Menakar Bahaya Kapitalisasi Agama
Oleh: Zuhairi
Misrawi
AKHIR-AKHIR ini,
ruang publik kita disuguhi dengan wajah agama yang menyeramkan. Ada spanduk
larangan menyalati jenazah, bahkan jenazah tidak disalati karena perbedaan
preferensi politik. Tidak hanya itu, beredar selebaran yang berisi ajakan
Tamasya Al-Maidah, di samping festivalisasi 'kafir' dan 'munafik'. Pesta
demokrasi yang semestinya menjadi pertarungan gagasan dan program lalu
direndahkan menjadi ajang 'jual-beli' agama.
Pilkada DKI Jakarta
menjadi momen pertaruhan besar bagi republik, akankah demokrasi mampu
membuahkan hidup damai di tengah kebinekaan. Akankah Pancasila sebagai
dasar negara yang sudah terbukti dalam bentangan sejarah mampu mempersatukan
seluruh elemen bangsa untuk dapat mengatasi efek-efek destruktif dari
kapitalisasi agama?
Agama sebagai
komoditas
Banyak pihak
menyebut dunia saat ini mengarah pada menguatnya arus konservatisme. Salah satu
indikatornya, setiap warga ingin disebut 'religius'. Tesis ini mematahkan
argumen sekularisasi yang selama ini dianggap sebagai konsekuensi
demokratisasi.
Namun, faktanya
tidak demikian, demokratisasi justru melahirkan masyarakat yang ingin
diidentifikasi religius. Masyarakat justru mengalami desekularisasi. Agama
masih menjadi sebuah identitas yang penting dalam ruang publik. Tidak ayal jika
agama menjadi salah satu pemantik yang penting dalam pesta demokrasi.
Hal itu bisa dilihat
dalam pilkada DKI Jakarta. Isu agama dan SARA pada umumnya menjadi salah satu
isu sentral, bahkan menenggelamkan program-program yang semestinya menjadi
agenda prioritas dalam perdebatan ruang publik. Menurut Farish A Noor (2016),
kecenderungan global tidak terkecuali kawasan Asia mengarah pada kuatnya arus
konservatisme.
Hal tersebut sejalan
dengan fenomena agama sebagai komoditas. Segala hal yang terkait dengan agama
semakin laris manis di pasar. Pakaian, kitab suci, musik, ritual, ziarah, dan
lain-lain menjadi komoditas yang menarik. Konon, omzet yang didapatkan dari
komoditas agama mencapai triliunan.
Pandangan Farish A
Noor tersebut bukan isapan jempol. Haji dan umrah saja setiap tahunnya bisa
mencapai Rp30 triliun, belum lagi penjualan buku-buku, hijab, tasbih, dan
lain-lain, yang angkanya sangat fantastis. Agama sebagai komoditas telah
menjadi identitas yang bisa dikonversi sebagai instrumen untuk mendulang
dukungan politik.
Faktanya,
komodifikasi agama berkait-kelindan dengan kepentingan politik. Lihat fenomena
demonstrasi 212 yang kemudian bermetamorfosis menjadi basis penguatan ekonomi
melalui pendirian koperasi 212. Sulit rasanya untuk melihat apa yang selama ini
dipersepsikan sebagai 'membela agama' benar-benar ingin menggali nilai-nilai
luhur dan mengamalkannya dalam realitas kehidupan.
Tarikan agama
sebagai komoditas menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan karena pada
dirinya mereka sedang ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari agama. Maka
dari itu, perlu pandangan kritis untuk melihat fenomena kapitalisasi agama yang
makin kuat ini. Persekongkolan di antara mereka yang ingin mendapatkan
keuntungan secara materi dan politik dari agama akan membawa dampak-dampak yang
sangat destruktif.
Pertama, agama akan
hilang identitasnya sebagai sumber kasih dan damai. Dalam logika kapitalisme
dan politik, yang terjadi ialah pertarungan untuk mendapatkan keuntungan dan
perebutan kekuasaan. Bahkan, jika perlu menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan.
Di sini, agama yang
di dalamnya mengajarkan hidup damai dan saling menghormati akan terjebak dalam
tafsir tunggal melalui fatwa-fatwa keagamaan yang ekstrem. Hal tersebut
terlihat di dalam pilkada DKI Jakarta, di saat paham keagamaan yang diproduksi
melalui fatwa dan ceramah-ceramah sangat menyeramkan dan menakutkan. Ada
kelompok yang memonopoli kebenaran, seolah-olah hanya pandangan mereka yang benar,
sedangkan pandangan pihak lain salah. Padahal, agama menyediakan ruang tafsir
yang sangat terbuka dengan catatan setiap tafsir mampu membawa kemaslahatan
bersama.
Kedua, agama akan
menjadi semakin ekstrem dan kehilangan daya moderasinya. Agama yang hanya
dijadikan sebagai komoditas ekonomi dan politik akan melahirkan
pandangan-pandangan yang ekstrem.
Lihat tafsir
terhadap kafir dan munafik yang berkembang di permukaan. Mereka cenderung
menggunakan tafsir terhadap kafir dan munafik secara serampangan tanpa
mempertimbangkan konteks dari turunnya ayat suci dan hadis.
Dalam hal ini, yang
diuntungkan ialah kalangan ekstremis yang selama ini memang mengomsumsi
pandangan keagamaan yang kaku dan rigid. Dalam suasana normal, paham mereka
cenderung ditolak mayoritas muslim di Tanah Air yang mempunyai pandangan
moderat. Namun, dalam suasana hiruk-pikuk politik yang di dalamnya terdapat
kontestasi perebutan kekuasaan, pandangan mereka yang diproduksi secara kontinu
dapat dipersepsikan publik sebagai sebuah kebenaran.
Ketiga, agama akan
kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan
(ukhuwah). Komodifikasi agama telah terbukti memecah belah umat. Ironisnya,
perpecahan di antara sesama umat di dalam intra agama. Situsi ini sangat tidak
kondusif karena belajar dari sejarah, perpecahan di antara sesama umat akan
melahirkan luka dan duka yang sangat mendalam.
Lihat misalnya
konflik antara Sunni dan Syiah yang umurnya sudah berabad-abad. Hal tersebut
sangat terkait dengan komodifikasi agama. Pada puncaknya, komodifikasi agama
akan memecah belah bangsa. Agama yang semestinya memecut kita untuk saling
menghormati dan saling menghargai antarsesama akan terjerambap dalam kubangan
kebencian, kecurigaan, bahkan kekerasan dan diskriminasi.
Agama jalan
kemanusiaan
Sebelum terlambat,
kapitalisasi agama yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur agama harus
dikritisi dan diluruskan kembali agar memerankan agama sebagai jalan
kemanusiaan. Dorongan untuk semakin religius pada hakikatnya merupakan fenomena
yang baik karena setiap agama mengajarkan kebajikan. Bagi mereka yang
benar-benar mampu memahami agama dengan baik, hal tersebut akan mampu membangun
karakter yang kuat bagi dirinya.
Pengalaman Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah dalam bentangan sejarah bangsa ini patut dijadikan
contoh. Kedua ormas terbesar di negeri ini telah mampu menyerap nilai-nilai
luhur agama sehingga mampu menjadikan agama sebagai elan pembebasan dan
kemanusiaan.
Muhammadiyah telah
mampu menjadikan Surat Al-Ma'un sebagai pijakan ideologis bahwa beragama
sesungguhnya membebaskan anak-anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Karena
itu, yang dibangun Muhammadiyah ialah sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi,
dan rumah sakit untuk mengobati orang-orang miskin.
Paham keagamaan yang
ditawarkan Muhammadiyah ialah Islam yang berkemajuan, yaitu Islam yang mampu
membangun rasionalitas dan berbakti sepenuhnya pada kemanusiaan. Muhammadiyah
telah menjadi kekuatan garda terdepan untuk menjaga Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Nahdlatul Ulama
sebagai salah satu jimat negeri ini juga mengukuhkan paham ahlussunnah wal
jamaah yang moderat, toleran, dan berkeadilan. Melalui pesantren-pesantren dan
perguruan tingginya, NU telah berjuang untuk menggaungkan Islam Nusantara yang
merangkul, bukan memukul. Islam yang damai, bukan Islam yang ekstrem.
Beberapa tradisi
yang dianut warga NU pada hakikatnya bertujuan membangun harmoni antar sesama
sehingga Islam yang hadir ke permukaan bukan Islam yang memecah belah,
melainkan Islam yang membangun harmoni, baik antarsesama muslim maupun dengan
umat agama-agama yang lain. Para ulama NU berkumpul di Pesantren Al-Anwar,
Sarang, Rembang, mengukuhkan kembali komitmen NU untuk menjaga Pancasila dan
NKRI. Menurut para ulama NU, hadirnya NU pada hakikatnya untuk menjaga
Indonesia. Paham keagamaan yang sejuk dan transformatif ini menjadi ciri khas
dari moderasi Islam yang umurnya sudah berabad-abad dan akan selalu bertahan
karena itulah watak Islam Nusantara yang berkemajuan.
Namun, perkembangan
mutakhir, khususnya apa yang terjadi pada pilkada DKI ini, seakan mengetuk
nalar dan hati nurani kita semua bahwa negeri ini sedang menghadapi ancaman
radikalisme dan konservatisme. Kapitalisasi agama merupakan fenomena global
yang tidak dielakkan. Akan tetapi, setiap negara harus mempunyai strategi untuk
menghadapinya.
Mesir pascarevolusi
telah mengagendakan proyek pembaruan wacana keagamaan (tajdid al-khithab
al-diny). Kita tahu bahwa angin revolusi telah menaikkan Ikhwanul Muslimin ke
panggung politik. Hal tersebut ditandai juga dengan kuat arus kapitalisasi
agama, yang juga dijadikan sebagai komoditas politik. Konsekuensinya, muncul
paham keagamaan yang sangat ekstrem. Maka pemerintah Mesir mempunyai inisiatif
untuk mengarusutamakan paham keagamaan yang mampu membangun solidaritas
kebangsaan dan kemanusiaan. Langkah itu diambil dengan kebijakan yang sangat
serius untuk melahirkan juru dakwah yang mumpuni. Selama ini Ikhwanul Muslimin
kerap menggunakan masjid sebagai wadah kapitalisasi dan politisasi agama.
Maka dari itu,
Kementerian Urusan Wakaf bersama al-Azhar berupaya memberikan sertifikat bagi
para juru dakwah sehingga ceramah-ceramah keagamaan di masjid tidak berisi
provokasi dan agitasi. Kondisi yang terjadi di negeri ini tidak serumit Mesir. Kita
masih mempunyai NU dan Muhammadiyah yang terus melahirkan pikiran-pikiran
keagamaan yang kritis dan konstruktif, serta memperkuat wawasan kebangsaan
kita.
Akan tetapi, apa
yang terjadi selama pilkada DKI harus menjadi pelajaran berharga bahwa kita
sedang menghadapi ancaman serius. Semua pihak harus sadar dan waspada agar
tidak melihat fenomena kapitalisasi agama sebagai taken for granted.
Sebagaimana
dikatakan para ulama NU di Sarang, Rembang, negara-negara Timur Tengah sudah
berada dalam ambang kehancuran karena mereka menggunakan agama untuk menebarkan
kebencian dan kecurigaan. Kita tidak boleh lengah dan harus bersatu padu untuk
menghadirkan wajah agama yang humanis, toleran, dan damai.
Saya percaya dengan
apa yang disampaikan KH Mustofa Bisri bahwa mayoritas muslim di negeri ini
moderat dan hanya sedikit yang radikal dan ekstrem. Pemerintah harus tegas
menindak pihak-pihak yang terbukti menebarkan ujaran kebencian dan politisasi
isu SARA. Kelompok-kelompok moderat harus lebih lantang lagi bersuara agar gaung
moderasi Islam terus menggema. []
MEDIA INDONESIA, 20
Maret 2017
Zuhairi
Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama; Ketua Moderate
Muslim Society (MMS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar