Jumat, 24 Maret 2017

Saat Makam Syekh Kuala Selamat dari Terjangan Tsunami di Tahun 2004



Saat Makam Syekh Kuala Selamat dari Terjangan Tsunami

Komplek Makam Syekh Kuala Aceh
Sebelum kembali ke Jakarta pasca liputan kunjungan PBNU ke lokasi gempa di Pidie Jaya, Aceh pertengahan Desember lalu, saya diajak Direktur Penyaluran NU Care-Lazisnu, Slamet Tuharie Ng menyelesaikan beberapa urusan. Termasuk menemui beberapa teman semasa kuliah di Purwokerto dan Jakarta. Para ‘teman seperjuangan’ Mas Slamet yang kini berkegiatan di Banda Aceh. 

Usai dengan urusan itu, kami memanfaatkan waktu untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Rauf As-Singkili. 

Maka pada Kamis 15 Desember 2016 lepas tengah hari, kami meminta Mas Riyan—sopir yang juga mengawal kami selama beberapa hari sebelumnya—melajukan  mobil sewaan ke Desa Deyah Raya, Kecamatan Kuala. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Kota Banda Aceh.

Sebelum menuju ke desa tersebut, kami menanyai beberapa orang di mana letak makam Syeikh Abdul Rauf As-Singkili. Hal ini amat penting, karena Mas Riyan, walaupun sudah menetap di Banda Aceh tak lama setelah peristiwa tsunami 2004, bukanlah berasal dari kota ini. Pria keturunan Jawa dan Medan ini, aslinya lahir di Medan, Sumatera Utara.

Namun, sama dengan Mas Riyan, orang-orang yang kami tanyai, yang umumnya anak muda, tidak tahu di mana makam Syekh Abdul Rauf As-Singkili. Bagi kami ini agak mengherankan, tersebab Syekh Abdul Rauf As-Singkili adalah seorang ulama tersohor yang punya peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di Sumatera khususnya, dan Nusantara pada umumnya.

Ketika kami mengganti pertanyaan dengan “Di mana makam Syiah Kuala?” barulah kami mendapatkan titik terang. Kali ini hampir semua dari mereka yang kami tanyai menjawab tahu. Di Aceh, Syiah Abdul Rauf As-Singkili memang lebih terkenal dengan nama Syiah Kuala. Istilah ‘Syiah’ sama maknanya dengan ‘Syekh’. 

Menempuh perjalanan sekira setengah jam dari Kota Banda Aceh, kami pun tiba di komplek makam Syiah Kuala. Di sebelah kanan dari pintu masuk menuju makam, tampak hamparan laut. Letak makam Syiah Kuala memang hanya sekitar 200 meter dari laut.

Siang itu, kecuali kami, telah banyak peziarah lain yang datang. Umumnya peziarah datang bersama rombongan-rombongan yang terdiri dari belasan hingga puluhan orang. Ada juga peziarah yang hanya satu keluarga.

Tiba di komplek makam, kami lebih dulu menuju musala untuk menunaikan salat zuhur. Ziarah kami kali ini terasa berbeda, karena begitu memasuki ruang tamu, kami langsung bertemu dan disambut Tengku Abdul Wahid, generasi ketujuh Syiah Kuala.

Kepada kami, Tengku Abdul Wahid menjelaskan sejarah dan riwayat Syekh Abdul Rauf As-Singkili. 

Syiah Kuala memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Fansuri As-Singkili. Ada pun Kuala, mengacu pada nama kampung tempat Syekh Abdul-Rauf tinggal semasa hidupnya hingga dimakamkan.

Syekh Abdul Rauf As-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh. Ia lahir pada tahun 1001 Hijriah atau 1591 Masehi. Ia wafat pada hari Senin 22 Syawal tahun 1693 M.

Syekh Abdul Rauf mendirikan dayah-dayah yang digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam.

Kitab-kitab Karya Syekh Kuala

Syekh Kuala dikenal menulis banyak kitab seperti Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Kemudian, Tarjuman al-Mustafid yang merupakan naskah pertama berbahasa Melayu yang lengkap dari tafsir Al-Quran. 

Selain itu ada juga kitab Mawa'iz al-Badî', Tanbih al-Masyi, Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, dan kitab Daqâiq al-Hurf.

Sayangnya, ketika tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, banyak sekali kitab-kitab karya Syeikh Abdul Rauf yang tersimpan di tempat itu yang tak terselamatkan. 

“Itu yang sangat kami sayangkan,” ujar Tengku Abdul Wahab. 

Makam yang terselamatkan 

Menurut Tengku Abdul Wahid, dahulu jarak makam ke bibir pantai sekitar 1 kilometer. Akibat musibah tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam, menyebabkan tanah-tanah di sekitar makam tergerus. Hal itu menjadikan jarak makam dan bibir pantai semakin dekat. 

“Sekarang jarak makam dengan pantai tidak lebih dari 200 meter,” kata Tengku Abdul Wahid.

Ajaibnya, pada kejadian tsunami tersebut, tidak menyebabkan pusara Syeikh Abdul Rauf hanyut. Padahal makam di sekitarnya mengalami kerusakan yang tergolong berat.

Tengku Abdul Wahid juga memberitahu kami, para peziarah ke makam Syekh Kuala tidak hanya dari Indonesia. Warga Malaysia dan Brunei Darussalam, juga banyak yang berziarah ke makam tersebut. []

(Kendi Setiawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar