Kamis, 09 Maret 2017

Menapak Kebesaran Memorial Gedung Perundingan Linggarjati, Kuningan - Jawa Barat



Pasca merasakan rendaman air panas Sangkanhurip di salah satu kaki Gunung Ciremai dan juga sensasi ciuman "Ikan Dewa" di Cibulan, ziarah sejarah dan napak tilas lantas dilanjutkan ke sebuah lokasi yang tercatat di dalam lembaran sejarah revolusi Republik Indonesia. Catatan sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia tercinta di dalam versi siapapun dan versi manapun, data dipastikan menulis dan mengukir sebuah tempat bernama Gedung Perundingan Linggarjati. Gedung bergaya kolonial yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Cibulan ini sangat beraura kebesaaran bangsa Indonesia.

Gedung Perundingan Linggarjati adalah tempat diadakannya perundingan antara Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda pasca perang kemerdekaan. Berlokasi di Desa Linggajati (tanpa huruf "r"), Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bangunan ini terletak di ketinggian ± 613 meter dari permukaan laut. Jadi, secara geografis, sudah cukup menjanjikan sebagai sebuah lokasi yang adem dan tenang.

Desa Linggajati yang sekitar 75% penduduknya berprofesi sebagai petani ini diapit oleh tiga desa, yaitu sebalah selatan berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur Desa Linggamekar, dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Linggaindah. Sementara di sebelah baratnya, langsung berbatasan dengan Gunung Ciremai yang tinggi menjulang ke angkasa.

Memasuki gedung yang sangat megah yang tepat berada di titik -6.881222, 108.474809 dan koordinat 6°52'52.4"S 108°28'29.3"E ini, kita akan disambut dengan gaya arsitektur bangunan luar biasa yang berlabur dominasi cat warna putih. Tembok-temboknya masih berdiri dengan kuat dan sangat terawat. Tiang-tiang penyanggahnya juga demikian, tidak terlihat kekeroposan di kayu-kayunya. Pun begitu juga dengan kusen pintu serta jendelanya, benar-benar sangat terawat dengan baik.




Perawatan gedung yang sangat baik ini pantas dan layak dilakukan, karena berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Gedung Perundingan Linggarjati ini masuk sebagai kategori Bangunan Cagar Budaya yang harus dilindungi, dijaga, dan dirawat dengan maksimal. Berdasarkan papan nama yang terpampang di depan bangunan, penanggungjawab perawatan gedung ini berada di Balai Pelestarian Cagar Budaya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Setelah mengisi buku tamu untuk mencatat nama, alamat, instansi, dan membubuhkan tanda tangan, kita bisa menyusuri loroang di samping gedung. Di hadapan kita, langsung disajikan papan berukuran sangat besar dengan latar belakang warna kuning dengan huruf dan tulisan berwarna hitam. Papan besar tersebut ternyata memuat Naskah Persetujuan Linggarjati. Perundingan dilakukan di gedung ini secara maraton sejak 10 hingga 15 November 1946, namun ditandatangani di Jakarta pada 25 Maret 1947.



Selanjutnya, kita bisa melihat beberapa ruangan yang ada di dalamnya. Diorama yang menggambarkan suasana perundingan saat itu, bisa kita lihat dengan seksama. Khayalan kita dibawa nun jauh ke tahun 1946, sebuah pertemuan antara tokoh-tokoh yang luar biasa di masa revolusi. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan anggota 3 orang, yakni Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Mohammad Roem. Sementara delegai Belanda dipimpin oleh Schermerhorn, dengan anggota Dr. Van Mook, Mr. Van Pool, dan Dr. F. De Boer. Kedua delegasi ditengahi oleh Lord Killearn, seorang warga berkebangsaan Inggris. Sementara itu, saksi yang memantau jalannya perundingan ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin, dan Mr. Ali Boediardjo.






Lantas pertanyaannya, di manakah posisi Presiden Soekarno dan Wapres Hatta saat itu? Berdasarkan catatan sejarah, mereka berdua tidak diperkenankan mengikuti perundingan, namun hanya memantau dan menginap di kediaman Bupati Kuningan, tidak jauh dari lokasi.

Selain diorama yang menampilkan suasana perundingan, di dalam gedung juga masih menyimpan dengan rapi hampir seluruh perabotan rumah tangga yang digunakan. Mulai dari meja dan kursi perundingan, meja dan kursi di ruang makan, hingga tempat tidur yang terbuat dari kayu berukiran khas Indonesia. Semuanya masih terawat dengan sangat baik.

Berdasarkan buku saku yang diperoleh di gedung ini, Gedung Perundingan Linggarjati ini semula adalah sebuah bangunan gubuk milik Ibu Jasitem yang didirikan pada tahun 1918. Lantas pada tahun 1921, gubuk dibeli oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Tersana Mergen dan dirombak menjadi bangunan semi permanen.

Kemudian pada tahun 1930, dibangun menjadi permanen dan dijadikan rumah tinggal oleh Jacobus Koos Van Os, warga Belanda juga. Pada tahun 1935, bangunan yang sudah dijadikan permanen ini dikontrak oleh Heiker, warga Belanda, dan dijadikan Hotel bernama Rustoord.










Namun pada tahun 1942, di saat Jepang masuk ke Indonesia, hotel ini kemudian diganti namanya menjadi Hotel Hokay Ryokan. Selanjutnya setelah Jepang terusir dari Indonesia, dan Proklamasi dikumandangkan, pada tahun 1945 hotel ini dirubah namanya menjadi Hotel Merdeka. Pada Tahun 1946, bersamaan dengan pelaksanaan perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan Naskah Persetujuan Linggarjati, gedung ini sering disebut sebagai Gedung Naskah Linggarjati.



Antara tahun 1948 - 1950, saat terjadi aksi Agresi Militer II, gedung ini dijadikan markas militer Belanda. Waktu terus berlalu, dan sejak Tahun 1950 hingga 1975, bangunan ini sempat dijadikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Linggajati.

Pada tahun 1975, Bung Hatta dan Ibu Syahrir berkunjung dengan membawa kabar bahwa gedung ini akan dipugar oleh Pertamina, namun usaha ini hanya sampai pembuatan bangunan sekolah untuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Linggajati. Hingga akhirnya, di tahun 1976, gedung ini oleh Pemerintah Indonesia diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan Museum Memorial.




Ah, menapaki kebesaran memorial Gedung Perundingan Linggarjati, semakin menguatkan cinta kami kepada NKRI. Al Faatihah.

ANANTO PRATIKNO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar