Fiqih Nusantara Abad Ke-18 M Karya Faqih
Jalaluddin Aceh
Ini adalah bagian pembuka dari kitab “Hidâyah
al-‘Awâm Pada Menyatakan Perintah Agama Islam” yang berisi kajian fiqih Islam
madzhab Syafi’i karangan seorang ulama besar Nusantara dari Kesultanan Aceh,
yaitu Faqih Jalaluddin al-Âsyî (Faqîh Jalâluddîn ibn Faqîh Kamâluddîn ibn Qâdhî
Baginda Khatîb, hidup di abad ke-18 M).
Dalam pembukaan, Faqih Jalaluddin Aceh
mengatakan, kitab “Hidâyah al-‘Awâm” ini ditulis pada tanggal 5 Muharram 1140
Hijri (bertepatan dengan 22 Agustus 1727 Masehi), juga pada masa pemerintahan
Sultan Alauddin Ahmad Syah Johan Berdaulat Zhillullah fil Alam (dikenal juga
dengan Sultan Alauddin Johan Syah, memerintah sepanjang masa 1147—74 H/ 1735—60
M).
Faqih Jalaluddin Aceh menulis;
أما
بعد أدفون كمدين درايت مك فد فجرة نبي سريب سراتس أمفت فوله فد ليم هاري بولن محرم
زمان فادك سري سلطان يغ بسر كرجائنن لاك يغ مها تغكي درجتن يائت سلطان علاء الدين
أحمد شاه جوهن بردولة ظل الله في العالم أدام الله له دولته أمين.
(Adapun kemudian dari itu maka pada Hijrah
Nabi Seribu Seratus Empat Puluh pada lima hari bulan Muharram zaman Paduka Seri
Sultan yang besar kerajaannya lagi yang maha tinggi derajatnya yaitu Sultan
Alauddin Ahmad Syah Johan Berdaulat Zhillullah fil Alam [semoga Allah abadikan
kerajaannya] amin).
Sang Sultan telah meminta Faqih Jalaluddin
untuk menulis sebuah kitab fiqih madzhab Syafi’i dalam bahasa Jawi (Melayu)
agar bisa digunakan pedoman oleh umat Muslim di Kesultanan Aceh dan wilayah
Nusantara lainnya. Memang telah ada dua kitab fiqih berbahasa Melayu yang
ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, yaitu kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” yang
ditulis oleh Syaikh Nûruddîn al-Rânirî pada tahun 1054 Hijri (1644 Masehi) di
masa pemerintahan Sulthanah Shafiyatuddîn Tajul Alam (memerintah 1641—75 M),
juga kitab “Mirât al-Thullâb” yang ditulis oleh Syaikh Abdul Rauf Singkel pada
1074 Hijri (1663 Masehi) di masa pemerintahan Sulthanah yang sama.
Namun tampaknya Sultan Alauddin Johan Syah
ingin juga memiliki kitab fiqih yang aktual dan kontekstual pada zamannya.
Karena itulah beliau pun meminta kepada mufti dan ulama sentral Kesultanan Aceh
pada zamannya, yaitu Faqih Jalaluddin, untuk menuliskan sebuah kitab. Beliau
menulis;
مك
تتكال ايت ممنتأ كفد فقير يغ هينا خادم العلماء حاج جلال الدين أنق شيخ يغ عارف
بالله شيخ جلال الدين أنق قاضي بكندا خطيب سلمه الله تعالى أوله سؤورغ درفد صحبة
رجا ايت يغ تاكوت أكن الله تعالى بهواك سورتكن بكين سوات رسالة يغ سمفن مك أك نماي
اكندي هداية العوام فدميتاكن فرنته اكم إسلام
(Maka tatkala itu meminta kepada Faqir yang
hina, peayan para ulama, Haji Jalâluddîn anak Syaikh yang arif billâh Syaikh
Jalâluddîn anak Qâdhî Baginda Khatib, semoga Allah menyelamatkannya, oleh
seorang daripada sahabat raja itu yang takut akan Allah Ta’âlâ, bahwa aku
suratkan baginya suatu risalah yang [simpan?] maka aku namai akan dia “Hidâyah
al-‘Awâm Pada Menyatakan Perintah Agama Islam”).
Kitab “Hidâyah al-‘Awâm” dimulai dengan
kajian pengetahuan teologi Islam dasar, yaitu tentang sifat-sifat yang wajib
bagi Allah, yang mustahil dan yang mungkin, demikian juga tentang sifat-sifat
yang wajib bagi Rasulullah, yang mustahil, dan yang mungkin. Setelah itu,
barulah kandungan kitab mengkaji pasal tentang bersuci dan shalat, dengan
segala rujun, syarat, kewajiban, kesunatan, dan lain-lain detailnya. Dikaji
juga dalam kitab ini fiqih-fiqih peribadatan lainnya, yaitu zakat, puasa, haji,
dan terakhir tentang nikah dan talak.
Kitab “Hidâyah al-‘Awâm” ini dicetak bersama
dalam bunga rampai karangan ulama-ulama Aceh lainnya yang terhimpun dalam
“Jam’u Jawâmi’ Mushannafât ‘Ulamâ Aceh” yang disunting oleh Syaikh Ismâ’îl ibn
‘Abd al-Muthallib al-Âsyî dan diterbitkan di Kairo oleh Maktabah Musthafâ
al-Bâbî al-Halabî pada bulan Muharram tahun 1344 Hijri (1926 Masehi). Bunga
rampai tersebut menghimpun sembilan karya ulama Aceh dari setiap abad. Adapun
“Hidâyah al-‘Awâm” karya Faqih Jalâluddîn Aceh ini, ia berada pada urutan
pertama dalam bunga rampai tersebut.
Wan Muhammad Shagir Abdullah, penulis
biografi ulama Nusantara asal Malaysia, mengatakan bahwa nama ayah Faqih
Jalâluddîn Aceh dalam kitab versi cetakan bunga rampai “Jam’u Jawâmi’” tersebut
keliru ditulis. Di sana tertulis nama Faqih Jalâluddîn anak Syaikh Jalâluddîn
anak Qâdhî Baginda Khatîb. Yang benar adalah Faqih Jalâlulldîn anak Syaikh
Kamâluddîn (Wan Mohd Shagir Abdullah, Syeikh Jalaluddin Al-Asyi; Kesinambungan
Aktiviti Ulama Aceh, surat kabar “Utusan” Malaysia, edisi 04/12/2006).
Faqih Jalaluddin Aceh sendiri adalah murid
dari Syaikh Bâbâ Dâwud ibn Ismâ’îl Aghâ al-Rûmî tsumma al-Âsyî (dikenal dengan
Baba Dawud), seorang ulama dari Turki-Usmani yang menetap di Kesultanan Aceh,
juga murid dari Syaikh Abdul Rauf Singkel (‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Fanshûrî
al-Jâwî, w. 1693 M), seorang ulama besar Nusantara dari Kesultanan Aceh yang
hidup satu generasi sebelumnya.
Faqih Jalâluddîn Aceh dinobatkan sebagai
mufti dan imam besar Kesultanan Aceh, sekaligus Qadhi Malikul Adil kesultanan
tersebut pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Maharaja Lela Ahmad Syah
(1139—47 H/ 1727—35 M) dan juga pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan
Syah (1147—74 H/ 1735—60 M).
Selain “Hidâyah al-‘Awâm”, Faqih Jalâluddîn
Aceh juga menulis karya lainnya, yaitu “al-Manzhar al-Ajlâ ila al-Martabah
al-A’lâ” (ditulis tahun 1152 Hijri/ 1739 Masehi), “Safînah al-Hukkâm fî
Talkhîsh al-Khishâm” (ditulis pada bulan Muharram 1153 Hijri/ 1740 Masehi),
“al-Hujjah al-Bâlighah ‘alâ al-Jamâ’ah al-Mutakhâshimah” (ditulis pada Muharram
1158 Hijri/ 1745 Masehi), dan “Asrâr al-Sulûk ilâ al-Mala’ al-Mulûm” (tidak
diketahui titimangsa penulisannya).
Dari kesemua karya Faqih Jalâluddîn, kitab
“Safînah al-Hukkâm”-lah yang menjadi masterpiece dan karya terbesarnya. Kitab
ini merupakan pengembangan dari “Hidâyah al-‘Awâm”, yang mengkaji ilmu fiqih
Islam, dengan cakupan kajian dan bahasan yang lebih luas dan dalam lagi.
Faqih Jalâluddîn Aceh memiliki seorang anak
yang juga menjadi ulama besar di Kesultanan Aceh, yaitu Syaikh Muhammad Zain
ibn Faqîh Jalâluddîn al-Âsyî. (A. Ginanjar Sya’ban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar