Standardisasi
Pesantren (3)
Oleh:
Azyumardi Azra
Jika
berbagai 'anak' lembaga pendidikan (sekolah Islam, madrasah sampai perguruan
tinggi) di lingkungan ponpes sebagai 'institusi induk'telah mengikuti kurikulum
yang ditetapkan Kemendikbud, Kemenag, dan Kemenristekdikti, pertanyaannya,
kurikulum mana yang mau distandardisasikan?
Dari
percakapan lewat media (Republika 9, 10 dan 11 Februari 2017), tampaknya
'kurikulum' pesantren yang ingin distandardisasikan adalah 'kurikulum' ponpes
'Salafiyah'.
Dalam wacana yang berkembang, ponpes 'Salafiyah' dimaksudkan sebagai ponpes yang substansi dan program pendidikannya sebagian besar berpusat pada tafaqquh fid-din-mendalami berbagai ilmu-ilmu agama Islam melalui kajian kitab kuning.
'Kurikulum'
ponpes Salafiyah umumnya juga mencakup subyek umum dasar semacam matematika,
IPS, PKN atau bahasa Inggris. Secara asumtif, jumlah ponpes 'Salafiyah' dengan
tafaqquh fid-din agaknya cenderung berkurang.
Asumsi ini didasarkan gejala dan kecenderungan meningkatnya jumlah lembaga 'pendidikan umum' (sekolah dan madrasah bercirikan Islam) di lingkungan lembaga induk ponpes. Tetapi, menurut data Kemenag, ponpes Salafiyah tetap bertahan dalam jumlah signifikan.
Pada
2013/2014 ada 27.229 ponpes di seluruh Indonesia. Hampir separuh jumlah itu
adalah ponpes Salafiyah (13.336 atau 48,87 persen). Sedangkan ponpes yang
menyelenggarakan 'pendidikan umum plus (sekolah Islam dan/atau madrasah)-biasa
juga disebut ponpes 'khalafiyah' atau 'moderen' berjumlah 13.893.
Di tengah berbagai perubahan dan tantangan yang terus meningkat, pesantren-seperti tahun-tahun sebelumnya-tidak berkurang. Sebaliknya jumlah ponpes senantiasa bertambah. Ini terlihat dari kenyataan, jumlah ponpes pada 2014/2015 meningkat menjadi 28.961.
Dari
jumlah itu, ternyata jumlah ponpes Salafiyah lebih besar daripada ponpes
Khalafiyah; kelompok pertama berjumlah 15.057 dan kelompok kedua sebanyak
13.904.
Dengan bertahan atau bahkan meningkatnya jumlah ponpes Salafiyah tafaqquh fid-din Aswaja (NU) dan Ahlussunnah wal-Jamaah lain (Muhammadiyah, Jam'iyatul Wasliyah, Perti, Mathla'ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat dan seterusnya), hari ini dan masa depan Islam Indonesia wasathiyah tidak perlu dikhawatirkan amat.
Dengan
jumlah begitu banyak, ponpes Salafiyah Ahlusunnah wal-Jamaah, terlalu besar
untuk bisa dikalahkan ponpes 'Salafi' (berpaham Salafi atau Wahabi) yang juga
bertumbuh belakangan ini. Dalam konteks lebih luas; 'Indonesian wasathiyah
Islam is too big to fail' menghadapi tantangan pemahaman dan praksis keislaman
literal dan rigid.
Kembali ke soal standardisasi kurikulum, apakah ponpes Salafiyah memerlukannya? Penulis Resonansi ini berpendapat tidak perlu. Sebaliknya ponpes Salafiyah tafaqquh fid-din perlu memperkuat dan memperkaya kurikulum yang dirumuskan dan diterapkan kiai dan guru pengasuh selama berpuluh tahun, jika tidak berabad-abad.
Mereka
paling mengetahui, 'kurikulum' tafaqquh fid-din apa paling cocok dengan bidang
kepakaran kiai, misalnya sejak dari bahasa Arab (Nahwu/Sharaf), fiqh, ushul
fiqh, ulumul Quran, tafsir, dan seterusnya).
Kepakaran kiai dan pengasuh diwariskan kepada santri sehinggga mereka memiliki bekal keilmuan Islam memadai untuk menjadi kiai atau ulama kelak. Dengan begitu pula mereka dapat menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuan-keislaman Indonesia.
Di
sinilah ponpes Salafiyah tafaqquh fid-din dapat mengembangkan distingsi dan
kekuatan keilmuan masing-masing. Karena itu ada ponpes yang masyhur karena ilmu
alat, ulumul Quran dan tafsir, ulumul hadits, fiqh, dan usul fiqh misalnya.
Orang tua santri dapat mengirim anak mereka ke ponpes tertentu sesuai bakat dan minat anak. Sekali lagi, ponpes tafaqquh fid-din tidak memerlukan standardisasi kurikulum. Biarlah kiai dan pengasuh memilih kitab kuning apa saja yang mesti dipelajari para santri.
Tak perlu
formalisme silabus baku yang membelenggu. Apalagi Menag dan kemudian juga
Mendikbud sejak menjelang akhir 1990-an telah memberlakukan mu'adalah atau
penyetaraan atas kurikulum yang dikembangkan ponpes dalam waktu sangat lama.
Proses penetapan kebijakan mu'adalah (setara Madrasah Aliyah atau SMA) dimulai dengan pengakuan atas 'kurikulum' Pondok Moderen Gontor oleh Dirjen Binbaga Islam (1998) dan Mendiknas (2000). Sejak itu kian banyak ponpes mendapat mu'adalah. Namun beberapa tahun lalu, Dirjen Binbaga Islam berencana mencabut 'mu'adalah' dan mewajibkan ponpes mengadopsi kurikulum nasional. Tetapi rencana itu gagal karena oposisi para kiai yang didukung pemikir dan praktisi pendidikan Islam lain.
Dengan mu'adalah lulusan ponpes tidak perlu lagi mengikuti 'ujian negara' untuk kemudian dapat diterima misalnya di perguruan tinggi manapun. Kalau begitu, masih perlukah standardisasi kurikulum pesantren Salafiyah tafaqquh fid-din. Silakan jawab sendiri. []
REPUBLIKA,
09 March 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar