Mengapa Gus Dur
Membentuk Fordem?
Langkah politik Gus
Dur sering tidak terbaca oleh kalangan awam. Gus Dur sering disalahpahami,
karena jurus politiknya yang zig-zag, dengan keberanian menanggung resiko.
Tentu saja, tujuan Gus Dur berjuang berbasis keyakinan dan berpinsip pada
kaidah-kaidah fikih yang beliau resapi. Di antara langkah politik Gus Dur yang
membuat cemas pemerintah, adalah gerakannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).
Dalam kesakisannya,
Kiai Munasir Ali mengungkapkan betapa langkah politik Gus Dur sangat jitu.
"Ketika Gus Dur bicara, kami mengerti siapa yang dituju dari pembicaraan
itu. Apakah orang politik, jemaah NU atau oara elite. Kami tahu Gus Dur sedang
berada di frekuensi apa ketika dia sedang bicara," terang Kiai Munasir
Ali, sebagaimana terekam dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).
Dalam ungkapan Kiai
Munasir, ketika mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), Gus Dur banyak mendapatkan
tentangan dari para kiai. Mengapa? Karena Gus Dur dianggap mengurusi masalah
yang tidak ada sangkut pautnya dengan problem ummat. Ketika masalah ummat
sedang mendesak, Gus Dur justru merangkul kalangan intelektual lintas agama
untuk membentuk satu kekuatan gagasan. Bagi para kiai tradisional, tindakan Gus
Dur ini dianggap menjauhi problem mendasar ummat.
Perbedaan gagasan
antara Gus Dur dengan beberapa kiai tradisional, seringkali karena berbeda cara
pandang dan respons. Pada akhir tahun 1980an, Gus Dur terlihat 'berseberangan'
dengan Kiai As'ad Samsul Arifin. Padahal, jika dicermati, perbedaan pandangan
Gus Dur dengan Kiai As'ad, berakar dari perbedaan kaidah ushul sebagai
prinsip.
Gus Dur menggunakan
kaidah al-muhafadzah ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah
(menjaga sesuatu lama yang baik, serta mengambil inovasi baru yang lebih baik).
Dari prinsip ini, Gus Dur melakukan manuver progresif untuk mewujudkan visi
misinya. Sedangkan, para kiai cenderung hati-hati untuk melangkah karena
menghindari polemik.
Gerakan Gus Dur
membentuk Fordem bermula ketika pemerintah mensponsori pendirian ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia). Hampir semua intelektual Islam bergabung dengan
ICMI, yang dikomando BJ Habibie, atas restu Presiden Soeharto. Gus Dur menolak
ajakan bergabung dalam barisan ICMI. Adnan Buyung Nasution juga mengikuti Gus
Dur, memilih tidak ikut bergabung sebagai intelektual ICMI. Gus Dur mengecam
keras dukungan politik Soeharto kepada ICMI, yang dianggap beliau sebagai
bentuk kebangkitan kembali politik sektarian (Hefner, 128; Nasution, 2010: 53).
Dalam catatan Adnan
Buyung Nasution (Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan), upaya Gus Dur
melawan pendirian ICMI tidak sekedar wacana. Gus Dur mengingatkan Soeharto,
bahwa upaya pemerintah untuk mengontrol kelompok Islam militan lewat ICMI akan
menjadi senjata makan tuan. Menurut Gus Dur, Indonesia perlu mengembangkan
suatu toleransi beragama dengan berlandaskan pada kebebasan beragama dan
menjalankan kepercayaan.
Demi membela
prinsipnya, Gus Dur bergerak untuk melawan pendirian ICMI. Adnan Buyung
Nasution, mengisahkan bahwa Gus Dur bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng,
Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, serta Adnan Buyung Nasution membentuk
Forum Demokrasi (Fordem). Organisasi ini dibentuk sebagai diseminasi gagasan
demokratisasi pada masyarakat yang lebih luas. Selain itu, Fordem juga bermaksud
melakukan pembelaan individu maupun kelompok yang menjadi korban
kesewenang-wenangan rezim yang berkuasa.
Melihat manuver Gus
Dur membentuk Fordem, pemerintahan Soeharto bereaksi untuk menutup akses
kelompok ini. Fordem dianggap sebagai komunitas yang berbahaya, bahkan
pemerintah mempersulit pertemuan Fordem dan menjelang Pemilu tahun 1992 pernah
dilarang. Namun, Gus Dur tidak sejengkal pun mundur. Ia tetap bergerak untuk
mengingatkan pemerintahan Soeharto agar tidak sewenang-wenang. Langkah taktis Gus
Dur, jelas membikin Soeharto sakit kepala, apalagi putra Kiai Wahid Hasyim ini
berusaha memobilisasi warga nahdliyyin.
Pada peringatan hari
lahir ke-66 Nahdlatul Ulama, yang dihadiri ribuan orang di Senayan serta
diagendakan sebagai selebrasi warga nahdliyyin, Gus Dur mendapat 'pesan khusus'
dari Soeharto. Melalui Letkol Kolonel (Inf) Prabowo Soebianto, Soeharto hendak
menghentak Ketua Umum PBNU, dan memberi pesan betapa gerakan Gus Dur sudah
menerabas garis yang ditetapkan pemerintah.
Prabowo meminta Gus
Dur agar tidak melibatkan diri dalam politik, serta fokus untuk mengurus ummat.
Gus Dur juga diminta untuk mendukung kepemimpinan Soeharto, hingga periode
berikutnya. Namun, Gus Dur tidak bersedia menggadaikan idealismenya, beliau
bahkan mengancam untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PBNU (Nasution,
2010: 55). Betapa, pilihan politik Gus Dur membawa resiko yang tidak ringan.
Gus Dur membentuk
Fordem, karena beliau tidak ingin suara Islam hanya menjadi label kepentingan
pemerintah. Demikian pula, kelompok cendekiawan muslim tidak hanya menjadi
stempel kebijakan pemerintah. Jejak langkah Gus Dur, dalam merangkul
intelektual lintas agama dan ideologi, jelas menjadi cermin bagi kita bagaimana
menghindari jebakan fanatisme keagamaan yang pada akhirnya hanya menjadi
stempel bagi kepentingan politik praktis. []
Munawir Aziz, Wakil
Sekretaris LTN PBNU, bukunya bertema "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa
Nusantara" dalam proses terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar