Jalinan Persahabatan
Gus Dur dan Paku Buwono (PB) XII
Empat belas tahun
silam, atau tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2002, Presiden Republik Indonesia
ke-4, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mendapat gelar Kanjeng Pangeran Arya
(KPA) dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Gelar ini, menurut H.
Ronggojati Sugiyatno, setara dengan Kanjeng Patih. “Gelar KPA yang diterima Gus
Dur dari pemberian Sinuhun itu, setara dengan Kanjeng Patih. Lebih tinggi dari
gelar-gelar keluarga Keraton Solo yang ada,” ungkapnya.
H. Ronggojati
Sugiyatno atau yang akrab dipanggil dengan nama Pak Dhe Tino ini, merupakan
salah satu orang Solo yang dekat dengan Gus Dur. Ia pula yang menjadi salah
satu saksi, kedekatan antara Gus Dur dengan Raja Keraton Surakarta waktu itu,
Sinuhun Paku Buwono (PB) XII.
Kedekatan antara
keduanya masih terekam dalam ingatan Pak Dhe Tino. Pernah, pada suatu ketika di
saat peringatan malam Satu Sura, ia menyaksikan Sinuhun sampai tertawa
terpingkal-pingkal mendengar cerita Gus Dur.
Padahal lumrahnya dan
juga secara etika, pada peringatan malam Satu Sura tersebut, tak ada
orang-orang Keraton yang berani tertawa.
Saking penasarannya,
ia pun bertanya kepada Gus Dur. “Gus, tadi panjenengan cerita apa ke Sinuhun,
kok sampai beliau tertawa terpingkal-pingkal,”
Gus Dur kemudian
menjawab dengan cerita. “Ini yang di samping saya, ini dan itu, sekarang sudah
jadi mantan (mantan pejabat dan sebagainya,-red). Lha Sinuhun ini, kapan jadi
mantannya?”
Karena mendengar
humor tersebut, Sinuhun pun tertawa. Sebab, ketika ia menjadi mantan Sinuhun,
berarti ia telah meninggal.
Soal wafatnya Sinuhun
PB XII ini pun, Gus Dur pernah meramalkan apa yang terjadi setelahnya. Ketika
itu Gus Dur bertanya kepada Sinuhun, kalau nanti Sinuhun sampun seda
(meninggal), nanti siapa yang akan menggantikan.
“Loh, Gus Dur itu
mendoakan saya mati ya?,” tanya Sinuhun.
“Anak saya itu dua,
yang satu ..., satunya ....,” lanjut dia.
“Jam itu kan cuma
sampai jam 12,” jawab Gus Dur.
Di kemudian hari,
perkataan Gus Dur ini terbukti. Pascawafatnya PB XII, terjadi konflik
berkepanjangan, yang kemudian melahirkan “dualisme kepemimpinan” di Keraton
Surakarta.
Melestarikan Budaya
Kembali kepada gelar
yang diterima Gus Dur. Meski, sebelumnya ia tidak pernah berharap untuk
mendapat gelar, namun baginya, pemberian gelar ini sebagai salah satu tindakan
untuk melestarikan budaya daerah.
“Bagi saya ini adalah
sebuah penghormatan bagi jalan hidup yang saya pilih, yakni supaya selalu
menyerasikan Islam dengan budaya daerah,” kata Gus Dur kepada pers, ketika itu.
Gus Dur juga berharap
Keraton Surakarta dapat menjadi pemelihara dan pelestari budaya. “Selama ini,
Keraton telah menjadi pemelihara dan pelestari budaya. Kalau ada yang hilang
maka kebudayaan di daerah kita ini akan terganggu,” paparnya.
Yang menarik tidak
hanya itu, konon setelah mendapat gelar KPA, Gus Dur justru takut dengan
panggilan baru yang bakal melekat pada namanya.
“Tapi nanti saya
tidak mau dipanggil dengan panggilan Gusti seperti orang keraton itu, lho,”
kata Gus Dur kepada Sinuhun, sesaat setelah menerima gelar KPA.
“Lha kok bisa, Gus?
Apa takut dianggap syirik?” tanya Sinuhun.
“Bukan apa-apa. Cuma
nggak enak aja kalau ditambahi tambahan Gusti. Nanti, malah bisa keliru
panggilannya jadi Gus Tidur,” jawab Gus Dur. []
(Ajie Najmuddin,
Tulisan ini merupakan nukilan dari acara diskusi “Melacak Jejak Gus Dur di
Solo”, yang diadakan Gusdurian Solo, 20 Agustus 2016. Akan ditulis secara
berseri, untuk menyambut Haul Gus Dur yang ke-7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar