Supersemar
51 Tahun
Oleh:
Budiarto Shambazy
Sekitar
setengah abad lalu, dalam beberapa hari pada Februari 1967, posisi politik
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS
Soekarno semakin terjepit. Lawan politiknya Ketua Presidium Kabinet Ampera
Jenderal Soeharto. Pak Harto ”Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966” sekaligus
menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat.
Pada
hari-hari yang amat penting itu, Pak Harto dekat dengan tiga menteri panglima
lainnya. Mereka adalah Men/Pangal Laksamana Muljadi, Men/Pangau Marsdya Rusmin
Nurjadin, dan Men/Pangak Jenderal (Pol) Sutjipto Judodihardjo. Hampir semua
partai, tokoh politik, pers, serta mahasiswa bersikap anti Bung Karno.
Mereka
memandang curiga peranan Bung Karno dalam peristiwa 30 September 1965
(G30S)/PKI dan dianggap bertanggung jawab atas terpuruknya perekonomian dan
merosotnya akhlak bangsa. Pertanggungjawaban Bung Karno berjudul Nawaksara yang
disampaikan kepada MPRS pada 22 Juni 1966 ditolak. Pelengkap Nawaksara, yang
diajukan pada 10 Januari 1967, juga ditolak MPRS yang diketuai mantan
Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution.
Nah,
tanggal 7 Februari 1967 Bung Karno melalui dua surat yang disampaikan lewat
tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat penugasan khusus” kepada Pak
Harto. Isinya, Bung Karno menyerahkan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari
kepada Pak Harto.
Namun,
esok harinya, tawaran itu ditolak karena dinilai tidak akan menyelesaikan
masalah politik nasional yang semakin tak menentu. Maka, pada 10 Februari Pak
Harto menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk membicarakan penolakan surat
penugasan khusus tersebut sekaligus menyampaikan keinginan para
menteri/panglima keempat angkatan.
Tanggal
11 Februari semua menteri/panglima angkatan kembali menemui Bung Karno di
Bogor. Mereka menawarkan konsep yang intinya lebih kurang menyepakati ”presiden
berhalangan dan menyerahkan kekuasaan” kepada Pak Harto sebagai pengemban
Supersemar.
Bung Karno
meminta waktu untuk berpikir. Namun, dalam pertemuan keesokan harinya, giliran
Bung Karno yang menolak konsep tersebut. Tentu saja penolakan Bung Karno tidak
bertahan lama. Akhirnya, ia menyerah dan malah meminta berbagai jenis
”jaminan”, yang secara jelas ditolak Pak Harto.
Setelah
melalui perundingan cukup alot selama berhari-hari, kedua pihak akhirnya
menyetujui formulasi yang akan diumumkan. Pengumuman itu ditandatangani Bung
Karno pada 20 Februari 1967, tetapi baru diumumkan dua hari kemudian.
Butir
pertama pengumuman itu ”Kami Presiden Republik Indonesia/ Mandataris
MPRS/Panglima Tertinggi terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto
sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan
jiwa UUD ’45”.
Butir
kedua ”Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan
tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu”. Lalu butir ketiga
”Menyerukan kepada rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur
pemerintah, dan ABRI terus meningkatkan persatuan dan menegakkan revolusi.”
Waktu
bergerak cepat dari Februari ke Maret. Dalam sidangnya, MPRS secara resmi
mengakhiri kekuasaan Bung Karno sebagai presiden pada 12 Maret 1967 melalui
Ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno.
Ketika
keluar dari Istana Bogor, Juli 1968, Bung Karno memulai kehidupan from hero to
zero. Ia bukan cuma dituduh memborong tanah di Bogor, tetapi disinyalir
memiliki vila mewah di Meksiko.
Lemhannas
repot bertanya, Bung Karno pahlawan atau pengkhianat, sedangkan Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI) meralat dia bukan anggota. Bukan cuma foto dia yang
wajib dicopot dari dinding-dinding, PSSI pun menghentikan kompetisi Soekarno
Cup.
Kini?
Pidato-pidato Bung Karno dibaca ulang, ide-idenya dianggap masih relevan.
Keindonesiaan yang dia cita-citakan makin gencar dipraktikkan. Tanggal 1 Juni
pun kini diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila untuk mengabadikan pengabdian
Bung Karno bagi bangsa ini.
Supersemar
dan berbagai peristiwa politik di sekitarnya menjadi hikmah besar bagi kita
untuk memahami kepemimpinan nasional. Bung Karno dan Pak Harto figur larger
than life yang kita elukan, kita nistakan, kita maafkan, dan akhirnya kita akui
sumbangsihnya.
Bung
Karno dan Pak Harto juga manusia biasa seperti baterai yang mempunyai kutub
plus dan minus: banyak jasanya dan banyak pula kesalahannya. Bukankah kita
semua juga begitu? []
KOMPAS,
11 Maret 2017
Budiarto
Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar