Mitos
Deradikalisasi
Oleh:
Said Aqil Siroj
Deradikalisasi
saat ini terus digencarkan dalam rangka meluruskan paham radikal yang bisa
memantik aksi terorisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi
"agen tunggal" untuk tugas terapi terhadap mereka yang terjangkiti
virus radikalisme.
Tentu ini
sebuah ikhtiar mulia untuk menanggulangi terorisme yang setiap saat bisa
mengoyak kenyamanan NKRI. Program deradikalisasi sendiri yang dijalankan selama
ini tampaknya hingga kini belum jua beranjak, masih berputar-putar di sekitar
metode dan kegiatan yang cenderung monoton.
Ibarat
penyembuhan penyakit, sesungguhnya banyak cara dilakukan. Para ahli di
bidangnya disiapkan untuk menangani seorang yang sedang terkena penyakit
terlebih yang sudah tahapan akut. Tidak cukup hanya satu cara atau ahli yang
siaga karena penyakit bisa saja berkembang hingga menyerang bagian tubuh
lainnya.
Seperti
halnya namanya "penyakit teroris" sifatnya tidak serta-merta mudah
hilang, tapi bisa "kambuh" sewaktu-waktu. Sekali terpapar "virus
radikal" ini, maka harus dilakukan tindakan terapi yang benar-benar
serius. Penanganannya harus melalui metode yang sistemis dan holistik.
Menyingkap
mitos
Munculnya
radikalisme dan terorisme itu bukan bersifat tunggal, melainkan multifaktor.
Kalau dipilah, ada faktor internal dan faktor eksternal. Setiap faktor bisa
berdiri sendiri dan bisa juga saling terkait. Dalam nomenklatur fikih ada
disebutkan al'illah muttaridah, sebab itu pasti terjadi. Adanya sebab dan
akibat mesti terpenuhi secara bersamaan sehingga jika sebab ada maka akibat pun
ada.
Beranjak
dari sinilah, kita bisa menatapi bahwa sebab musabab yang menjadikan orang
terjerat dan terpikat terorisme kian jelas. Tak ada yang berangkat dari ruang
hampa. Dunia sosial kita sudah dipenuhi berbagai daya jerat dan daya pikat yang
kerap membuat kabur kebenaran.
Bagaimana
kita memahami perilaku seseorang yang tadinya mbeling, setelah taat menjalankan
ritual agama, mendadak berubah sikap menjadi radikal dan lalu menindaki teror?
Kita bisa ambil contoh, pelaku perampokan Bank CIMB di Medan beberapa tahun
silam yang didasari motif terorisme (fa'i) ternyata banyak yang awalnya
berlatar belakang preman.
Setelah
bertemu dengan seorang "ustaz", mendadak mereka jadi orang yang taat
beragama. Celakanya, mereka ini kemudian mendapatkan "pelajaran" yang
kebablasan melalui pengajaran doktrin radikal. Seperti juga dalam kasus
terorisme lewat menabrakkan truk di kerumunan massa di Perancis beberapa waktu
lalu, juga memperlihatkan pelaku yang "mendadak sadar agama" akibat
daya pikat Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Dua
sampling ini setidaknya merefleksikan dan merepresentasikan bersemayamnya
sebab-sebab meluapnya radikalisme dan terorisme. Ada faktor penarik (pull
factor) dan faktor pendorong (push factor). Hal-hal inilah yang hingga
kini menjadi kajian para pakar dan pemerhati terorisme.
Kajian
ini lebih difokuskan pada psikologi yang merupakan disiplin keilmuan paling
"laris", termasuk dalam mengkaji terorisme. Hingga kemudian, salah
satunya menetaskan metode "rehabilitasi" dalam upaya pemulihan
terhadap napi dan mantan teroris. BNPT juga menerapkan metode psikologis
ini dalam setiap kegiatannya dan menjadikannya sebagai bagian dari cetak biru
deradikalisasi.
Psikologi
berperan untuk menyusun parameter dalam rangka mencermati fluktuasi tingkat
keradikalan dari napi atau mantan napi terorisme. Kemudian setelah
"lolos" dari monitoring psikologi ini, para napi terorisme khususnya
bisa diambil kebijakan untuk mempersiapkan resosialisasi dan reintegrasi mereka
di masyarakat.
Disiplin
keilmuan lainnya adalah bidang keagamaan. Deradikalisasi melalui keagamaan ini
dilakukan misalnya dengan menebarkan buku-buku kontra narasi yang berisikan
dalil-dalil keagamaan untuk meluruskan kesalahan teroris memahami ajaran agama.
Begitu juga dengan mendatangkan para mantan jihadis yang sudah tobat untuk
berdialog dengan napi atau mantan teroris.
Kajian
tafsir Al Quran dan hadis menjadi dua disiplin keilmuan agama yang utama untuk
melabrak pemahaman sesat teroris. Para teroris yang hampir semuanya berpaham
puritan dan literalis dihadapi dengan cara menggali kembali tafsir dan hadis
secara komprehensif dan kontekstual sehingga menghasilkan pemahaman yang
sebenarnya dari maksud dan pesan Al Quran dan hadis.
Nah,
model program deradikalisasi yang seperti ini tampaknya telah menjadi
"mitos" yang dipercayai mujarab. Sebagai sebuah mitos, tentu tingkat
kepercayaan yang dihunjamkannya begitu mengental dan semakin mengkristal seakan
tidak ada lagi metode yang manjur untuk dilakukan. Akibatnya, tidak ada
terobosan baru dalam metodologi untuk deradikalisasi.
Deradikalisasi
telah terjebak dalam scientism yang dalam dunia keilmuan merupakan pandangan
"radikal" karena hanya mengakui cara pandang yang diyakini sebagai
kebenaran tunggal. Padahal, scientism sudah mendapatkan kritisisme yang sangat
tajam dari para ilmuwan belakangan dan dianggap sebagai "mitos" yang
membuat cara pandang tidak lagi obyektif. Kemanfaatannya pun kerap kontra
terhadap kebutuhan yang substansial.
Perlu
diingatkan kembali bahwa deradikalisasi merupakan program inti (core business)
dalam penanggulangan terorisme yang dimandatkan kepada BNPT. Pelaksanaannya
sudah pasti memerlukan tingkat efektivitas yang mumpuni.
Kasus
aksi teror Thamrin beberapa waktu lalu menjadi pelajaran bagaimana sosok
pelaku, yaitu Sunakim, yang "gagal" mendapatkan deradikalisasi semasa
di penjara dan justru lebih terpikat pada "radikalisasi" yang
diajarkan para ideolog radikal seperti Aman Abdurrahman.
Peremajaan
Program
deradikalisasi butuh terobosan baru sehingga tidak "berjalan di
tempat". Deradikalisasi bukan proses yang monoton, melainkan bersifat
dinamis. Kuncinya, para pengampu kebijakan deradikalisasi perlu sikap terbuka,
siap menerima masukan serta pikiran yang genial dan kreatif demi progresivitas
yang lebih baik. Ada dua hal yang perlu dalam peremajaan terhadap
deradikalisasi.
Pertama,
deradikalisasi perlu pendekatan yang lebih variatif, tidak parsial dan tidak
hanya kuantitatif, tetapi juga lebih mengedepankan pendekatan kualitatif. Dalam
hal ini usulan untuk memanfaatkan disiplin ilmu sastra. Ideolog radikal tidak
sedikit yang fasih dalam bersastra. Misalnya Sayyid Quthub yang banyak
menghasilkan novel dan karya sastra lainnya. Khairul Ghazali, mantan napi
teroris di negeri kita, saat masih berada di penjara berhasil menelurkan karya
novel.
Ini bisa
menjadi pembelajaran terhadap napi teroris khususnya untuk dilatih berolah
sastra. Pendekatan sastra untuk deradikalisasi bisa melembutkan hati napi
teroris.
Kedua,
perlu dibentuk tim pendampingan. Tim ini bertugas secara khusus menjalin
hubungan secara intensif dengan mantan teroris. Tim ini lebih baik banyak
diambil dari peneliti di luar BNPT. Tim ini dibekali dengan "rapor"
yang bisa digunakan untuk menilai perubahan mereka hingga bisa melihat tingkat
moderasi.
Pemilihan
tim ini perlu menekankan pada kemampuan individual dalam komunikasi yang supel
dan lincah. Mendekati para mantan teroris perlu soul approach, penjiwaan yang
baik, dan mengedepankan kemanusiaan tidak sekadar soft approach, cara lunak.
Ada fakta selama ini, para mantan teroris ada yang tidak mau bertemu dengan
utusan BNPT. Ternyata hal ini bukan semata anggapan mereka bahwa BNPT itu
thoghut, melainkan disebabkan utusan BNPT yang tidak "terampil"
akibat kurangnya "rasa penjiwaan".
Walhasil,
peremajaan deradikalisasi sesungguhnya merupakan wujud "membumikan deradikalisasi"
yang hasilnya akan bermanfaat bagi Indonesia yang lebih damai. []
KOMPAS, 8
Maret 2017
Said Aqil
Siroj | Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar