Kamis, 05 Januari 2017

Buya Syafii: Krisis Politik di Turki (2)



Krisis Politik di Turki (2)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sisi gelap akibat konflik dalam sistem kekuasaan sepanjang sejarah, khususnya di dunia Muslim, sudah banyak dibicarakan para ahli. Karya Prof. Mahmoud M. Ayoub di bawah judul: The Crisis of Muslim History (Religion and Politics in Early Islam), terbitan Oxford: Oneworld Publications, 2009, membantu kita untuk memahami konflik politik masa dini itu. Ternyata dalam realitas politik, bukanlah sebuah perkara mudah untuk mengawinkan Islam dengan sistem kekuasaan, sekalipun Alquran telah memberi rambu-rambu utama yang jelas tentang itu, seperti adanya sistem musyawarah, prinsip keadilan, dan ajaran persamaan. Rintangannya tidak bersumber pada ajaran, tetapi terletak pada ketidaktaatan penguasa Muslim untuk berpedoman kepada rambu-rambu itu. Fenomena ini telah berlaku tidak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW  pada 632 masehi.

Maka apa yang sedang terjadi di Turki sekarang bukan sesuatu yang baru, sekalipun sangat disesalkan karena tumpuan harapan kepada negara ini menjadi sirna lagi. Saya yang sudah puluhan tahun mencoba memahami kaitan agama dan kekuasaan, akhirnya harus menelan pil pahit, karena titik ujungnya tidak kunjung kelihatan. Islam sering benar tidak berdaya berhadapan dengan kelakuan penguasa Muslim yang semau gue memainkan simbol-simbol agama untuk mempertahankan kekuasaan duniawi. Tidak jarang dengan stempel ulama. Erdogan kini sedang berada dalam sorotan tajam ini. Saya tidak menggunakan sumber-sumber Barat, tetapi melulu dari sumber penulis Turki dalam tulisan ini.

Menurut catatan Mustafa Akyol dalam artikelnya berjudul “Gulenist Crisis Sets off Intra-Islamic Debate in Turkey” yang diposkan pada 2 September 2016, menyebut nama Prof. Mustafa Cagrici, mantan mufti Istanbul, seorang teolog. Belum lama ini pernyataan Cagrisi telah memicu kontroversi karena pendapatnya dalam ungkapan: “perlunya mempertanyakan komunitas-komunitas Islam.” Yang dipertanyakan bukan hanya pengikut Gulen, tetapi katanya banyak komunitas Muslim lain masih percaya  kepada mitos Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang akan muncul di akhir zaman. 

Padahal, kata Cagrici, kepercayaan serupa itu tidak terdapat dalam Alquran. Mitos-mitos ini, tulis Cagrici, “muncul dari informasi keagamaan yang bengkok, diproduksi selama berabad-abad,” dan pengikut Gulen telah mengubahnya menjadi sebuah bahaya karena kemampuan mereka mendapatkan kekuasaan yang besar. Seperti kita maklum, Erdogan bahkan memasukkan gerakan Gulen ini sebagai gerakan teror. Akibatnya, masyarakat Turki terbelah dan saling mencurigai. Ini jelas sebuah malapetaka, saat Turki sedang berjuang keras untuk masuk dalam lingkungan Uni Eropa, sebuah tikungan yang berliku. Belum lagi betapa beratnya menangani pengungsi Suriah yang tumpah ke negara itu.

Persisnya apa yang terjadi, saya tidak tahu, tetapi pengikut-pengikut Gulen yang tulus jelas tidak menyadari sisi gelap dari gerakan yang ditengarai berbau Imam Mahdi ini. Mereka adalah korban belaka. Inilah komentar Mustafa Akyol tentang gejala ini: “Masalah-masalah teologis yang kita lihat dalam komunitas Gulen sebenarnya berakar dalam tradisi Sunni yang melepaskan diri dari individualisme dan rasionalisme sebagai ongkos bagi ketaatan dan mistisisme. Kepercayaan yang kuat pada apokalitisme—bahwa kita sedang berada di ‘akhir zama dan seorang penyelamat diperlukan’—juga sesuatu masalah yang umum pada berbagai kelompok Muslim, semuanya memandang pemimpinnya sendiri sebagai seorang yang sedang ditunggu itu.”

Akyol benar. Ini bukan hanya terdapat di Turki, tetapi di berbagai bagian dunia Muslim di saat nalar umat tidak kuasa lagi menjelaskan dan menanggung krisis yang sedang dialami. Anggota masyarakat lalu mencari solusi yang bersifat apokalistik itu. Apalagi di Turki, gerakan sufi demikian kuat, sebuah gerakan spiritual yang tidak mustahil bisa berimpitan dengan kepercayaan apokalitisme itu. Dengan terbelahnya masyarakat Turki dan adanya penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang dikategorikan sebagai pengikut Gulen, wibawa Erdogan tentu semakin berkurang. 

Umumnya jika kewibawaan melemah, maka seorang penguasa akan menempatkan keluarga dekatnya sebagai perisai bagi pengamanan kekuasaannya. Ini bisa mendorong bagi terciptanya sistem politik dinasti. Akankah Turki akan bergerak mundur menuju sistem politik yang ketinggalan zaman itu? Kita bicarakan selanjutnya. []

REPUBLIKA, 04 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar