyalahi amanat yang diembannya.

Ketika seseorang pejabat yang memiliki kewenangan tertentu kemudian dengan kewenangannya membuat kebijakan yang menguntungkan bisnisnya, maka hal ini akan menimbulkan persoalan serius.

Al-Bahuti salah seoarang ulama dari kalangan Madzhab Hanbali menyoroti bisnis yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara seperti hakim dan yang lainnya. Menurutnya, hukum pejabat berbisnis adalah makruh.

Jika seoarang hakim misalnya ingin berbisnis, sebaiknya ia menggunakan perantara atau wakil yang tidak diketahui publik. Hal ini penting untuk menghindari adanya perlakukan khusus atau istimewa. Sebab, perlakuan istimewa itu statusnya seperti hadiah. Demikian juga dengan pejabat tinggi negara yang lain.

وَيُكْرَهُ بَيْعُهُ ) أَيْ الْقَاضِي ( وَشِرَاؤُهُ إلَّا بِوَكِيلٍ لَا يُعْرَفُ بِهِ ) أَيْ : أَنَّهُ وَكِيلُهُ لِئَلَّا يُحَابِيَ وَالْمُحَابَاةُ كَالْهَدِيَّةِ ( وَلَيْسَ لَهُ ) أَيْ الْقَاضِي ( وَلَا لِوَالٍ أَنْ يَتَّجِرَ ) لِحَدِيثِ أَبِي الْأَسْوَدِ الْمَالِكِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ مَرْفُوعًا مَا عَدَلَ وَالٍ اتَّجَرَ فِي رَعِيَّتِهِ أَبَدًا

Artinya, “Dimakruhkan bagi seorang hakim untuk melakukan jual-beli kecuali melalui wakil yang tidak dikenal publik untuk menghindari adanya perlakuan istimewa karena hal itu seperti hadiah. Dan tidak boleh bagi hakim begitu juga penguasa untuk berbisnis atau berniaga karena didasarkan kepada hadits marfu`yang diriwayatkan oleh Abul Aswad Al-Maliki dari bapaknya dari kakeknya, “Selamanya tidak akan pernah berbuat adil seseorang penguasa yang melakukan bisnis atau perniagaan di tengah rakyanya’,” (Lihat Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, Daqa`iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha, Bairut, Alamul Kutub, 1996 M, juz III, halaman 500).

Namun hukum makruh itu tidak berlaku apabila pejabat yang bersangkutan memang membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dengan kata lain, negara tidak memberikan tunjangan atau gaji yang mencukupi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar RA yang melakukan perniagaan di pasar, sehingga para sahabat memutuskan untuk memberikan tunjangan kepada beliau agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya serta keluarganya.

وَإِنْ احْتَاجَ إلَى التِّجَارَةِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يَكْفِيهِ لَمْ تُكْرَهْ لَهُ لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَصَدَ السُّوقَ لِيَتَّجِرَ فِيهِ حَتَّى فَرَضُوا لَهُ مَا يَكْفِيهِ وَلِوُجُوبِ الْقِيَامِ بِعِيَالِهِ فَلَا يَتْرُكُهُ لِوَهْمِ مَضَرَّةٍ

Artinya, “(Berbeda kasusnya, pent) apabila ia memang perlu untuk melakukan bisnis karena memang ia tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya, maka tidak dimakruhkan. Sebagaimana Abu Bakar RA yang menuju ke pasar untuk melakukan perniagaan, dan (melihat hal tersebut, pent) para sahabat berinisiatif untuk memberikan tunjangan kepada beliau untuk memenuhi kebutuhannya, di samping memang adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga karenanya beliau tidak perlu meninggalkannya karena madarat yang masih belum jelas (mawhumah),” (Lihat Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, Daqa`iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha, juz III, halaman 500-501).

Dalam kasus bisnis yang dilakukan oleh pejabat negara, Ibnu Khaldun telah memberikan peringatan yang cukup keras. Menurutnya, bisnis yang dilakukan penguasa akan merugikan rakyat dan dapat mengurangi pendapatan negara.

Hal ini dapat kita lihat dalam Mukaddimah Tarikh Ibnu Khaldun di mana ia menulis bagian atau pasal khusus mengenai bisnis yang dilakukan oleh penguasa. Yaitu pasal tentang bisnis yang dilakukan penguasa itu bisa menyengsarakan rakyat dan mengurangi pendapatan negara.

فِى أَنَّ اَلتِّجَارَةُ مِنَ السُّلْطَانِ مُضِرَّةٌ بِالرَّعَايَا وَمَفْسِدَةٌ لِلْجِبَايَةِ

Artinya, “Bagian tentang bisnis yang dilakukan oleh penguasa itu cenderung memberikan dampak negatif pada kesempatan usaha oleh masyarakat atau swasta, dan merusak pendapatan negara,” (Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2001 M, juz I, halaman 346).

Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan para pejabatnya untuk tidak melakukan bisnis. Karena dikhawatirkan para pejabat akan melakukan monopoli dan membuat kebijakan yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri pejabat tersebut. Hal ini bisa kita pahami dari penyataannya yang didokumentasikan oleh Ibnu Abdil Hakam berikut ini.

وَنَرَى أَنْ لَا يَتَّجِرَ إِمَامٌ وَلَا يَحِلَّ لِعَامِلٍ تِجَارَةٌ فِي سُلْطَانِهِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ فَإِنَّ الْأَمِيرَ مَتَى يَتَّجِرُ يَسْتَأْثِرُ وَيَصُبُّ أُمُورًا فِيهَا عَنَتٌ وَإِنْ حَرَصَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ

Artinya, “Kami berpandangan bahwa seorang imam atau pemimpin sebaiknya tidak melakukan bisnis dan tidak halal juga bagi seorang pejabat melakukan bisnis dalam wilayah kekuasaaanya. Sebab, pemimpin ketika melakukan bisnis maka (dikhawatirkan, pent) akan melakukan monopoli dan mengalirkan hal-hal yang di dalamnya mengandung kerusakan (membuat pelbagai kebijakan yang negatif, pent) meskipun ia sebenarnya tidak ingin melakukannya,” (Lihat Ibnu Abdil Hakam, Siratu Umar ibni Abdil Aziz, Beirut, Alamul Kutub, 1404 H/1984 M, halaman 87).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka dalam pandangan kami maka tidak elok (makruh) bagi para pejabat tinggi negara yang sudah jelas-jelas mendapatkan gaji dan tunjangan yang cukup besar melakukan bisnis atau terlibat bisnis dengan pihak lain. Karena dikhawatirkan pejabat tesebut memanfaatkan jabatan dan kewenanganya untuk menguntungkan bisnisnya. Bahkan bisa jadi haram, apabila memang benar-benar jabatan yang melekat pada dirinya disalahgunakan untuk merugikan pihak lain. Karena sebagai pejabat ia dituntut untuk berlaku adil.

Para pejabat tinggi negara selama masih menjabat sebaiknya mengindari praktik bisnis yang masih ada hubungannya dengan wilayah kewenangannya karena untuk menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith tharqiq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar