Malala: Oase di Bumi yang Tandus (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Di samping oase, Malala adalah juga seorang petarung sejati untuk
kepentingan pendidikan anak usia sekolah yang banyak terlantar di berbagai
belahan bumi. Bahkan fenomena pekerja anak-anak dengan upah murah bukanlah
sesuatu yang asing, demi kelangsungan hidup keluarga miskin dan telantar. Oleh
sebab itu ketika rezim Taliban meremehkan dunia pendidikan, terutama pendidikan
bagi perempuan, semangat tempur Malala tidak bisa dibendung lagi, apalagi ayahnya
seorang pendidik dan diplomat.
Suatu ketika Malala mengatakan: “…kita tahu bahwa kelompok teroris
takut kepada kekuatan pendidikan.” (Lih. Mishal Husain, “Malala: The girl who
was shot for going to school,” BBC News, 7 Oktober 2013).
Saat Malala sedang tergeletak di rumah sakit militer di Peshawer,
ayahnya Ziauddin Yousafzai datang sambil berucap: “Saya tatap wajahnya, saya
hanya menunduk, saya cium keningnya, hidungnya, dan pipinya…dan kemudian saya
katakan, ‘Engkau adalah puteri kebanggaanku. Saya bangga denganmu.’’’ (Ibid.).
Ketika ditanya tentang ketahanan mental puterinya, Ziauddin menjawab: “Karena
saya tidak memotong sayapnya.” Ziauddin pernah bertugas sebagai atase
pendidikan Pakistan di Birmingham, juga sebagai penasehat khusus PBB untuk
pendidikan global.
Dalam pidatonya di PBB pada 12 Juli 2013 yang diawali dengan
menyebut Bismillahirrahmnirrahim, Malala sangat menekankan pentingnya
pendidikan bagi semua anak di seluruh negara, sesuatu yang dilecehkan oleh
Taliban. Tetapi Malala tidak membenci Taliban: “Saya bahkan tidak benci kepada
anggota Taliban yang menembak saya. Bahkan jika ada senjata di tangan saya dan
dia berdiri di depan saya, saya tidak akan menembaknya. Ini adalah sifat
belas-asih yang saya pelajari dari Muhammad—nabi penyebar rahmat, dari Jesus
Kristus, dan dari Buda yang agung.”
Kemudian dalam pidatonya di PBB itu Malala melanjutkan: “Saya
ingat ada seorang bocah di kelas kami yang ditanya oleh wartawan, ‘Mengapa
Taliban menentang pendidikan?’ Dengan cara sederhana bocah itu menjawab dengan
menunjuk kepada bukunya sambil berkata: ‘Seorang Talib [anggota Taliban] tidak
tahu apa yang tertulis dalam buku ini.’” Pengikut Taliban itu “mengira bahwa
Tuhan itu kecil, makhluk konservatif alit yang akan mengirim anak perempuan ke
neraka semata-mata karena pergi ke sekolah. Para teroris sedang menyalahgunakan
nama Islam dan masyarakat Pashtun [nama salah satu suku di Pakistan] untuk
kepentingan dirinya sendiri,” imbuh Malala.
Dijelaskan lebih jauh bahwa: “Pakistan adalah negeri demokratik
yang cinta damai. Rakyat Pashtun menginginkan pendidikan untuk anak-anaknya,
perempuan dan laki-laki. Dan Islam adalah agama perdamaian, kemanusiaan, dan
persaudaraan. Islam mengatakan bahwa bukan hanya merupakan hak setiap anak
untuk mendapatkan pendidikan, tetapi itu semua merupakan kewajiban dan tanggung
jawabnya.”
Nurani Malala demikian tersiksa oleh kenyataan banyaknya belia
yang terlantar, tidak dapat pergi ke sekolah oleh berbagai halangan. Kita
kutip: “Di banyak bagian dunia, khususnya di Pakistan dan Afghanistan,
terorisme, perang, dan konflik telah menghalangi anak-anak pergi ke sekolah.
Kami benar-benar kelelahan akibat perang. Kaum perempuan dan anak-anak sedang
menderita di berbagai bagian dunia dengan cara yang bermacam-macam. Di India,
anak-anak tak berdosa dan miskin adalah korban akibat kerja usia anak.
Banyak sekolah telah dirobohkan di Nigeria….Kemiskinan, kebodohan,
ketidakadilan, rasisme, dan perampasan hak asasi merupakan masalah utama yang
tengah dihadapi oleh laki-laki dan perempuan.”
Di bagian akhir pidatonya, Malala berseru: “Oleh sebab itu mari
kita lancarkan perjuangan melawan buta huruf, kemiskinan, dan terorisme, dan
mari kita tenteng buku dan pena kita. Mereka adalah senjata kita paling
dahsyat. Seorang anak, seorang guru, sebuah pena, dan sebuah buku dapat
mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan paling
utama.”
Pidato Malala ini didengarkan dengan tekun dan antusiasme yang
tinggi oleh para belia yang hadir di gedung PBB itu, termasuk juga hadir
sekjennya kala itu: Ban Ki-moon. Berkali-kali tepuk tangan panjang mengiringi
Malala selama menyampaikan pidato dalam yang usianya ketika itu baru 16 tahun.
Mulai tahun 2013 itu namanya sudah mulai diusulkan sebagai kandidat penerima
Hadiah Nobel yang kemudian dimenangkannya bersama Kailash Satyarthi (60),
pegiat dan pejuang hak pendidikan anak dari India. []
REPUBLIKA, 14 March 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar