Kalkulasi Kunjungan Raja Arab
Oleh: Hasibullah Satrawi
KUNJUNGAN Raja Ke-7 Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz, (1-9 Maret),
ke Indonesia mendapatkan perhatian luas dari masyarakat, tak hanya karena
kemewahan dan jumlah rombongan yang dibawanya, tetapi juga posisi dan peran
politik Arab Saudi. Dalam beberapa waktu terakhir, Arab Saudi memegang peran
penting secara politik, baik dalam konteks regional Timur Tengah atau bahkan
pada tataran global.
Dalam konteks Timur Tengah dan dunia Arab secara khusus, Arab
Saudi saat ini menjadi salah satu negara Arab garda terdepan yang sangat
menentukan bagi konstelasi politik di kawasan. Tak hanya terkait dengan
persoalan-persoalan di internal dunia Arab yang timbul akibat Arab Spring pada
akhir 2010, tetapi juga terkait dengan sikap bangsa Arab dalam menghadapi
bangsa-bangsa lain di Timur Tengah, seperti Iran, Turki, atau bahkan Israel.
Sementara itu, posisi Arab Saudi di ranah global juga tidak kalah
srategis, khususnya di saat dunia masih pada masa adaptasi dengan pemerintahan
Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump. Sejauh ini Arab Saudi
menjadi salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah. Namun, apakah persekutuan
ini masih akan terus berlanjut secara strategis pada era Trump? Hanya Tuhan
yang tahu jawabannya.
Apalagi, Arab Saudi bersama sekutu-sekutu AS yang lain di Timur
Tengah acap dikecewakan AS akibat kebijakan negeri adidaya itu terlalu
mengedepankan kepentingan nasionalnya. Bahkan, mereka tega kendati harus
mengorbankan ambisi sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Sebut saja persoalan
krisis Suriah, yaitu sekutu-sekutu utama AS di Timur Tengah (khususnya Arab
Saudi dan Turki) berambisi segera menumbangkan Bashar al-Assad. Namun, AS tidak
memberikan perhatian memadai atas ambisi tersebut.
Setelah munculnya IS, AS justru menjadikan persoalan IS sebagai
prioritas. Akibatnya (tentu juga karena faktor lain), beberapa sekutu AS di
Timur Tengah seperti Turki melakukan politik banting setir dan lebih mendekat
ke Rusia. Khusus bagi Arab Saudi, kebijakan AS belakangan banyak yang dianggap
tidak sesuai dengan 'persekutuan' mereka.
Sebagai contoh, di akhir pemerintahan Obama, AS mengesahkan UU
Antiterorisme, Justice Against Sponsors of Terorism (JASTA) yang memperbolehkan
para korban aksi serangan 11 September 2001 di AS untuk menuntut negara yang
dianggap mensponsori tindak pidana terorisme. Arab Saudi melakukan protes keras
atas pengesahan UU ini karena sebagian besar (15 orang) pelaku serangan ialah
warga mereka.
Dengan perkembangan-perkembangan yang ada, sangat mungkin Arab
Saudi mengkalkulasi ulang segala keputusannya. Inilah yang penulis maksud dengan
kunjungan istimewa yang saat ini dilakukan Raja Arab Saudi ke Indonesia.
Setidaknya ada dua hal utama yang harus mendapatkan kabar baik dari kunjungan
dan pertemuan antara Raja Salman dengan Presiden Jokowi nantinya.
Untuk Indonesia
Dua hal di itu, untuk Indonesia, pertama, ialah memperbanyak kuota
haji. Ini begitu krusial karena persoalan berangkat haji bagi masyarakat
Indonesia saat ini nyaris seperti mimpi. Beribadah haji tak hanya terkait
ketersediaan ongkos, bahkan orang yang sudah punya ongkos dan sudah
mendaftarkan diri sekalipun, belum tentu bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan, lamanya masa tunggu sampai 20 tahun-30 tahun.
Dengan melakukan kunjungan langsung ke Indonesia, Raja Salman bisa
melihat langsung tentang besarnya populasi umat Islam di Indonesia. Sebuah
populasi yang mungkin hanya bisa ditandingi negara-negara di Timur Tengah
bilamana mereka disatukan.
Kedua, persoalan perlindungan terhadap para tenaga kerja asal
Indonesia (TKW/TKI) yang bekerja di Arab Saudi. Sejauh ini persoalan TKI acap
mengganggu hubungan kedua negara. Bahkan, hingga saat ini Indonesia belum
mencabut moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Tak dapat disangkal, di mana
pun selalu ada orang yang melakukan keburukan, termasuk sebagian TKI yang
mungkin melakukan keburukan dan melakukan pelanggaran hukum di Arab Saudi.
Namun, harap diketahui para TKI berangkat ke Arab Saudi (dan juga
tempat-tempat lain) bukan dengan niat melakukan keburukan. Mereka berniat baik
bekerja yang halal untuk keluarganya. Bila pada akhirnya ada di antara mereka
yang bermasalah secara hukum (khususnya dengan majikan), sejatinya hal tersebut
dipahami dalam konteks niat awal ini. Hingga tidak setiap TKI yang terlibat
kasus hukum kemudian berakhir dengan hukuman pancung ataupun rajam.
Melalui kunjungan ini, Raja Salman bisa mengetahui secara langsung
tentang kebaikan bangsa Indonesia secara asasi. Bahkan sampai pada tahap gedung
DPR sebagai kebanggaan rakyat pun didesain sedemikian rupa untuk bisa
mengakomodasi fasilitas bagi Raja Salman. Para TKI yang bekerja di Arab Saudi
ialah bagian dari bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai luhur ini.
Kalau di antara mereka ada yang terlibat kasus pidana, hampir
dipastikan itu terjadi karena hal-hal yang berkembang di Arab Saudi. Bukan karena
niat mereka untuk berbuat jahat. Sejatinya hal ini bisa dijadikan sebagai
syubhat (penghalang) bagi pemberlakuan hukum kisas yang berlaku di sana.
Untuk Arab Saudi
Dua hal utama bagi Arab Saudi yang penting mendapatkan kabar baik
dari kunjungan Raja Salman ini. Pertama, hubungan Islam dan demokrasi yang
ditandai dengan adanya kebebasan sipil dan kesetaraan hak bagi warga negara,
baik dari kalangan muslim ataupun nonmuslim. Dari balik kaca mobil yang membawanya
ke sejumlah tempat di Indonesia, Raja Salman dapat melihat secara langsung
kebebasan masyarakat yang dijamin UU dan konstitusi.
Di DPR pun, Raja Salman bisa melihat secara langsung para
perempuan berjilbab dan tidak berjilbab yang duduk secara sejajar bersama
laki-laki, baik sebagai anggota DPR, menteri, ataupun perwakilan dari lembaga
negara lainnya. Pada waktu yang bersamaan Raja Salman juga dapat mendengar azan
ataupun lantunan Alquran yang bertautan dengan lonceng gereja dan simbol-simbol
keagamaan lainnya. Indonesia membuktikan Islam dan demokrasi tidak
bertentangan. Pengalaman Islam dan demokrasi di Indonesia bisa dipahami sebagai
cita-cita nilai yang termaktub dalam Alquran, sunah, dan literatur keislaman
lainnya, yaitu tentang musyawarah, pergantian kepemimpinan secara damai,
penghormatan terhadap perempuan, hak-hak minoritas dan yang lainnya.
Kedua, tentang Islam Nusantara. Walaupun sama-sama berpenduduk
mayoritas muslim, Islam yang berkembang di Indonesia berbeda dengan Islam yang
berkembang di negara-negara lain, khususnya di Timur Tengah. Bukan pada
pokok-pokok ajaran keislaman seperti salat, puasa dan lainnya, melainkan pada
ekspresi sosial, budaya, politik, bahkan moral.
Hal ini tidak terlepas dari prinsip-prinsip akulturasi (al-'urf)
yang di tangan para tokoh muslim pendiri bangsa menjadi energi dakwah yang luar
biasa walaupun hal ini tidak terlalu berkembang di wilayah lain (termasuk di
Timur Tengah) dan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Hingga walaupun
dahulu tidak ada sahabat nabi yang sampai ke Nusantara untuk menyebarkan Islam,
kini mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. []
MEDIA INDONESIA, 7 March 2017
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo Pengamat politik
Timur Tengah dan dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar