Jumat, 17 Maret 2017

Kang Komar: Mendoakan Tetangga



Mendoakan Tetangga
Oleh: Komaruddin Hidayat

SUDAH terlalu sering kita mendengar cerita seputar tengkar antartetangga. Minimal sekali gosip yang bernada nyinyir. Padahal, menurut Rasulullah, salah satu tanda keimanan seseorang adalah menghargai dan mencintai tetangga.

Nasihat klasik juga mengatakan, tetangga yang baik itu jauh lebih berharga dari saudara kandung yang tinggal berjauhan. Karena, jika terjadi musibah, tetanggalah yang paling siap, dekat, dan cepat mengulurkan pertolongan.

Terutama mereka yang tinggal di perumahan kompleks, berbagai cerita persaingan dan perseteruan antartetangga ini begitu populer. Sampai-sampai dijadikan bahan cerita sinetron atau ceramah.

Misalnya, seorang istri sering menceritakan mengapa suaminya dan tetangganya yang sama-sama pegawai negeri sipil (PNS) dengan pangkat atau golongan yang sama, tetapi gaya hidupnya kok beda. Bangunan rumah dan mobilnya lebih bagus.

Begitu pun yang suaminya militer atau polisi dengan pangkat sama, bahkan lebih rendah, mengapa gaya hidupnya lebih mewah. Ihwal demikian seringkali menjadi bahan cerita bernada nyinyir, kecemburuan, bahkan bisa mengarah pada fitnah. Dari mana lagi kalau bukan korupsi, katanya.

Gosip lain juga menyasar pada teman kuliah yang setelah tamat aktif terjun di dunia politik misalnya jadi anggota DPR. Mereka yang senang bergosip menceritakan bagaimana sengsaranya ketika sama-sama jadi mahasiswa.

Sama-sama miskinnya, bareng-bareng naik-turun bus kota, bareng keluar-masuk warteg (warung tegal) yang dikenal murah, harganya cocok bagi mahasiswa miskin. Tetapi, katanya, setelah lama tak berjumpa dan sekarang jadi anggota DPR, kekayaannya tak terduga. Itu dilihat dari bangunan rumah, jumlah, dan juga merek mobil, serta gaya hidupnya.

Karena enggan campur dengan tetangga, untuk menjaga privasi, banyak orang kaya yang kemudian membangun rumah dikelilingi tembok tinggi. Mereka saling tidak kenal, dan tidak tertarik untuk kenal, dengan tetangganya.

Secara sosiologis, pribadi demikian ini bagaikan pulau-pulau kecil yang terpisah dari yang lain akibat persaingan hidup di kota besar yang membuat lelah. Rumah diposisikan sebagai tempat istirahat dan untuk menjaga privasi.

Proses individualisasi ini juga didorong oleh tata kota, di mana pembangunan jalan-jalan dan pagar itu telah menciptakan pulau-pulau yang terpisah dari tetangganya. Ketika di rumah pun, rumah yang besar itu terdiri atas kamar-kamar laksana gua, masing-masing penghuninya memiliki hobi dan agenda harian berbeda-beda sehingga ada keluarga yang jarang bisa berkumpul bersama.

Dalam berbagai forum workshop, saya beberapa kali menerima pertanyaan, bagaimana caranya menjalin hubungan yang baik dengan tetangga. Bahkan ada juga pertanyaan, bagaimana menghilangkan rasa kesal dan benci kepada tetangga, yang dirasakannya sudah sangat membebani perasaan.

Rupanya mereka itu tidak akur dengan tetangganya. Pembawaannya selalu kesal melihat mereka karena satu dan lain hal.

Jawaban saya sederhana saja, kalau ingin hatinya ringan, tak ada beban kekesalan dan kebencian kepada tetangga, biasakanlah mendoakan baik kepada tetanggamu, terutama pada malam hari sehabis sembahyang isya atau sembahyang malam.

Kalau tetangga itu kaya, lebih kaya dari dirimu, doakan semoga kekayaannya berkah. Kalau tetangga itu miskin, doakan semoga dimurahkan rezekinya agar jadi orang kaya. Kalau tetangganya ada yang terkena narkoba, atau dipandang sampah masyarakat, doakan memperoleh pertolongan dan kesembuhan dari Tuhan.

Apakah sebuah doa itu mesti dikabulkan Tuhan? Belum tentu. Tidak pasti. Yang pasti dengan mendoakan tetangga secara tulus ikhlas, hati Anda akan diringankan dari beban kebencian, bahkan muncul rasa simpati. Anda akan merasa bagian dari keluarganya secara ruhani.

Ucapkan doa itu dengan menyebut namanya, jurang psikologis yang tadinya menciptakan jarak akan tersambung dihubungkan oleh rasa dan sikap peduli. Tidak percaya? Silakan coba dan praktikkan.

Resep ini juga berlaku bagi relasi di kantor. Insya Allah, hidup Anda lebih ringan. Jangan lupa, doa itu ibadah. []

KORAN SINDO, 17 Maret 2017  
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar