Sersannya
KH Hasyim Muzadi
Oleh: M.
Mahfud MD
RABU, 15
Maret 2017, pukul 08.30, dua hari yang lalu itu, saya di Bandara Fatmawati
Soekarno, Bengkulu, menunggu penerbangan ke Jakarta. Teman seperjalanan saya,
Imam Marsudi dan Mabrur M.S., memberi tahu bahwa KH Hasyim Muzadi (K. Hasyim)
dibawa pulang dari rumah sakit untuk selanjutnya dirawat di kediamannya, Pondok
Pesantren Al Hikam, Malang.
Kami
bertiga saling memandang dan mengangkat bahu. Sama-sama menduga ’’sudah dekat
saatnya’’. Terus terang, waktu itu kami sama-sama merasakan dan ngrasani bahwa
mantan ketua umum PB NU itu segera berpulang. ’’Kita serahkan saja ke hadhirat
Allah untuk memberi yang terbaik bagi Abah Hasyim,’’ kata Mabrur. ’’Al
Fatihah,’’ kata Imam.
Benar
saja. Kamis, 16 Maret 2017, pukul 07.30, saat saya sedang di Jogja, Mabrur
mengirim berita, K. Hasyim wafat. Saya meminta Imam memastikan berita tersebut
karena sebelumnya beredar berita wafatnya K. Hasyim yang ternyata hoax. Hasil
konfirmasi Imam, beliau (K. Hasyim) benar wafat. Meskipun sudah menduganya sejak
sehari sebelumnya, tetap saja saya kaget dan terpana masygul mendengar berita
itu.
Dua
minggu sebelum K. Hasyim wafat, saya membesuknya di Pesantren Al Hikam, Malang.
Waktu itu keadaannya memang sudah parah. Tidak bisa berkomunikasi kecuali
dengan gerakan tangan yang lemah. Untuk berbicara satu kalimat saja, almarhum
harus menyedot seteguk air. ’’Terima kasih, saya doakan Pak Mahfud selalu
baik,’’ katanya dengan suara lirih dan kurang jelas setelah menyedot air putih.
Ketika
air lewat di tenggorokan, beliau tampak kesakitan. Saya sangat pilu waktu itu.
Menurut Nyai Hasyim, sampai menjelang akhir hayatnya, K. Hasyim masih sering
memaksakan diri untuk mengajar santri-santrinya. Yang diajarkannya adalah kitab
Al Hikam.
Saya
pribadi mengenang K. Hasyim sebagai kawan yang selalu ceria dan menyenangkan.
Pembawaannya tenang dan tampak tidak pernah gelisah. Saya tidak pernah melihat
K. Hasyim marah atau berbicara dengan nada tinggi. Cara bicaranya lembut, tidak
menggelegar, dan bahkan lebih banyak melucu.
Almarhum
memang mempunyai kesamaan dengan Gus Dur. Yakni, sangat suka berhumor ria. Dulu
saya selalu menikmati humor berkelas jika K. Hasyim ngobrol dengan Gus Dur.
Tetapi, humor dua tokoh NU itu sama sekali tidak sarkastis. Tidak menyakiti
siapa pun meskipun subjek dan objek humornya jelas.
Gus Dur
maupun K. Hasyim bisa melontarkan humor-humor yang sangat kocak di kursi ruang
tamu dengan jumlah orang terbatas maupun di podium saat berpidato di depan
ribuan orang. K. Hasyim itulah yang mengatakan bahwa di NU itu ada tradisi
menyelesaikan masalah dengan gergeran (tertawa riuh) daripada dengan gegeran
(ribut-ribut).
Sebagai
tokoh NU yang ditempa melalui Gerakan Pemuda Ansor, K. Hasyim sering menjadikan
Ansor dan NU sebagai materi humornya.
Suatu
kali dia berpidato bahwa kita harus bersyukur karena sekarang ini anak-anak
Ansor sudah maju dan modern. Banyak yang mempunyai dua handphone dengan casing
yang bagus-bagus.
’’Tapi,
ya begitu, mereka tidak pernah menelepon dengan HP-nya karena tidak kuat
membeli pulsa. Bolak-balik hanya missed call biar ditelepon balik,’’ katanya.
K. Hasyim
juga mengatakan, kita harus bersyukur karena sekarang ini sudah banyak anak NU
yang bisa bersekolah atau mondok ke Makkah dan Madinah. ’’Tapi sayangnya,
setelah pulang, mereka tidak mendirikan pondok pesantren, melainkan perusahaan
travel umrah. Tidak menjadi ulama, melainkan cukup menjadi guide haji dan
umrah,’’ katanya.
Cerita
lucu lainnya adalah ketika pada suatu hari Gus Dur ada acara di Malang dan
dijemput Barisan Serbaguna Ansor (Banser) dengan seragam yang gagah dan
komandannya mengendalikan anak buahnya dengan handy talky (HT). Terjadi hal
yang lucu ketika Gus Dur tiba dan sang komandan Banser memberi komando kepada
anak buahnya. ’’Assalamualaikum, roger, roger. Kiai Abdurrahman Saleh sudah
mendarat di lapangan terbang Abdurrahman Wahid. Semuanya siap? Ganti,’’ ujar
sang komandan Banser.
Sambil
terkekeh, K. Hasyim bilang bahwa Banser itu lucu, lugu, dan ndheso. Semua orang
dihalau oleh Banser agar tidak bersalaman dengan Gus Dur, tapi Banser sendiri
saling berebut untuk menyalami bahkan berfoto-foto dengan Gus Dur sehingga
perjalanan malah lebih terhambat. Anak-anak Banser biasanya bertepuk riuh dan
senang digoda seperti itu oleh K. Hasyim. Maklum, K. Hasyim dibesarkan dan
pernah lama ikut memimpin Ansor.
Namun,
harus dicatat, dengan kesukaannya pada humor itu, tak berati K. Hasyim hanya
suka berseloroh. Humor-humornya selalu bernas, memuat atau mengantar ke
pesan-pesan yang serius, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pesan K. Hasyim selalu serius, tetapi disampaikan dengan santai sehingga sering
disebut pesan ’’sersan’’ (serius tapi santai).
Almarhum
selalu berpesan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Islam harus
ramah dan menjaga kekukuhan ikatan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tanpa
boleh memaksa-maksa atau bersikap tidak toleran terhadap kelompok-kelompok
lain.
Pada diri
K. Hasyim ada integrasi ide antara keindonesiaan dan keislaman. Pada diri K.
Hasyim juga ada contoh bagaimana menjadi warga negara yang mencintai
kebersatuan dalam keberagaman bangsa Indonesia dan mengamalkan ajaran Islam
sebagai prinsip penuntun hidup sebagai muslim.
Itulah
sersannya KH Hasyim Muzadi. Selamat jalan, Cak. Sampaikan salam rindu saya
kepada Gus Dur di alam sana. Allahumma ighfir li-Hasyim Muzadi. []
JAWA POS,
17 Maret 2017
M. Mahfud
MD | Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU); Menteri
Pertahanan RI era Presiden Abdurrahman Wahid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar