Krisis Yaman yang Terlupakan
Oleh: Zuhairi Misrawi
Awal September 2015 lalu, Gabriel Gatehouse dari BBC Newsnight
kembali dari Yemen. Ia melihat secara kasat mata krisis kemanusiaan yang sangat
memilukan. Ia menyebut Yaman sebagai forgotten war. Setelah 2 tahun, situasi di
Yaman bukan membaik, tapi justru memburuk. Yaman sedang mengarah pada
"negara gagal".
Dalam 5 tahun terakhir, dunia hanya fokus pada Irak dan Suriah yang dilanda krisis politik dan perang melawan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Padahal konflik yang melanda Yaman tidak kalah pelik dan tragisnya, termasuk korban yang diakibatkan oleh perang yang berkepanjangan itu.
Stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan, setidaknya menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada 10.000 warga Yaman tewas dan 40.000 warga terluka. Belum lagi ancaman penyakit kolera yang sudah akut yang bisa berakibat hilangnya nyawa dalam jumlah yang lebih besar lagi. Ribuan warga terancam tewas akibat konflik yang berkepanjangan. Kenapa ini semua bisa terjadi?
Pada mulanya adalah musim semi Arab. Seperti halnya di Tunisia, Libya, dan Mesir, warga Yaman juga menuntut adanya kebebasan, keadilan, kehormatan, dan pergantian rezim. Rezim yang berkuasa, Ali Abdullah Saleh selama puluhan tahun dikenal korup dan otoriter itu akhirnya berhasil ditumbangkan. Namun, kebebasan, keadilan, dan kehormatan masih menjadi agenda yang terbengkalai hingga saat ini.
Ironisnya, pergantian rezim di Yaman bukan awal dari perubahan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, pergantian rezim merupakan awal dari munculnya petaka. Robert D. Burrowes (2011) menyatakan bahwa pergantian rezim di Yaman bisa berdampak lebih fatal, yaitu negara gagal, perang sipil, dan anarki. Dan, sekarang sudah menjadi kenyataan, Yaman benar-benar menjadi negara gagal, negara limbung.
Situasi semakint tidak menentu disebabkan tersumbatnya kanal dialog untuk mencapai mufakat di antara faksi-faksi politik dan suku. Pasca ditetapkannya Abd-Robbu Mansour Hadi sebagai Presiden, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden, Yaman justru makin membara. Salah satu faktornya karena Arab Saudi dan Amerika Serikat terlalu dalam mendikte urusan dalam negeri Yaman. Sementara berbagai kekuatan politik tidak dilibatkan untuk menentukan masa depan Yaman.
Langkah fatal yang diambil Arab Saudi dan Amerika Serikat ini menyebabkan lahirnya perlawanan dari faksi Houthi yang selama ini menguasai wilayah bagian utara Yaman. Intervensi Arab Saudi dan Amerika Serikat dalam urusan Yaman menyebabkan hilangnya kembali harapan Houthi untuk melihat masa depan yang lebih baik. Houthi mencium gelagat buruk akan disingkirkan Arab Saudi, karena bermazhab Syiah Zaydiah yang secara ideologis kontra-Wahabisme Arab Saudi. Houthi dan rezim Ali Abdullah Saleh saling bahu-membahu untuk melawan rezim yang dikendalikan oleh Arab Saudi. Padahal, Houthi dulunya menjadi oposisi rezim Ali Abdullah Saleh.
Sebagaimana sebelum musim semi di Yaman, di mana Arab Saudi memegang kendali rezim di Yaman, maka pascamusim semi yang berhasil menggulingkan rezim Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi tidak mau kehilangan pengaruhnya di Yaman. Apalagi Yaman berbatasan langsung dengan Arab Saudi, sehingga ada kepentingan secara politik teritorial, khususnya dalam rangka mengamankan perbatasan.
Kisruh politik pasca jatuhnya rezim Abdullah Saleh dan tersumbatnya kanal dialog telah menyebabkan Houthi melakukan pemberontakan, sehingga pada 2014, mereka berhasil menguasai San'a sebagai pusat pemerintahan Yaman, dan berhasil mendepak Abd Robbu Mansour Hadi dari kursi kekuasaannya.
Lagi-lagi, Arab Saudi tidak membiarkan Houthi menguasai panggung politik di Yaman. Bersama negara-negara Teluk, khususnya Uni Emirat Arab, Arab Saudi memimpin perang melawan pihak oposisi, faksi Houthi yang berhasil menguasai pusat kekuasaan di San'a, ibu Kota Yaman. Tidak tanggung-tanggung, Arab Saudi mendapatkan mandat dari PBB untuk melawan Houthi yang dianggap melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah, Abd-Robbu Mansour Hadi.
Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman memimpin langsung misi untuk menumpas Houthi. Dalam pandangan Pangeran Muhammad, ada keterlibatan Iran di balik Houthi. Houthi ditengarai mendapatkan suplai persenjataan dan sejumlah milisi dari Teheran. Artinya, jika Houthi berhasil menguasai Yaman, maka akan menjadi ancaman serius bagi Arab Saudi yang berbatasan langsung dengan Yaman. Iran akan mudah menerabas Arab Saudi, yang dianggap dapat menggoyang Dinasti al-Saud. Maka dari itu, Arab Saudi menggelontorkan anggaran sekitar 5,3 Miliar dollar dalam perang melawan Houthi di Yaman.
Yang menjadi persoalan, intervensi militer Arab Saudi di Yaman bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru melahirkan masalah yang sangat pelik. Serangan militer Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang membabi buta di Yaman telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang akut dan tragis. Pasalnya, aksi militer menyisakan ribuan orang tewas, luka-luka, kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan masa depan. Ironisnya, dunia bungkam tidak mengutuk aksi biadab militer Arab Saudi di Yaman.
Maka dari itu, banyak pihak memandang intervensi militer Arab Saudi di Yaman merupakan strategi yang salah total. Yang dibutuhkan Yaman sebenarnya bukan perang besar, melainkan perlu melakukan dialog di antara berbagai faksi-faksi politik untuk mengambil kata mufakat perihal eksistensi Yaman Selatan dan Yaman Utara, serta membentuk konstitusi yang dapat melindungi seluruh faksi politik.
Kini situasi di Yaman terus memburuk. Pengangguran semakin membesar jumlahnya, keamanan terus memburuk, dan kesehatan warga makin tragis. PBB mengeluarkan rilis baru-baru ini, bahwa krisis kemanusiaan paling buruk di dunia saat ini berada di Yaman. Banyak pihak yang mengecam Amerika Serikat dan Inggris yang telah menjual persenjataan perang ke Arab Saudi, karena alat-alat tempur tersebut telah disalahgunakan untuk mengakibatkan lahirnya krisis kemanusiaan yang akut dan tragis.
Menurut Luciano Zaccara, analis politik dari Universitas Qatar, intervensi militer Arab Saudi di Yaman telah menyebabkan petaka kemanusiaan. Apalagi bantuan kemanusiaan tidak bisa dikirimkan kepada korban karena bandara San'a dan pelabuhan Hudaida diblokade oleh Arab Saudi.
Maka dari itu, sebelum petaka ini menjadi luka dan duka yang sangat dalam dan lebih dalam lagi, diperlukan terobosan dari PBB untuk mengakhiri perang dan intervensi militer. Yang dibutuhkan Yaman adalah dialog dan membangun kemufakatan bersama, sehingga kehidupan bisa berjalan normal dan membangun kembali Yaman dari keping-keping kehancuran. Intervensi militer inisiatif Arab Saudi sudah terbukti menggiring Yaman ke negara gagal. []
DETIK, 31 Agustus 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan Politik Timur-Tengah The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar