Penguatan
Hak Korban Terorisme
Oleh: Hasibullah
Satrawi
Saat ini
upaya revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme memasuki fase sangat krusial, yaitu pembahasan draf di tingkat
panitia kerja setelah mendapat masukan dari pihak-pihak terkait melalui DPR.
Dalam
rapat dengar pendapat umum di DPR, akhir Mei 2016, Aliansi Indonesia Damai
(Aida) sebagai lembaga yang peduli pemberdayaan korban aksi terorisme bersama
Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) sebagai payung organisasi korban bom di
Indonesia telah menyampaikan beberapa usulan materi terkait penguatan hak-hak
korban dalam revisi UU ini.
Penguatan
ini sangat penting mengingat para korban selama ini telah menanggung akibat
dari kegagalan negara dalam menjamin kedamaian dan keamanan bagi segenap warganya.
Dalam perspektif terorisme, para pelaku terorisme hakikatnya tidak ada masalah
dengan para korban. Bahkan, para pelaku tidak mengenal para korban.
Para
pelaku terorisme ada masalah dengan sistem dan atau kebijakan negara yang
kemudian dijadikan pembenar untuk melakukan aksi terorisme. Oleh karena itu,
pelaku aksi terorisme sejatinya mengalamatkan aksinya kepada negara dan atau
aparatnya. Namun, karena kelemahan dan kekurangan yang ada, mereka tak berhasil
mencederai sasaran intinya itu. Yang justru tercederai adalah masyarakat sipil
yang pada saat kejadian sedang bekerja, menjalankan tugas, mencari nafkah, dan
sebagainya.
Itu
sebabnya dapat ditegaskan, di balik setiap tindak pidana terorisme terselip
adanya kegagalan negara, yaitu kegagalan dalam melindungi kedamaian dan
keamanan bagi segenap warganya. Selama ini para korbanlah yang menanggung
kegagalan negara ini. Tidaklah berlebihan jika para korban tindak pidana
terorisme disebut sebagai martir negara: mereka menanggung derita akibat kegagalan
negara. Bahkan, mereka membayar kegagalan negara dengan nyawa dan derita yang
berkepanjangan.
Dalam
konteks ini, sejatinya negara harus memenuhi seluruh hak dan kebutuhan para
korban tindak pidana terorisme. Namun, yang justru terjadi sebaliknya: negara
acap mengabaikan para korban dan membiarkan mereka menanggung sendiri semua
derita akibat tindak pidana terorisme yang terjadi.
Sebagai
gambaran dari lemahnya hak-hak korban terorisme selama ini, dari 2003 hingga
2014 hanya ada satu hak dalam satu UU untuk para korban, yaitu hak kompensasi
dalam UU No 15/2003. Baru pada 2014 hak-hak korban terorisme mengalami
penguatan, dengan terbitnya UU Nomor 31 Tahun 2014 sebagai revisi UU Nomor 13
Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Saat itu
AIDA bersama para korban dan elemen masyarakat lain berjuang bersama agar
revisi UU tentang LPSK memuat juga tentang hak-hak bagi korban terorisme,
seperti hak medis, psikologis, psikososial, restitusi, dan kompensasi yang
implementasinya dikembalikan pada ketentuan UU No 15/2003.
Penguatan
hak
Berdasarkan
pengalaman dan kebutuhan para korban di lapangan, ada tiga hal yang perlu
diakomodasi dalam revisi UU Anti-terorisme kali ini sebagai bentuk penguatan
terhadap hakhak korban. Pertama, penegasan definisi korban terorisme. Siapa
yang dimaksud dengan korban dalam persoalan terorisme? Apakah definisi korban
bisa ditarik lebih luas atau hanya terfokus kepada mereka yang jadi korban
tindak pidana terorisme?
Dilihat
dari segi perundang-undangan, adanya kebutuhan terhadap penjelasan definisi
korban dalam revisi UU ini sejatinya hanya terfokus kepada mereka yang menjadi
korban tindak pidana terorisme, yaitu masyarakat sipil yang menjadi korban dari
sebuah tindak pidana terorisme beserta keluarganya. Salah satu alasan utamanya
adalah karena perundang-undangan terkait dengan terorisme belum ada yang
mengatur definisi korban secara terfokus kepada masyarakat sipil yang menjadi
korban dari sebuah tindak pidana terorisme.
Kedua,
rumusan ulang ayat atau pasal terkait dengan kompensasi atau ganti rugi yang
dibayarkan negara terhadap para korban. Berdasarkan pendampingan dan pengakuan
para korban terhadap AIDA, pasal mengenai kompensasi selama ini belum pernah
direalisasikan. Para korban selama ini tak mengetahui keberadaan pasal ini
(khususnya kurun 2003-2013).
Dari segi
rumusan, pasal tentang kompensasi dalam UU No 15/2003 tak bisa diimplementasikan
secara mudah mengingat kompensasi hanya bisa dilaksanakan dengan adanya putusan
pengadilan. Padahal, kebutuhan ganti rugi dari negara (kompensasi) bersifat
mendesak dan secepatnya untuk mencukupi seluruh kebutuhan korban, khususnya
medis dan psikologis.
Itu
sebabnya dalam revisi UU Anti-terorisme kali ini, AIDA bersama YPI mengusulkan
agar rumusan kompensasi tak menggunakan mekanisme pengadilan, tetapi mekanisme
assessment dari lembaga negara terkait terorisme dan korbannya. Dengan begitu, hak
kompensasi bisa langsung diimplementasikan dalam tempo secepat-cepatnya.
Asas
keadilan
Mengingat
dampak yang dialami para korban berbeda-beda, maka hitungan terkait besaran
kompensasi harus menggunakan asas keadilan. Besaran kompensasi bisa diberikan
kepada para korban sesuai kadar dampak yang dialaminya.
Ketiga,
ketentuan khusus tentang ”jaminan negara terkait pengobatan para korban pada
masa-masa kritis”. Dari segi hak, materi ini sebenarnya bagian dari hak medis
yang diatur dalam UU LPSK (No 31/2014) tentang hak medis. Namun, berdasarkan
fakta di lapangan dan pengalaman para korban, hak medis dalam UU No 31/2014 tak
memadai untuk menjangkau adanya jaminan negara terkait pengobatan para korban
pada masa-masa kritis.
Ada dua
titik tekan utama dalam materi jaminan negara pada masa-masa kritis ini, yaitu
”jaminan negara” dan ”masa-masa kritis”. Klausul ”jaminan negara” perlu
penekanan tersendiri mengingat pada kenyataannya rumah-rumah sakit di sekitar
lokasi tindak pidana terorisme acap tak melakukan penanganan medis secara
langsung terhadap korban sebelum ada pihak yang menjamin pembiayaannya.
Akibatnya, menurut pengalaman sebagian korban, ada korban yang harus menunggu
berjam-jam untuk dapat penanganan medis.
Adapun kebutuhan
terhadap penekanan klausul ”pada masa-masa kritis” adalah karena masa-masa ini
terkait penanganan atau pertolongan pertama terhadap para korban yang sangat
menentukan terhadap keadaan berikutnya. Yang dimaksud masa-masa kritis adalah
saat-saat setelah terjadinya aksi tindak pidana terorisme.
Dengan
adanya ayat atau pasal khusus tentang ”jaminan negara terkait biaya pengobatan
korban terorisme pada masa-masa kritis”, diharapkan tak ada rumah sakit dan
korban lagi yang harus menunggu adanya penjamin untuk melakukan atau mendapat
pertolongan medis. Artinya, korban langsung dapat pertolongan yang dibutuhkan
dan negara hadir dalam persoalan korban sejak menit pertama.
Dalam
hemat penulis, hanya dengan adanya ketentuan seperti inilah negara bisa menebus
kesalahannya karena selama ini acap mengabaikan bahkan tak ”berpikir” tentang
korban. Dalam konteks terorisme, hanya dengan adanya ketentuan-ketentuan inilah
negara bisa menegakkan kewajiban konstitusionalisme terkait dengan kewajiban
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi segenap warganya. []
KOMPAS,
17 Maret 2017
Hasibullah
Satrawi | Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar