Pasca
merasakan rendaman
air panas Sangkanhurip di salah satu kaki Gunung Ciremai dan juga sensasi
ciuman "Ikan Dewa" di Cibulan, ziarah sejarah dan napak tilas
lantas dilanjutkan ke sebuah lokasi yang tercatat di dalam lembaran
sejarah revolusi Republik Indonesia. Catatan sejarah dan perjuangan bangsa
Indonesia tercinta di dalam versi siapapun dan versi manapun, data dipastikan
menulis dan mengukir sebuah tempat bernama Gedung Perundingan Linggarjati.
Gedung bergaya kolonial yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Cibulan ini
sangat beraura kebesaaran bangsa Indonesia.
Gedung
Perundingan Linggarjati adalah tempat diadakannya perundingan antara Republik
Indonesia dengan Pemerintah Belanda pasca perang kemerdekaan. Berlokasi di Desa
Linggajati (tanpa huruf "r"), Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan,
Jawa Barat, bangunan ini terletak di ketinggian ± 613 meter dari permukaan
laut. Jadi, secara geografis, sudah cukup menjanjikan sebagai sebuah lokasi
yang adem dan tenang.
Desa
Linggajati yang sekitar 75% penduduknya berprofesi sebagai petani ini diapit
oleh tiga desa, yaitu sebalah selatan berbatasan dengan Desa Linggasana,
sebelah timur Desa Linggamekar, dan sebelah utara berbatasan dengan Desa
Linggaindah. Sementara di sebelah baratnya, langsung berbatasan dengan Gunung
Ciremai yang tinggi menjulang ke angkasa.
Memasuki
gedung yang sangat megah yang tepat berada di titik -6.881222, 108.474809 dan
koordinat 6°52'52.4"S 108°28'29.3"E ini, kita akan disambut dengan
gaya arsitektur bangunan luar biasa yang berlabur dominasi cat warna putih.
Tembok-temboknya masih berdiri dengan kuat dan sangat terawat. Tiang-tiang
penyanggahnya juga demikian, tidak terlihat kekeroposan di kayu-kayunya. Pun
begitu juga dengan kusen pintu serta jendelanya, benar-benar sangat terawat
dengan baik.
Perawatan
gedung yang sangat baik ini pantas dan layak dilakukan, karena berdasarkan UU
No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Gedung Perundingan Linggarjati ini
masuk sebagai kategori Bangunan Cagar Budaya yang harus dilindungi, dijaga, dan
dirawat dengan maksimal. Berdasarkan papan nama yang terpampang di depan
bangunan, penanggungjawab perawatan gedung ini berada di Balai Pelestarian
Cagar Budaya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Setelah
mengisi buku tamu untuk mencatat nama, alamat, instansi, dan membubuhkan tanda
tangan, kita bisa menyusuri loroang di samping gedung. Di hadapan kita,
langsung disajikan papan berukuran sangat besar dengan latar belakang warna
kuning dengan huruf dan tulisan berwarna hitam. Papan besar tersebut ternyata
memuat Naskah Persetujuan Linggarjati. Perundingan dilakukan di gedung ini
secara maraton sejak 10 hingga 15 November 1946, namun ditandatangani di
Jakarta pada 25 Maret 1947.
Selanjutnya,
kita bisa melihat beberapa ruangan yang ada di dalamnya. Diorama yang menggambarkan
suasana perundingan saat itu, bisa kita lihat dengan seksama. Khayalan kita
dibawa nun jauh ke tahun 1946, sebuah pertemuan antara tokoh-tokoh yang luar
biasa di masa revolusi. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan
anggota 3 orang, yakni Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr.
Mohammad Roem. Sementara delegai Belanda dipimpin oleh Schermerhorn, dengan
anggota Dr. Van Mook, Mr. Van Pool, dan Dr. F. De Boer. Kedua delegasi
ditengahi oleh Lord Killearn, seorang warga berkebangsaan Inggris. Sementara
itu, saksi yang memantau jalannya perundingan ini adalah Dr. Leimena, Dr.
Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin, dan Mr. Ali Boediardjo.
Lantas
pertanyaannya, di manakah posisi Presiden Soekarno dan Wapres Hatta saat itu?
Berdasarkan catatan sejarah, mereka berdua tidak diperkenankan mengikuti
perundingan, namun hanya memantau dan menginap di kediaman Bupati Kuningan,
tidak jauh dari lokasi.
Selain
diorama yang menampilkan suasana perundingan, di dalam gedung juga masih
menyimpan dengan rapi hampir seluruh perabotan rumah tangga yang digunakan.
Mulai dari meja dan kursi perundingan, meja dan kursi di ruang makan, hingga
tempat tidur yang terbuat dari kayu berukiran khas Indonesia. Semuanya masih
terawat dengan sangat baik.
Berdasarkan
buku saku yang diperoleh di gedung ini, Gedung Perundingan Linggarjati ini
semula adalah sebuah bangunan gubuk milik Ibu Jasitem yang didirikan pada
tahun 1918. Lantas pada tahun 1921, gubuk dibeli oleh seorang berkebangsaan
Belanda bernama Tersana Mergen dan dirombak menjadi bangunan semi permanen.
Kemudian
pada tahun 1930, dibangun menjadi permanen dan dijadikan rumah tinggal oleh
Jacobus Koos Van Os, warga Belanda juga. Pada tahun 1935, bangunan yang sudah
dijadikan permanen ini dikontrak oleh Heiker, warga Belanda, dan dijadikan
Hotel bernama Rustoord.
Namun
pada tahun 1942, di saat Jepang masuk ke Indonesia, hotel ini kemudian diganti
namanya menjadi Hotel Hokay Ryokan. Selanjutnya setelah Jepang terusir dari
Indonesia, dan Proklamasi dikumandangkan, pada tahun 1945 hotel ini dirubah
namanya menjadi Hotel Merdeka. Pada Tahun 1946, bersamaan dengan pelaksanaan
perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang
menghasilkan Naskah Persetujuan Linggarjati, gedung ini sering disebut sebagai
Gedung Naskah Linggarjati.
Antara
tahun 1948 - 1950, saat terjadi aksi Agresi Militer II, gedung ini dijadikan
markas militer Belanda. Waktu terus berlalu, dan sejak Tahun 1950 hingga 1975,
bangunan ini sempat dijadikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Linggajati.
Pada
tahun 1975, Bung Hatta dan Ibu Syahrir berkunjung dengan membawa kabar bahwa
gedung ini akan dipugar oleh Pertamina, namun usaha ini hanya sampai pembuatan
bangunan sekolah untuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Linggajati. Hingga akhirnya,
di tahun 1976, gedung ini oleh Pemerintah Indonesia diserahkan kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan Museum Memorial.
Ah,
menapaki kebesaran memorial Gedung Perundingan Linggarjati, semakin menguatkan
cinta kami kepada NKRI. Al Faatihah.
ANANTO
PRATIKNO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar