Jumat, 24 Maret 2017

Azyumardi: Raja Salman, Wahabiyah dan Wasathiyah



Raja Salman: Wahabiyah dan Wasathiyah
Oleh: Azyumardi Azra

Kedatangan dan kunjungan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, orang nomor satu Kerajaan Arab Saudi (KSA-1) yang cukup lama di Indonesia (1-12/3/17) memunculkan kekhawatiran kalangan tertentu di dalam negeri dan luar negeri.

Mereka curiga, kedatangan Raja Salman memberi momentum penyebaran paham dan praksis Wahabiyah Arab Saudi-yang dalam segi tertentu tidak cocok dengan paham dan praksis Wasathiyah yang hegemonik di Indonesia.

Asumsi dan kekhawatiran itu bisa disimak dari 'kabar' (sebagiannya bisa disebut hoax) dalam media sosial yang beredar di Tanah Air. Disebutkan adanya semacam euforia dari jamaah Wahabi di Indonesia yang melihat kedatangan Raja Salman sebagai 'kesempatan emas' untuk lebih giat menyebarkan paham dan praksis Wahabiyah.

Kalangan media sosial ini juga menyebut adanya pimpinan dan tokoh Wahabi yang datang ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan Raja Salman. Dalam 'kabar' yang belum terverifikasi itu juga dikatakan, mereka mengadakan pertemuan intensif dengan lingkungan penganut paham dan praksis Wahabiyah di kalangan umat Islam Indonesia.

Kalangan media asing juga punya asumsi hampir sama. Tapi ada tambahan. Meminta pandangan penulis Resonansi ini, mereka mengkhawatirkan rencana pemerintah Saudi membuka tiga Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Surabaya, Makasar, dan Medan.
Ketiga LIPIA yang direncanakan ini bakal melengkapi LIPIA yang sudah lama ada di Jakarta (sejak 1980).Penulis Resonansi ini tidak sepakat dengan asumsi dan kekhawatiran yang berlebihan tersebut. Ada beberapa alasan pokoknya.

Pertama, Raja Salman dalam berbagai kesempatan menyampaikan pernyataan, khususnya dalam pertemuan dengan pimpinan ormas Islam dan dengan pimpinan dan tokoh lintas agama, sama sekali tidak pernah menyinggung paham Wahabi. Raja Salman cukup mengetahui dan arif tentang sensitivitas masalah ini di tengah umat Islam Indonesia wasathiyah.

Raja Salman tidak pula pernah mengeluarkan pernyataan yang mengandung pesan tersirat dengan menyatakan, misalnya, kaum Muslimin agar menjalankan paham dan praksis Islam murni seperti dianut para sahabat Nabi Muhammad atau dikenal sebagai kaum Salafi. Atau dengan menyatakan, agar kaum Muslimin meninggalkan praksis keagamaan yang berbau 'bid'ah' misalnya.
Kedua, Raja Salman dapat berinteraksi dengan para pemimpin agama yang berbeda dan bersedia mendengarkan pernyataan mereka masing-masing. Mereka pun dengan santun menyampaikan pesan-pesan kepada sang Raja.

Ketiga, Raja Salman pun bersedia berfoto bahkan berswafoto (selfi) tidak hanya dengan laki-laki, tapi juga dengan perempuan, termasuk dengan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan putrinya (atau cucu Presiden Soekarno yang dicari-cari Raja Salman sendiri).

Padahal, cukup masyhur bahwa paham Wahabi menolak foto makhluk hidup, khususnya manusia. Keempat, Raja Salman, para pangeran dan menteri beserta rombongan lain memilih berlibur di Bali. Mereka pasti mengetahui, mayoritas penduduk Bali adalah penganut Hindu.

Begitu pun lingkungan hidup dan kesenian Bali secara literal tidak kompatibel dengan paham dan praksis Wahabiyah yang ketat. Dengan demikian, kunjungan Raja Salman tidak otomatis memberikan momentum bagi penyebaran paham dan praksis Wahabiyah.

Apalagi upaya penyebarannya bukan hal baru; akselerasinya terutama terjadi sejak awal 1980-an ketika Arab Saudi memiliki 'petro-riyal' melimpah yang memungkinkannya meningkatkan upayanya. Tetapi juga jelas, hasil yang diperoleh di Indonesia tidak sebanding dengan upaya dan dana yang dihabiskan.

Fenomena ini juga dapat terlihat dengan hasil yang diperoleh melalui pendidikan, khususnya LIPIA Jakarta. Para mahasiswa LIPIA sebagian besar memiliki latar belakang NU, Muhammadiyah atau ormas Islam arus utama lain.

Mereka memperoleh kuliah tentang berbagai ilmu tentang Islam dan bahasa Arab; dan nampaknya tidak ada tentang keislaman-keindonesiaan. Tetapi juga jelas, sebagian besar lulusan LIPIA tetap dalam paradigma Islam wasathiyah.

Sebagian kecil terpengaruh atau menganut paham Wahabiyah, kemudian menjadi juru dakwah yang mendapat gaji atau honorarium bulanan dari instansi tertentu Saudi. Tetapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mampu mengubah arah pemahaman dan praksis Islam Indonesia wasathiyah.

Jika rencana membuka tiga LIPIA baru diwujudkan, pemerintah Indonesia-dalam hal ini Kementerian Agama-penting menekankan tentang kewajiban LIPIA mengikuti ketentuan pendidikan tinggi di Indonesia.

Di antara ketentuan (misalnya UU No 12/2012; Peraturan Pemerintah RI No 41/Tahun 2006 tentang berbagai hal tentang perguruan tinggi asing).

Dalam ketentuan itu ditetapkan misalnya, pimpinannya harus warga Indonesia, jumlah dosen minimal 60 orang juga harus berasal dari Indonesia, kurikulumnya juga harus mencakup matakuliah seperti Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama (Islam) dan seterusnya. []

REPUBLIKA, 23 Maret 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar