Politik Identitas dalam Pilkada
Oleh: Azyumardi Azra
Politik identitas tampak kembali menemukan momentum. Fenomena ini
terjadi tak hanya dalam pilkada dan pemilu di Indonesia, tetapi juga di banyak
negara berpenduduk majemuk, di mana kaum Muslim merupakan penduduk mayoritas
atau jadi kelompok minoritas.
Fenomena ini, misalnya, juga terungkap dalam penelitian Tufyal
Choudhury (2007) tentang kebangkitan politik identitas di kalangan kaum Muslim
Inggris. Dalam pengamatannya, sejak 1990-an terjadi peningkatan signifikan
politik identitas di kalangan kaum Muslim.
Peningkatan politik identitas Islam itu tak jarang tumpang tindih
dengan identitas etnis. Dalam kasus Inggris, politik identitas Islam tumpang
tindih dengan etnisitas Pakistan atau Banglades yang berhadapan dengan hegemoni
Anglo-Saxon. Gejala sama terlihat di Jerman. Politik identitas Islam tumpang
tindih dengan etnisitas Turki.
Politik identitas Islam yang berpadu dengan etnisitas juga
terlihat di Malaysia, seperti diwakili Organisasi Nasional Melayu Bersatu
(UMNO) dan Partai Islam se-Malaysia (PAS). Hasil perpaduan politik itu adalah
”politik komunal” sangat divisif dan sengit intra-Muslim dan antarumat berbeda.
Peningkatan agama sebagai politik identitas terjadi karena
kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal. Politik identitas agama
menguat, antara lain, karena meningkatnya semangat memegang Islam lebih ketat
berhadapan dengan tantangan dan ancaman kebangkitan politik, baik di tingkat
lokal, nasional, maupun internasional, yang dianggap mengancam eksistensi,
identitas, dan ekspresi keislaman Muslimin.
Fenomena politik identitas Islam bukan gejala baru di Indonesia.
Sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu Presiden 2014 dan pilkada sejak 2005 sampai
pilkada serentak 2017, politik identitas Islam hampir selalu hadir.
Politik identitas agama sempat menyurut saat rezim Orde Baru
menetapkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas). Semua ormas, termasuk parpol, wajib menggunakan asas tunggal
Pancasila. Politik identitas bangkit kembali pada Orde Reformasi saat parpol
dibenarkan mengganti asas Pancasila dengan agama sehingga parpol berasas Islam
dan Kristen tampil kembali.
Namun, politik identitas Islam tidak pernah berjaya di Indonesia,
baik di tingkat lokal maupun nasional. Penyebab pokoknya adalah watak Islam
Indonesia yang inklusif dan akomodatif, intra dan antar-umat.
Masalahnya kini eskalasi politik identitas Islam akibat dibawanya
isu teologis dan fikih ke dalam kontestasi politik partisan. Ini mengakibatkan
peningkatan khilafiyah (pertikaian keagamaan) di kalangan Muslimin sendiri.
Soal khilafiyah—apalagi terkait politik dan kekuasaan—menimbulkan tensi serta
konflik intra dan antarumat.
Isu teologis, misalnya, terkait tuduhan ”munafik” atau ”kafir”
dari sekelompok Muslim terhadap Muslim lain yang berbeda sikap dan posisi
politik. Isu fikih, misalnya, terkait tentang memberikan suara pada calon non-
Muslim dalam pilkada; paling kontroversial tentang boleh atau tidak
menshalatkan orang Islam yang mencoblos calon non-Muslim.
Khilafiyah sektarianisme aliran di antara Muslimin sudah terjadi
sejak masa pasca Nabi Muhammad SAW dengan munculnya berbagai aliran kalam
(teologi), fikih, dan tasawuf. Sektarianisme aliran memburuk ketika terkait
politik dan kekuasaan.
Gejala eskalasi politik identitas dengan khilafiyah sektarianisme
religio-politik di Indonesia, beberapa waktu lalu, sempat terlihat dari adanya
spanduk di beberapa masjid yang menyatakan masjid itu menolak menyelenggarakan
shalat jenazah bagi jenazah yang pada masa hidupnya memberikan suara kepada
pasangan calon tertentu di Pilkada DKI Jakarta. Entah siapa yang membuat,
spanduk serupa juga sempat dipasang di ”jalan tikus”, pagar, dan tempat
lainnya.
Mengerasnya politik identitas khilafiyah sektarian ini bukan
sekadar pernyataan spanduk, melainkan menjadi aksi konkret. Ini terlihat dari
penolakan menshalatkan jenazah Hindun binti Raisan (77) di mushala di dekat
rumahnya, sekitar Setiabudi, Jakarta Selatan.
Nasib yang sama dialami jenazah Siti Rohbaniah (80) yang ditolak
pengurus masjid di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Jenazah almarhumah
akhirnya dishalatkan setelah keluarga menandatangani pernyataan mendukung calon
tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta yang disodorkan ketua RT. Memang shalat
jenazah tidak wajib dilakukan di masjid atau mushala. Jenazah bisa dishalatkan
di rumah atau tempat lain yang bersih, suci, dan pantas sebagai tempat menyelenggarakan
shalat umumnya.
Jelas sesuai ketentuan fikih, kaum Muslim wajib menyelenggarakan
jenazah; memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Wajib ini fardhu
kifayah—sebagian Muslim wajib melakukan. Jika tidak, semuanya terkena dosa. Penolakan
(pengurus) masjid atau mushala menshalatkan jenazah hanya karena alasan politik
partisan tidak sesuai dengan ajaran Islam (fikih). Perbedaan sikap dan posisi
politik semestinya tak jadi alasan untuk tidak menjalankan perintah wajib
menyelenggarakan jenazah.
Kaum Muslim yang adalah bagian terbesar bangsa Indonesia
semestinya tetap memelihara ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah
insaniyah. Tak sebaliknya, hanya karena politik partisan dan kekuasaan merusak
ketiga bentuk ukhuwah lewat aksi politik identitas khilafiyah sektarian dengan,
misalnya, menolak ketentuan wajib memberikan kehormatan dan pemuliaan terakhir
kepada jenazah. []
KOMPAS, 21 Maret 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar