Membubarkan
Parpol Penerima Suap
Oleh:
Yusril Ihza Mahendra
DARI
dakwaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang kini
mulai disidangkan, diduga bukan hanya terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman
dan Sugiharto yang terlibat, tetapi juga politisi terkemuka dari berbagai
parpol. Terdakwa Irman bahkan menyebut beberapa parpol, termasuk parpol yang
sedang berkuasa sekarang, turut menikmati uang suap proyek e-KTP yang diduga
merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun itu.
Besarnya nilai uang yang digunakan untuk menyuap menunjukkan bahwa kasus
tersebut merupakan kasus besar yang mempermalukan bangsa dan negara. Karena
itu, kasus tersebut harus diungkap sampai tuntas.
KPK tentu
tidak akan berhenti mengungkap kasus ini hanya pada Irman dan Sugiharto serta
sejumlah politikus, tetapi juga wajib menyidik keterlibatan parpol dalam
perkara tindak pidana korupsi ini. Parpol adalah instrumen politik yang sangat
penting dalam sistem politik dan demokrasi kita di bawah UUD 1945. Tanpa
parpol, takkan ada pemilu legislatif dan pilkada. Bahkan, tanpa parpol,
mustahil ada pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebab, hanya parpol yang
dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Karena
parpol merupakan instrumen politik yang sangat penting, adanya parpol yang
bersih, berwibawa, dan bebas KKN seperti yang digagas pada awal reformasi
merupakan suatu keniscayaan. Tanpa itu, negara ini akan tenggelam dalam
kesuraman. Ekonomi akan runtuh, demokrasi akan terkubur, dan integrasi bangsa
akan menjadi pertaruhan. Di sinilah peran penting KPK sebagai lembaga
antikorupsi. KPK tidak hanya harus membersihkan penyelenggara negara dari
korusi, tetapi juga wajib menindak kejahatan korporasi yang melibatkan partai
dalam tindak pidana korupsi.
Dalam
beberapa hari belakangan ini, banyak wartawan yang bertanya kepada saya tentang
apakah Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membubarkan parpol yang diduga terlibat
suap kasus e-KTP. Jawaban saya, masalah ini cukup panjang dan berliku. Saya
selaku pihak yang mewakili presiden dalam mengajukan dan membahas RUU Perubahan
UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor dan membahas RUU MK dengan DPR sampai
selesai menyadari betapa rumitnya penegakan hukum terkait dengan masalah ini.
UU Tipikor memberikan kewenangan kepada penegak hukum, termasuk KPK, untuk
menyidik kejahatan korporasi. Parpol termasuk kategori korporasi, yang jika
terlibat dalam kejahatan, pimpinannya dapat dituntut, diadili, dan dihukum.
Sesuai dengan
pasal 68 UU No 24 Tahun 2003, MK berwenang untuk memutus kasus pembubaran
parpol. Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan
parpol itu bertentangan dengan UUD 1945. Memang menjadi pertanyaan, apakah jika
partai terlibat korupsi, parpol tersebut dapat dibubarkan MK dengan alasan
perilakunya tersebut bertentangan dengan UUD 1945?
Kalau
dilihat dari perspektif hukum pidana, terkait dengan kejahatan korporasi, jika
korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, yang dijatuhi pidana adalah
pimpinannya. Korporasinya tidak otomatis bubar. Begitu juga halnya jika parpol
terbukti melakukan korupsi, yang dijatuhi hukuman adalah pimpinannya, sedangkan
partainya sendiri tidak otomatis bubar. Sebab, yang berwenang memutus parpol bubar
atau tidak bukanlah pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung (MA) dalam perkara
pidana, tetapi MK dalam perkara tersendiri, yakni perkara pembubaran parpol.
MK hanya
dapat menyidangkan perkara pembubaran parpol jika ada permohonan yang diajukan
pemerintah. Sesuai dengan pasal 68 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, hanya
pemerintah yang memiliki legal standing untuk mengajukan perkara pembubaran
parpol. Karena itu, apakah mungkin pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang
ini akan berinisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol, termasuk
membubarkan partainya sendiri, PDIP, yang disebut terdakwa Irman turut
menikmati uang suap perkara e-KTP?
Secara
politik, boleh dikatakan mustahil ada presiden dari suatu partai akan
mengajukan perkara pembubaran partainya sendiri ke MK. Presiden mana pun hanya
mungkin melakukan itu jika, pertama, ada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan partainya secara sah dan meyakinkan
terbukti melakukan korupsi (kejahatan korporasi) dan pimpinannya dijatuhi
hukuman. Kedua, jika ada desakan publik dan desakan politik yang begitu keras
yang mendesak presiden untuk mengambil langkah mengajukan perkara pembubaran
partai yang telah terbukti melakukan korupsi ke MK.
Karena
itu, kita menunggu langkah KPK yang sekarang tengah mendakwa Irman dan
Sugiharto ke pengadilan tipikor untuk juga menyidik dan menuntut politisi
maupun parpol yang diduga ikut menikmati uang suap kasus e-KTP. Jika mereka
semua, baik pribadi maupun korporasi, dalam hal ini parpol yang terlibat,
terbukti bersalah, itulah saatnya presiden, entah Jokowi atau bukan nantinya,
untuk mengajukan perkara pembubaran parpol tersebut ke MK.
Langkah
pembubaran itu sangat penting tidak saja untuk pembelajaran politik dan
demokrasi, tetapi juga untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang
lebih baik pada masa datang. MK memang sangat perlu untuk memutus bahwa parpol
yang melakukan korupsi adalah partai yang melakukan perbuatan yang merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas
dasar itulah, MK menyatakan bahwa perbuatan parpol tersebut bertentangan dengan
UUD 45 dan karena itu cukup alasan konstitusional untuk membubarkannya. []
JAWA POS,
11 Maret 2017
Yusril
Ihza Mahendra | Praktisi hukum, mantan menteri hukum dan perundang-undangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar