Obat Luka Bangsa
Oleh: Yudi Latif
Untuk suatu tujuan mulia, orang harus sudah berada di jalan mulia.
Bagaimana mungkin menjanjikan kepemimpinan yang lebih melayani harapan kebaikan
dan kebahagiaan hidup bersama jika jalan menuju tampuk kekuasaan dilalui
melalui perobekan tenunan kebersamaan dan rasionalitas publik.
DKI Jakarta sebagai pusat saraf politik nasional semestinya tampil
sebagai pusat kewarasan dan keadaban publik. Pokok pikiran keempat Pembukaan
UUD 1945 mengamanatkan elite politik dan penyelenggara negara harus menjunjung
tinggi cita kemanusiaan dan cita moral rakyat yang luhur. Akan tetapi, dalam
ajang pilkada kali ini, calon pemimpin dan elite justru membiarkan pendukungnya
terjerembap ke jurang kebiadaban tanpa mengindahkan etika dan perikemanusiaan.
Elite politik semestinya pihak paling waras dan sadar. Bahwa
kehadiran negara-bangsa ini tidaklah mewujud secara tiban, tetapi hasil dari
usaha sadar dengan penuh pengorbanan berbagai elemen bangsa untuk mengalirkan
ribuan sungai kecil (kesukuan, keagamaan, dan kelas sosial) menuju samudra
negara Indonesia merdeka bagi semua; negara semua buat semua; satu untuk semua,
semua untuk satu. Janganlah hasil perjuangan lelehan keringat, darah, dan air
mata para pendiri bangsa selama ratusan tahun itu dihancurkan dalam sekejap
hanya karena ambisi kekuasaan sesaat.
Apabila elite gelap mata, rakyat sebagai ibu pertiwi semoga masih
memancarkan kemurnian bening hati. Sering terjadi anak-anak le- bih sadar
daripada orangtuanya, rakyat lebih waras daripada pemimpinnya. Dalam terang
kesadaran dan spontanitas kejujuran kanak- kanak, selalu bisa ditemukan
keriangan di balik kepedihan; harapan cahaya di ujung gelap.
Negeri kepulauan sepanjang rangkaian cincin api memang bisa
diterjang letusan gunung dan tsunami. Kedamaian di sepanjang kepulauan sesekali
bisa dilanda konflik. Namun, letusan gunung tidak berarti mengakhiri kehidupan.
Muntahan abu vulkanik bisa jadi pupuk yang menyuburkan kehidupan.
Apa yang melukai bangsa ini bisa merahmatinya. Dalam pedih
pertikaian, warga disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan
dengan berbagi kesejahteraan. Kegelapan menyediakan bintang penuntun bahwa
keberadaan dan kekayaan bangsa ini karena ada perbedaan. Adapun keteguhan
bangsa ini karena ada persamaan.
Karena perbedaan merupakan dasar mengada bangsa ini, janganlah
kita sekali-kali membenci perbedaan. Kita harus mensyuku- ri kemajemukan bangsa
ini sebagai kekayaan dan sumber kemajuan peradaban. Denys Lombard menyatakan,
”Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang,
seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebu- dayaan besar
dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia melukiskan ada beberapa
jaringan (nebula) sosial-budaya yang kuat memengaruhi peradaban Nusantara
(secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus
pembaratan.
Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti sehingga
Nusantara sebagai tempat persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat
berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar. Akan tetapi, menurut Lombard,
situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri
pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan,
jika dikelola baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa keuntungan,
kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.
Maka, jangan takut pada perbedaan. Bukankah keindahan taman sari
karena ragam puspa. Bukankah keelokan pelangi karena aneka warna. Bukankah
kemerduan musik karena paduan berbagai nada. Bukankah kemajuan peradaban karena
kawin silang antarbudaya.
Meskipun perbedaan yang membuat Indonesia ada dan kaya, ketahanan
bangsa ini tidak bisa diperjuangkan hanya mengandalkan perbedaan. Perbedaan
memang membuat bangsa ini ada dan kaya, tetapi persamaanlah yang membuat bangsa
ini kuat. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Kelentingan daya sintas negara-bangsa ini ditentukan kesanggupan
menyadari dan merajut persamaan dalam perbedaan. Di balik aneka warna kulit,
bisa kita temukan persamaan darah-merah, tulang-putih. Di balik aneka warna
pelangi, dasar warnanya sama putih. Di balik aneka ras manusia yang hidup di
negeri ini, semuanya bermula dari induk tunggal yang sama. Di balik ragam
agama, semuanya sama-sama mengajak berserah diri kepada Tuhan Yang Mahakasih.
Kematangan hidup bangsa ini memijarkan kesanggupan menghargai
perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara memuliakannya dalam
sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa beda itu (bhinna ika), sama itu (tunggal
ika). Sejauh berjalan di atas jalan kebenaran akan selalu ada titik temu.
Sebab, tidak ada kebenaran yang mendua (tan hana dharma mangrwa).
Kabut gelap pertikaian bisa menyembunyikan kenyataan dari
penglihatan, tetapi mana bisa menyembunyikan cahaya cinta dari jiwa. Dengan
terang cinta di jiwa, pengalaman pa- hit ini akan mengobati kerawanan bangsa
dengan menghargai perbedaan seraya memperkuat persamaan. Di sepanjang untaian
zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, saling
mengasah, saling mengasuh; tiada kebinatangan saling menginjak, saling
mengisap, dan mengusir se- sama. Hanya ada satu Tanah Air tempat hidup dan
kembali. Ia tumbuh karena perbuatan dan perbuatan itu adalah budi pekerti kita.
[]
KOMPAS, 14 Maret 2017
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar