Selasa, 07 Maret 2017

Mahfud MD: Menjaring Hakim MK



Menjaring Hakim MK
Oleh: Moh Mahfud MD

PATUTLAH kita memberi apresiasi yang tinggi kepada Presiden yang pada pekan lalu telah membentuk panitia seleksi (pansel) calon hakim konstitusi untuk menggantikan Patrialis Akbar.

Pansel yang independen, terlepas dari kepentingan dan permainan politik, ini penting untuk menjaring calon hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenuhi syarat bukan hanya formal-proseduralnya, tetapi juga integritas moralnya.

Penjaringan calon hakim konstitusi melalui pansel yang independen kali ini juga penting karena yang akan dijaring adalah calon hakim yang akan menggantikan Patrialis Akbar, mantan hakim MK yang harus terlempar dari posisinya sebagai hakim konstitusi karena terlibat skandal korupsi yang diciduk melalui operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masuknya Patrialis ke Mahkamah Konstitusi memang didahului dan disertai kontroversi panas, tepatnya ada penolakan, karena prosesnya tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana diperintahkan oleh UU Mahkamah Konstitusi.

Pada Agustus 2013 Patrialis tiba-tiba diajukan dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menggantikan Achmad Sodiki yang harus pensiun sebagai hakim MK.

Ketika Presiden SBY mengajukan nama Patrialis beberapa elemen masyarakat yang diwakili oleh beberapa civil society organization (CSO) melancarkan protes karena dianggap tidak sesuai dengan UU MK yang memerintahkan perekrutan hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif.

Pengajuan itu dinilai tidak transparan karena nama Patrialis tiba-tiba muncul sebagai nama tunggal tanpa didahului dengan pengumuman yang  bisa memberi peluang kepada warga masyarakat lain yang juga memenuhi syarat untuk meraih jabatan itu melalui kontes yang fair.

Pengajuan itu juga tidak partisipatif karena masyarakat tidak diberi informasi dan waktu untuk mengenal, menilai, dan memberi masukan kepada Presiden tentang profil calon hakim yang akan diajukannya. Itulah sebabnya beberapa CSO memerkarakannya ke Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) dan PTUN mengabulkan gugatan itu: pengangkatan Patrialis dinyatakan cacat hukum.

Namun, Presiden mengajukan perlawanan hukum atas vonis itu dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan di sana Presiden menang. Ketika dilawan dengan kasasi ke MA, ternyata Presiden tetap menang.

Tentu muncul dugaan-dugaan negatif yang tidak bisa dibuktikan tentang kemenangan Presiden di PPTUN dan MA setelah kalah telak di PTUN itu. Tetapi apa pun dugaan atau keyakinan orang, yang jelas Presiden menang dan secara “formal” pengangkatan Patrialis adalah sah adanya.

Tetapi pula (mantan) Presiden SBY memikul tanggung jawab moral  atas kengototannya mengajukan Patrialis yang kemudian ditangkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan itu.

Sejak awal pembentukan UU Mahkamah Konstitusi sudah menentukan perekrutan hakim konstitusi haruslah dilakukan secara transparan dan partisipatif. Ketentuan itu dimaksudkan agar bisa muncul hakim negarawan dan profesional.

Jabatan hakim konstitusi adalah satu-satunya jabatan yang oleh Konstitusi pemangkunya dipersyaratkan harus negarawan. Tetapi, apa arti dan ukuran negarawan itu tidak ditemukan di dalam konstitusi kita.

Ketika syarat-syarat untuk menjadi pejabat negara dituangkan ke dalam undang-undang ternyata sulit menemukan kriteria negarawan itu sehingga syarat untuk menjadi pejabat itu akhirnya sama saja antara untuk jabatan yang mengharuskan negarawan dan bukan negarawan.

Syarat kualitatif dan integritas untuk menjadi hakim MK ternyata tidak ada bedanya dengan syarat untuk menjadi anggota DPR, hakim agung, anggota BPK, dan sebagainya. Syarat harus negarawan itu tidak bisa diturunkan ke dalam undang-undang dengan indikator yang terukur.

Itulah sebabnya perekrutan hakim MK harus dilakukan secara serius dan oleh tim perekrutan yang bisa objektif dan independen. Untuk menemukan calon hakim yang dekat dengan sifat kenegarawanan panitia seleksi tidak boleh hanya mencukupkan diri pada hasil tes tertulis, penulisan makalah, dan ujian lisan terhadap para calon melainkan harus betul-betul melacak track record para calon dengan melibatkan masyarakat.

Itulah arti penting pembentukan pansel oleh Presiden dalam melakukan perekrutan hakim MK. Masyarakat menginginkan, perekrutan hakim-hakim MK secara terbuka, fair, dan partisipatif tidak hanya dilakukan untuk memilih hakim-hakim MK yang diajukan oleh Presiden, tetapi hendaknya bisa dilakukan juga untuk menjaring para hakim MK yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA).

Perekrutan yang dilakukan oleh DPR selama ini sangat rawan dengan politisasi dan permainan kepentingan politik. Meskipun dalam proses seleksinya akhir-akhir ini DPR sudah mengundang banyak pakar untuk ikut menguji dan memberi pertimbangan tetapi penentuan akhirnya tetap bersifat lebih politis dan bisa saling tukar-menukar kepentingan antarparpol.

Begitu juga perekrutan yang dilakukan oleh MA terasa hanya formalitas dan terlalu membatasi pada segmen tertentu. Sebenarnya DPR dan MA bisa melakukan perekrutan seperti yang dilakukan oleh Presiden sekarang, yakni, membentuk panitia seleksi yang independen untuk menjaring calon.

DPR dan MA nantinya tinggal menetapkan atau memilih di antara calon-calon yang sudah disaring oleh panitia seleksi. Menurut Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 posisi Presiden, DPR, dan MA dalam perekrutan hakim MK bukanlah memilih, melainkan mengajukan.

Nah, mengajukan (atau memilih untuk diajukan) itu bisa diambil dari calon-calon yang dijaring dan disaring oleh panitia seleksi yang independen. Itu tinggal kemauan saja kok. []

KORAN SINDO, 4 Maret 2017  
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar