Supremasi
Hukum dan Arus Investasi
Oleh:
Bambang Soesatyo
SUPREMASI
hukum yang belum terwujud akan menghambat akselerasi pembangunan dan arus masuk
modal asing. Tantangannya terpulang pada iktikad semua institusi penegak hukum,
karena cita-cita mewujudkan supremasi hukum itu sudah terpatri dalam agenda
reformasi, yakni reformasi hukum. Momentum mengakselerasi pembangunan sekarang
ini jangan sampai berujung sia-sia hanya karena kegagalan mewujudkan supremasi
hukum.
Supremasi
hukum menjadi bagian tak terpisahkan dari semua aspek penyelenggaraan
pembangunan nasional. Sebab, supremasi hukum otomatis akan mewujudkan tertib
pembangunan nasional itu sendiri. Pemanfaatan anggaran pembangunan akan bebas
dari korupsi karena kuasa anggaran dan mitra kerja taat hukum.
Arus
masuk modal asing pun tidak lagi terganjal oleh keharusan menyediakan dana
lebih untuk menyuap pejabat atau mengurus perizinan. Segala sesuatunya
berproses dan dikerjakan seturut peraturan perundang- perundangan yang berlaku.
Baru-baru
ini, Presiden Joko Widodo mendorong para menteri mempromosikan Indonesia kepada
komunitas investor di berbagai negara. Memberi sambutan pada Pembukaan Rapat
Koordinasi Nasional Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Tahun 2017 di Bali, Presiden meminta agar para
investor tahu dan mendapatkan informasi yang akurat tentang kinerja positif
perekonomian Indonesia per 2016. Menurut Presiden, pertumbuhan ekonomi tahun
2016 yang mencapai 5,02% dan inflasi 3,02% menjadi modal yang baik untuk menarik
minat investor berinvestasi di Indonesia. ”Kondisi yang baik seperti ini yang
harus disampaikan ke investor,” kata Presiden Jokowi di forum itu.
Apakah
dengan dua data atau indikator ini sudah cukup untuk bisa meyakinkan investor
dari mancanegara? Jawabannya, belum tentu, atau bahkan sama sekali tidak cukup.
Persepsi orang luar terhadap keseluruhan aspek tentang Indonesia juga patut
disimak pemerintah.
Maka,
adalah relevan untuk menyimak dan memahami persepsi sebagian investor Jepang
misalnya. Ternyata, tingginya data tentang kasus korupsi di Indonesia terus
menjadi perhatian investor di Jepang. Kecenderungan ini terungkap dalam
regulasi training ‘Study for the Amendment to the Law’di Osaka, pada 12- 22
Februari 2017, yang juga dihadiri sejumlah pakar hukum dari Indonesia.
Mereka
sempat berkunjung ke kantor firma hukum Oh-Ebashi LPC & Partners yang cukup
dikenal karena sering menangani kepentingan para investor Jepang di berbagai
negara. Dalam diskusi dengan advokat senior Kobayashi Kazuhiro, para pakar
hukum dari Indonesia menerima sejumlah catatan kritis. Kobayashi, misalnya,
mengemukakan bahwa para investor Jepang sangat mengkhawatirkan maraknya praktik
korupsi, yang membuat para pemilik modal ragu berinvestasi di Indonesia.
”Bahkan ada hakim yang menerima suap,” kata Kobayashi.
Memang,
fakta menunjukkan bahwa sudah puluhan hakim dijerat penegak hukum karena
terlibat korupsi, termasuk panitera dan pejabat lain di bidang peradilan.
Selain itu, investor jepang juga prihatin karena data Corruption Perceptions
Index (CPI) 2016 yang dipublikasikan oleh Transparency International (TI)
memperlihatkan nilai Indonesia hanya naik satu poin dari tahun sebelumnya dan
turun dua peringkat. Tahun lalu 2016, Indonesia meraih poin 37 dan menempati
urutan ke-90 dari 176 negara. Persepsi sebagian investor Jepang tadi tentu
layak diterima sebagai masukan kepada pemerintah. Selain informasi dan data
tentang pertumbuhan ekonomi, calon investor asing juga peduli tentang aspek
supremasi hukum.
Artinya,
jika pemerintah ingin menggencarkan promosi tentang potensi investasi di
Indonesia, pemerintah juga harus memberi gambaran yang komprehensif tentang
supremasi hukum di Indonesia. Sebab, supremasi hukum menjadi penentu tertib
proses investasi dan tertib biaya.
Momentum
Akselerasi
Persepsi
negatif sebagian investor Jepang tentang Indonesia itu sudah ditanggapi
sejumlah pakar hukum di dalam negeri. Para pakar hukum umumnya sepakat bahwa
sekaranglah waktunya untuk bersungguh-sungguh dan konsisten melakukan
pembenahan untuk mewujudkan supremasi hukum. Kesan darurat pengadilan atau
darurat hukum harus dihilangkan. Perekrutan hakim tidak boleh lagi asal-asalan.
Momentumnya
tepat. Faktor pertama adalah fakta bahwa pemerintah sedang mencoba
mengakselerasi pembangunan infrastruktur pada hampir semua daerah. Faktor
kedua, pemerintah telah memprakarsai program percepatan reformasi hukum yang
akan diaktualisasikan melalui tujuh agenda pembenahan. Meliputi pelayanan
publik, penataan regulasi, pembenahan manajemen perkara, penguatan SDM penegak
hukum, penguatan kelembagaan, pembangunan budaya hukum di masyarakat, dan
pembenahan lembaga pemasyarakatan.
Kalau
semua agenda pembenahan ini bisa dituntaskan, Indonesia memiliki modal yang
kuat untuk mewujudkan supremasi hukum. Kebetulan, dari sisi yudikatif, ada
faktor yang serba baru di Mahkamah Agung (MA). Ketua MAyang baru, Hatta Ali,
terpilih belum lama ini. Sekretaris MA, Achmad Setyo Pudjoharsoyo, juga baru
ditunjuk Presiden pada pekan pertama Februari 2017. Maka, tidak mengada-ada
jika masyarakat berharap banyak dari kepemimpinan baru di MA itu.
Sebab,
sama seperti persepsi sebagian investor di Jepang, masyarakat Indonesia juga
punya persepsi buruk tentang praktik penegakan hukum yang sarat penyimpangan,
termasuk yang dilakukan oknum hakim hingga panitera. Kini, masyarakat menunggu
dan ingin mendengar program kerja Ketua MA dan Sekretaris MA yang baru.
Kalau MA
tidak segera melakukan pembenahan dan beradaptasi dengan langkah-langkah
pemerintah membenahi sektor hukum, supremasi hukum di negara ini akan sulit
diwujudkan. Untuk mewujudkan supremasi hukum, kontribusi MA seharusnya
signifikan. Kegagalan mewujudkan supremasi hukum akan menjadi sumber kerusakan
pada semua sektor dan aspek kehidupan masyarakat.
Karena
itu, sumbang saran atau usulan program dari MAsangat diperlukan dalam upaya
mewujudkan supremasi hukum itu. Kehadiran Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud
dari Arab Saudi di Indonesia yang relatif lama adalah sebuah momentum khusus
bagi Indonesia. Akan ada penandatanganan investasi oleh Aramco untuk
pembangunan kilang minyak di Cilacap dan sejumlah proyek lain bernilai Rp 94,5
triliun.
Kehadiran
Raja Arab Saudi dan rombongan plus rencana investasi tersebut mencerminkan
masih adanya kepercayaan kepada Indonesia. Komunitas investor di berbagai
negara tentu saja akan menyimak berbagai kesepakatan kedua negara di bidang
ekonomi. Rangkaian kesepakatan itu mencerminkan kepercayaan para investor Arab
terhadap sistem hukum di Indonesia. []
SUARA
MERDEKA, 1 Maret 2017
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar