Saat NU Jadi Oposisi
Pemerintah Orde Baru
Bisa dikatakan era Orde Baru atau rezim pemerintahan Soeharto, Nahdlatul Ulama mengalami kondisi yang tidak mudah. Selain mengalami diskriminasi golongan, NU juga mengalami represi dari pemerintahan Soeharto. NU saat itu termasuk ormas yang kerap berseberangan dengan pemerintah, bahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengkritik Soeharto dalam tulisan-tulisannya.
Pada 1973,
pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai mempraktikkan
kehidupan politik yang represif. Langkah paling mendasar adalah memaksa
partai-partai bergabung satu sama lain (fusi).
Kacung Marijan dalam
Quo Vadis Setelah NU Kembali ke Khittah (1992) menjelaskan bahwa penyederhanaan
yang dikonsep oleh Ali Moertopo tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, tujuan
jangka pendek, yaitu mempertahankan stabilitas nasional dalam kelancaran
pembangunan dalam menghadapi pemilu.
Kedua, tujuan jangka
panjang, penyederhanaan partai secara konstitusional sesuai ketetapan No.
XXII/MPRS/1966. Gagasan ini, katanya, tidak hanya berarti pengurangan jumlah
partai, tetapi lebih penting dari itu adalah perombakan sikap dan pola kerja
menuju orientasi pada program.
Seluruh partai Islam
bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, serta partai nasionalis dan
Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU)
bergabung dengan tiga partai muslim lain, menjadi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Berdirinya PPP diumumkan pada Januari 1973.
Penggabungan menjadi
PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima bagi kebanyakan politikus NU.
Kiai-kiai NU di tubuh partai memegang prinsip bahwa dalam kondisi sulit dan
terdesak yang dibutuhkan adalah kemudahan (al-masyaqqah tajlibut taysir).
Martin van Bruinessen
dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1944)
menerangkan bahwa KH Idham Chalid dan kawan-kawan terdekatnya, langsung
menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih dahulu bermusyawarah
dengan anggota PBNU lain. Dapat dimengerti jika hal ini memunculkan
ketidakpuasan di lingkungan NU. Namun, semua tampaknya setuju untuk berbuat
yang terbaik dalam kondisi baru ini tinimbang menantang secara aktif.
NU bertahan sebagai
komponen khusus, sekaligus utama, dalam PPP. NU dengan gencar mempertahankan
kepentingan faksionalnya. NU adalah partai yang jauh lebih besar dibanding
partai-partai lain yang bergabung dalam PPP. Dua di antaranya PSII dan Perti,
partner lamanya dalam Liga Muslimin. Kedua partai ini sangat kecil.
Perti bahkan hanya
memiliki pendukung di lingkungan etnis (kaum tradisionalis Minangkabau dan
Aceh). Satu-satunya partner signifikan NU di PPP adalah Parmusi. Menurut hasil
pemilu 1971, Parmusi mendapat 24 kursi di DPR, sementara NU 58, PSII 10, dan
Perti 2 kursi. (Untuk perbandingan: Golkar mendapatkan 226 kursi dan
partai-partai yang kelak bergabung dalam PDI mendapatkan 40 kursi).
Dalam konflik-konflik
itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan. Bagi NU, peleburan diri ke
dalam PPP seperti kembali ke masa ia menjadi bagian dari Masyumi. Tidak sulit
meramalkan sebagian problem dan konflik lama meledak kembali ke permukaan, kecuali
jika ketimpangan antara kekuasaan massa pendukung yang besar dan jumlah
politikus yang berkeahlian dapat diatasi dengan baik.
Yang lebih penting
lagi, Rais ‘Aam NU Kiai Bisri Syansuri juga menjadi presiden Majelis Syuro PPP,
dewan ulama yang menurut teorinya dapat mengeluarkan fatwa yang secara
konstitusional harus diikuti partai. Berulangkali, saat-saat kritis selama
1970-an, Kiai Bisri mengeluarkan keputusan tegas tentang pendirian partai.
Kiai Bisri adalah
pemimpin yang sangat berbeda dengan Kiai Wahab Chasbullah. Ia kurang memiliki
naluri politik dan keluwesan yang dimiliki para pendahulunya. Ia lebih
mendasarkan keputusan kepada penalaran fikih (ilmu tentang hukum Islam)
ketimbang kebijaksanaan politik. Seperti kebanyakan ulama tradisionalis, ia
lebih suka menghindari konflik dengan pemerintah tapi menolak bersikap kompromi
apabila menyangkut prinsip agama.
Inilah yang justru
membuat Kiai Bisri dan NU beberapa kali terlibat dalam perbenturan serius
dengan pemerintah. Konfrontasi pertama terjadi ketika rencana undang-undang
perkawinan dibawa ke sidang DPR pada 1973. Beberapa pasal dalam Undang-Undang
ini bertentangan dengan hukum keluarga dalam fikih, dan Kiai Bisri menolaknya
dengan lantang. Semua kelompok PPP di DPR menyatakan penolakan atas
undang-undang tersebut.
NU di bawah komando
Kiai Bisri pernah menolak RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah ke DPR pada
31 Juli 1973 karena RUU ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama,
bukan hanya Islam tetapi juga Kristen.
Sikap kritis dan
reaktif NU ini membuat para elit pemerintah jengkel dan merasa tidak dihargai
sehingga akhirnya Ali Moertopo melakukan manipulasi politik dengan cara
mengganti Ketua PPP dengan sahabat dekatnya, Naro. Pergantian pengurus
diselenggarakan tanpa rapat dan muktamar. Naro langsung mengumumkan dirinya
sebagai ketua baru.
Konfrontasi serius
dengan pemerintah juga terjadi pada Pemilu 1977. R. William Liddle (1978)
mencatat bahwa kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang
antara Islam dan rezim Orde Baru. Pihak militer dan penguasa sipil di semua
tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan
suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal
dan berani.
Dalam situasi
tersebut, Kiai Bisri bersikap tegas dan mengeluarkan fatwa yang menyatakan
setiap Muslim wajib hukumnya memilih PPP. Meskipun beberapa kiai memihak ke
Golkar, tapi NU terbukti mampu mempertahankan disiplin internal yang kuat.
Martin van Bruinessen
(1994) mencatat bahwa PPP telah menampilkan diri dengan baik dalam Pemilu 1977
dan berhasil mendapat tambahan 5 kursi lebih banyak dari pemilu 1971. PPP
memperoleh kemenangan yang penting secara psikologis dengan mengalahkan Golkar
di ibukota. Di Jakarta mereka mendapatkan dukungan suara yang sangat besar, dan
bahkan meraup suara mayoritas mutlak di Aceh.
Meskipun kerap
dikecewakan dan disingkirkan oleh rezim Orde Baru, sikap kritis para ulama NU
terhadap pemerintahan Soeharto tidak surut. Di sini NU mempunyai peran penting
dalam membangun keadilan sosial dan demokrasi yang baikbagi bangsa ke depannya.
Walaupun pada
akhirnya di tahun 1984 NU harus kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan, bukan lagi sebagai partai politik. Namun peran
politik kebangsaan dan politik kerakyatan masih terus dijalankan oleh NU. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar