Jumat, 31 Maret 2017

Mengapa Gus Dur Membentuk Fordem?



Mengapa Gus Dur Membentuk Fordem?

Langkah politik Gus Dur sering tidak terbaca oleh kalangan awam. Gus Dur sering disalahpahami, karena jurus politiknya yang zig-zag, dengan keberanian menanggung resiko. Tentu saja, tujuan Gus Dur berjuang berbasis keyakinan dan berpinsip pada kaidah-kaidah fikih yang beliau resapi. Di antara langkah politik Gus Dur yang membuat cemas pemerintah, adalah gerakannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).

Dalam kesakisannya, Kiai Munasir Ali mengungkapkan betapa langkah politik Gus Dur sangat jitu. "Ketika Gus Dur bicara, kami mengerti siapa yang dituju dari pembicaraan itu. Apakah orang politik, jemaah NU atau oara elite. Kami tahu Gus Dur sedang berada di frekuensi apa ketika dia sedang bicara," terang Kiai Munasir Ali, sebagaimana terekam dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Dalam ungkapan Kiai Munasir, ketika mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), Gus Dur banyak mendapatkan tentangan dari para kiai. Mengapa? Karena Gus Dur dianggap mengurusi masalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan problem ummat. Ketika masalah ummat sedang mendesak, Gus Dur justru merangkul kalangan intelektual lintas agama untuk membentuk satu kekuatan gagasan. Bagi para kiai tradisional, tindakan Gus Dur ini dianggap menjauhi problem mendasar ummat.

Perbedaan gagasan antara Gus Dur dengan beberapa kiai tradisional, seringkali karena berbeda cara pandang dan respons. Pada akhir tahun 1980an, Gus Dur terlihat 'berseberangan' dengan Kiai As'ad Samsul Arifin. Padahal, jika dicermati, perbedaan pandangan Gus Dur dengan Kiai As'ad, berakar dari perbedaan kaidah ushul sebagai prinsip. 

Gus Dur menggunakan kaidah al-muhafadzah ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah (menjaga sesuatu lama yang baik, serta mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dari prinsip ini, Gus Dur melakukan manuver progresif untuk mewujudkan visi misinya. Sedangkan, para kiai cenderung hati-hati untuk melangkah karena menghindari polemik.

Gerakan Gus Dur membentuk Fordem bermula ketika pemerintah mensponsori pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hampir semua intelektual Islam bergabung dengan ICMI, yang dikomando BJ Habibie, atas restu Presiden Soeharto. Gus Dur menolak ajakan bergabung dalam barisan ICMI. Adnan Buyung Nasution juga mengikuti Gus Dur, memilih tidak ikut bergabung sebagai intelektual ICMI. Gus Dur mengecam keras dukungan politik Soeharto kepada ICMI, yang dianggap beliau sebagai bentuk kebangkitan kembali politik sektarian (Hefner, 128; Nasution, 2010: 53).

Dalam catatan Adnan Buyung Nasution (Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan), upaya Gus Dur melawan pendirian ICMI tidak sekedar wacana. Gus Dur mengingatkan Soeharto, bahwa upaya pemerintah untuk mengontrol kelompok Islam militan lewat ICMI akan menjadi senjata makan tuan. Menurut Gus Dur, Indonesia perlu mengembangkan suatu toleransi beragama dengan berlandaskan pada kebebasan beragama dan menjalankan kepercayaan.

Demi membela prinsipnya, Gus Dur bergerak untuk melawan pendirian ICMI. Adnan Buyung Nasution, mengisahkan bahwa Gus Dur bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, serta Adnan Buyung Nasution membentuk Forum Demokrasi (Fordem). Organisasi ini dibentuk sebagai diseminasi gagasan demokratisasi pada masyarakat yang lebih luas. Selain itu, Fordem juga bermaksud melakukan pembelaan individu maupun kelompok yang menjadi korban kesewenang-wenangan rezim yang berkuasa.

Melihat manuver Gus Dur membentuk Fordem, pemerintahan Soeharto bereaksi untuk menutup akses kelompok ini. Fordem dianggap sebagai komunitas yang berbahaya, bahkan pemerintah mempersulit pertemuan Fordem dan menjelang Pemilu tahun 1992 pernah dilarang. Namun, Gus Dur tidak sejengkal pun mundur. Ia tetap bergerak untuk mengingatkan pemerintahan Soeharto agar tidak sewenang-wenang. Langkah taktis Gus Dur, jelas membikin Soeharto sakit kepala, apalagi putra Kiai Wahid Hasyim ini berusaha memobilisasi warga nahdliyyin.

Pada peringatan hari lahir ke-66 Nahdlatul Ulama, yang dihadiri ribuan orang di Senayan serta diagendakan sebagai selebrasi warga nahdliyyin, Gus Dur mendapat 'pesan khusus' dari Soeharto. Melalui Letkol Kolonel (Inf) Prabowo Soebianto, Soeharto hendak menghentak Ketua Umum PBNU, dan memberi pesan betapa gerakan Gus Dur sudah menerabas garis yang ditetapkan pemerintah. 

Prabowo meminta Gus Dur agar tidak melibatkan diri dalam politik, serta fokus untuk mengurus ummat. Gus Dur juga diminta untuk mendukung kepemimpinan Soeharto, hingga periode berikutnya. Namun, Gus Dur tidak bersedia menggadaikan idealismenya, beliau bahkan mengancam untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PBNU (Nasution, 2010: 55). Betapa, pilihan politik Gus Dur membawa resiko yang tidak ringan.

Gus Dur membentuk Fordem, karena beliau tidak ingin suara Islam hanya menjadi label kepentingan pemerintah. Demikian pula, kelompok cendekiawan muslim tidak hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah. Jejak langkah Gus Dur, dalam merangkul intelektual lintas agama dan ideologi, jelas menjadi cermin bagi kita bagaimana menghindari jebakan fanatisme keagamaan yang pada akhirnya hanya menjadi stempel bagi kepentingan politik praktis. []

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, bukunya bertema "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" dalam proses terbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar