Multidimensi Raja Salman
Oleh: Komaruddin Hidayat
KUNJUNGAN Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke
Indonesia selama sembilan hari tentu saja memiliki multidimensi, multitafsir,
dan multimakna. Terserah Anda mau melihatnya dari sisi mana. Dari sisi ekonomi,
boleh dikatakan kedatangannya memberikan angin segar. Janji surga. Semoga
benar-benar jadi kenyataan yang katanya mau berinvestasi sekitar Rp315 triliun
dalam berbagai sektor industri. Dalam hal ini pemerintah mesti aktif, tidak
cukup sekadar menunggu.
Di sana terdapat formula bahwa investor asing dengan jumlah
investasi besar mensyaratkan tiga hal. Pertama, negara itu secara politik mesti
stabil dan aman. Kedua, peraturannya jelas dan tidak rumit. Ketiga, dari sisi
bisnis menjanjikan keuntungan-keuntungan. Jika ketiga syarat tadi tidak
tercukupi, uang akan terbang bagaikan belalang, mencari negara lain yang aman
dan menguntungkan. Mungkin saja Tiongkok, Malaysia, atau negara lain.
Kalau Anda menteri pariwisata, khususnya pemerintah Bali,
kehadiran rombongan Raja Salman sebanyak 1.500 orang ke Pulau Dewata tersebut
bagaikan durian runtuh. Sebuah rezeki dan sekaligus promosi bagi dunia turisme
Indonesia. Para pangeran dan orang-orang kaya Arab yang selama ini lebih senang
rekreasi ke Eropa, semoga saja, akan menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan
wisata mereka. Bayangkan, Raja Arab yang selama ini dipersepsikan eksklusif dan
menganut paham keagamaan yang puritan dan rigid mau datang ke Bali untuk
berlibur selama enam hari. Sekali lagi, ini bagaikan durian matang yang runtuh
dan tinggal melahapnya.
Berdiri sejajar
Bagi umat Islam Indonesia, yang setiap salat umat Islam
menghadapkan muka ke Kabah, juga jumlah hajinya terbanyak dan dikenal tertib
dan santun, tentu saja kunjungan Khodimul Haramain (pelayan dua kota suci
Mekah-Madinah) itu merupakan balasan persahabatan iman yang sangat hangat.
Karena itu, tidak mengherankan, bahkan Raja Salman sendiri yang kagum dan
gembira melihat antusiasme warga dalam menyambutnya. Meskipun hujan deras,
masyarakat Bogor berdiri untuk menghormati sosok tamu agung. Kata Alwi Shihab,
Raja dan rombongan mengatakan baru kali ini menerima sambutan selama kunjungan
ke luar negeri yang sedemikian meriah dan ramah.
Bagi Presiden dan pemerintahan Joko Widodo, meskipun sebagian
orang enggan mengakui, ini merupakan keberhasilan diplomasi yang menaikkan
posisi dan citra Indonesia di mata Arab Saudi. Katanya, mereka kaget melihat
pembangunan di Jakarta yang megah sehingga Indonesia tidak bisa disejajarkan
dengan Bangladesh yang diasosiasikan sebagai supplier tenaga kerja ke Arab.
Indonesia ialah bangsa dan negara besar, mesti berdiri tegak dalam posisi
sejajar ketika berbicara soal bisnis, terlebih lagi kebudayaan. Indonesia jauh
lebih kaya, yang sebagian baru disaksikan dari dekat di Bali. Seeing is
believing.
Yang paling heboh di media-media sosial ialah ketika kunjungan
Raja Salman ini ditarik ke wacana politik, terutama dalam konteks jelang
pilkada DKI putaran kedua. Bagi kalangan pendukung Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) dan pendukung Anies, berbagai event selama Raja di Indonesia lalu
ditafsirkan, dimaknai, dan digoreng sedemikian rupa untuk menguatkan pilihan
jago mereka. Misalnya, foto jabat tangan Raja Salman dengan Ahok disebarkan
buzzer pro-Ahok sehingga menjadi viral mencapai puluhan ribu pengunduh. Lalu
diberi komentar bahwa Raja Salman memberi restu bagi pencalonan Ahok.
Bagi yang pro-Anies, kehadirannya ialah untuk menunjukkan
solidaritas Islam yang selama ini secara ekonomi Indonesia dikuasai modal
Tiongkok, dan kini Raja Salman ingin membantu umat Islam Indonesia dengan
mengucurkan dana ratusan triliun rupiah, untuk membendung ekspansi modal dari
‘Negeri Tirai Bambu’ tersebut. Ini bukan sekadar kunjungan diplomasi
kenegaraan, melainkan lebih dari itu ialah untuk mengeratkan ukhuwwah islamiyah
antara Arab Saudi dan Indonesia maka pilkada nanti jangan pilih Ahok.
Demikianlah, benturan kepentingan dan pemihakan politik jelang pilkada telah
meramaikan bagaimana memaknai kunjungan Raja Salman ini.
Namun, berbagai penafsiran tadi tak lebih sebagai akrobat
hermeneutika. Orang menafsirkan menurut seleranya sendiri sehingga tidak
mungkin seragam, bahkan menjadi perbedaan yang menajam. Bagi pengamat ekonomi,
tentu agenda primernya ialah menjajaki kerja sama ekonomi ketika pertumbuhan
ekonomi di Asia lebih menjanjikan ketimbang mitra tradisional mereka di Barat.
Bagi Arab Saudi, Indonesia yang mayoritas muslim tentunya memiliki ikatan batin
lebih hangat dan kuat. Namun, orang bijak bilang, uang ketika bepergian ke luar
negeri juga akan mencari teman karibnya, yaitu uang. Pedagang akan berkawan
dengan pedagang. Uang hanya mengenal dalil untung-rugi, adapun nasionalisme dan
agama hanya tambahan belaka.
Pesan simbolis
Karena itu, jangan heran jika salah satu agenda kunjungan Raja
Salman dan rombongan ialah ke Tiongkok. Ukhuwwah tijariyah wa fulusiyah,
persahabatan peradangan dan uang, bukan persaudaraan Islam. Alih-alih perintah
belajarlah kamu sampai ke negeri Tiongkok, tetapi berdaganglah kamu sampai ke
negeri Tiongkok. Masyarakat Indonesia pun memperoleh banyak pelajaran dan pengalaman
baru dari kunjungan ini. Bahwa Raja Salman ialah sosok yang santun, inklusif,
dan antiradikalisme-terorisme yang secara simbolis, keluarga Densus Antiteror
yang suaminya meninggal akan diberi hadiah ibadah haji. Kesediaan berswafoto
dengan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani juga menunjukkan sikapnya yang
human, kebapakan.
Raja juga bertemu dengan wakil tokoh lintas agama, para ulama, dan
politikus. Dalam usianya yang ke-83, kesediaan melayani berbagai acara di
Indonesia sungguh sangat mengesankan. Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia,
semoga saja penerimaan pada tamu agung yang begitu hangat, spontan, dan damai
merupakan karakter asli kita. Janganlah suasana yang sudah sejuk dan kondusif
untuk bekerja itu rusak oleh persaingan pilkada yang kadang tak lagi
mengindahkan etika sosial. Jika kita tak mampu menjaga kedamaian dan stabilitas
politik, investor asing pasti hengkang. Uang selalu ingin tinggal di tempat
yang aman dan rakyatnya pekerja keras serta jujur.
Di atas semua itu kunjungan ini punya makna historis. Bayangkan,
kepulauan Nusantara yang letaknya jauh dari Saudi Arabia, terhalang oleh India,
tetapi kenyataannya menjadi kantong umat Islam terbesar di dunia. Islam yang
bermula dari dataran Arab Saudi, dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Arab
sambil berdakwah. Mereka menyebarkan Islam dengan bijak dan damai, tanpa
teriak-teriak dan kekerasan, tetapi menggunakan bahasa dagang yang senang
dengan lobi dan persahabatan. Karena itu, Islam di Indonesia sangat bersahabat
dengan budaya lokal dan kebinekaan budaya dan etnis.
Kunjungan ini mengingatkan dan menapak tilas perjalanan sejarah
panjang pedagang Arab muslim ke Nusantara dengan cara yang damai. Begitu juga
ketika Raja Salman ke Tiongkok, itu pun mengulangi hubungan dua bangsa yang
sudah berabad-abad terjalin. Dari dulu Nusantara sudah familier dengan pedagang
Arab, Tiongkok, dan Eropa, yang sekarang digantikan Amerika. Hanya saja Eropa
meninggalkan memori imperialistis dan eksploitatif. Bagaimana Amerika Serikat? []
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2017
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar