Demokrasi Kebablasan
Oleh: Azyumardi Azra
Pernyataan Presiden Joko Widodo, pekan lalu, tentang ”demokrasi
kebablasan” cukup menyentak. Pernyataan ”demokrasi kebablasan” pada tahun-tahun
awal era Reformasi sering terdengar, tetapi tidak belakangan ini.
Dalam sambutan pada acara Pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Partai Hati Nurani Rakyat, Presiden menyatakan, ”Banyak yang bertanya kepada
saya, apakah demokrasi kita sudah terlalu bebas dan kebablasan?”
Menjawab pertanyaan itu, Jokowi menya- takan, ”Saya jawab ya.
Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik demokrasi politik yang kita
laksanakan telah membuka terjadi- nya artikulasi politik ekstrem, seperti libe-
ralisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran
lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.”
Pernyataan Presiden Jokowi itu tampaknya terkait eskalasi politik
akibat beberapa aksi dalam jumlah besar yang seolah sambung-menyambung sejak 4
November 2016, 2 Desember 2016, dan terakhir 21 Februari 2017. Berbagai aksi
itu cukup kental bernuansa sektarianisme religio-politik, khususnya terkait
dengan kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama, gubernur petahana
DKI Jakarta yang juga maju sebagai calon gubernur (cagub).
Namun, sejauh menyangkut demokrasi Indonesia, fenomena berbagai
aksi massa mencerminkan bertahannya mobokrasi (kekuatan massa) yang cenderung
memaksakan kehendak. Akan tetapi, fenomena ini hanya setengah cerita (half of
story). Jika setengah cerita ini cukup mencemaskan, sebaliknya cerita setengah
lagi cukup melegakan dan menjanjikan masa depan demokrasi Indonesia lebih baik.
Walau aksi massa ”hanya” setengah cerita, jelas kekhawatiran terus
merebak, seperti tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi tadi. Tak kurang
nervous adalah kalangan sarjana asing dan jurnalis media internasional. Karena
nervous, mereka kemudian terjerumus ke dalam pandangan dan kesimpulan sesat
bahwa demokrasi Indonesia kini tengah menuju ujung gelap (dead-end).
Padahal, pihak asing ini sebelumnya sering menyatakan Indonesia
sebagai show case, contoh sukses demokrasi yang berjalan seiring dengan Islam
dan kaum Muslim sebagai penduduk mayoritas. Warga Indonesia juga percaya
demokrasi adalah sistem politik lebih cocok bagi Indonesia yang sangat majemuk.
Namun, sekali lagi, ada setengah cerita lain tentang demokrasi
Indonesia. Cerita itu berita baik soal demokrasi substantif dan prosedural yang
kian membudaya. Demokrasi sebagai sistem politik, proses, dan prosedur untuk
mendapatkan pemimpin secara damai dan beradab makin jadi praktik lazim.
Ini terlihat jelas dalam pilkada serentak 2017 di 101 daerah yang
berlangsung damai sejak kampanye sampai pemungutan suara. Kericuhan terjadi
terbatas hanya di beberapa daerah yang terdapat selisih suara relatif ketat,
seperti di Kabupaten Intan Jaya yang menewaskan seorang warga (23 Februari).
Makanya, seperti ditegaskan Presiden Jokowi dalam pertemuan bisnis
dengan pengusaha Australia di Sydney (25/2), ”Jangan takut pilkada.” Presiden
menyatakan, pengusaha Australia tak usah khawatir dengan tekanan politik akibat
pilkada. ”Semuanya akan berjalan dengan baik. Percayalah, semua (tekanan
politik) akan berakhir setelah itu (pilkada) selesai” (Kompas, 26/2).
Jelas Pilkada 2017 dan jika juga ditarik ke belakang, Pilkada
2016, Pemilu Legislatif 2014 dan Pemilu Presiden 2014, tidak sempurna 100
persen. Masih ada cacat, misalnya menyangkut daftar pemilih tetap (DPT) yang
tidak lengkap atau ada pemilih yang tidak bisa mencoblos karena alasan
administratif.
Akan tetapi juga jelas, secara umum, pilkada dan pemilu
berlangsung sangat aman dan damai. Jika ada kekerasan, dapat dikatakan aksi
main hakim sendiri terkait pilkada dan pemilu relatif amat terbatas. Tensi
politik jelas meningkat sebelum serta sesudah pilkada dan pemilu. Tensi dan eskalasi
itu juga sering ditandai ”perang kata” berbau SARA, baik melalui media
konvensional maupun virtual, khususnya media sosial.
Di sini, ada juga berita baik terkait perang kata atau penyebaran
berita palsu (hoaks) bernuansa SARA yang kemudian sering menjadi kasus
pencemaran nama baik. Berbagai kasus terkait hal itu juga tidak berujung
kekerasan. Sebaliknya, berbagai pihak terkait membawanya ke proses hukum.
Akan tetapi, jelas penegakan hukum belum sepenuhnya sesuai
harapan. Banyak warga pencinta demokrasi komplain, aparat penegak hukum belum
konsisten atau seolah melakukan ”pembiaran” terjadi pelanggaran hukum atas nama
kebebasan dan demokrasi. Akibatnya, banyak warga lain tidak terjamin haknya, misalnya
menikmati fasilitas umum (jalan raya atau taman) secara nyaman tanpa gangguan
akibat aksi massa.
Karena itu, penegakan hukum yang tegas, konsisten, sekaligus
manusiawi amat krusial untuk mencegah terjadinya demokrasi kebablasan. Hanya
dengan cara itu dapat tercipta keseimbangan antara hak kebebasan ekspresi
demokrasi dan kewajiban memelihara ketertiban dan keamanan sekaligus
menghormati hak warga lain.
Memelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam ekspresi
demokrasi adalah bagian dari keadaban publik yang penting dan krusial untuk
mencegah demokrasi kebablas- an. Kini, saatnya seluruh warga kembali memegang
dan menegakkan keadaban publik guna memperkuat demokrasi berkeadaban. []
KOMPAS, 28 Februari 2017
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar