Pesantren
Membentuk Generasi Bertakwa
Oleh: KH.
MA. Sahal Mahfudh
Setiap institusi agama ataupun yang lain, memberikan kedudukan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu pengetahuan menduduki posisi utama, karena ia adalah sarana yang paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: "Barang siapa menghendaki kehidupan dunia, maka ia harus berilmu, begitu juga apabila ia menghendaki kehidupan akhirat. Apalagi jika ia menghendaki keduanya (dunia dan akhirat)".
Yang
dimaksud science di sini adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas,
bukan dalam batasan satu nilai atau disiplin tertentu. Secara kontinyu ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh aspek kehidupan
yang luas, mulai dari ekonomi, sosial, budaya dan juga apresiasi intelektual
masyarakat. Akan tetapi di balik itu, proses perkembangan tersebut sangat
bergantung pada lembaga pendidikan.
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan dengan totalitas kepribadiannya yang khas, selalu
memberikan kebebasan untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya.
Sehingga setiap tawaran pengembangan, baik benupa transfer dari luar
(non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, tentunya akan melalui sektor
pertimbangan dari dalam pesantren sendiri yaitu pertimbangan tata nilai yang
telah ada dan berlaku di pesantren selama ini.
Istilah
"pesantren" mulai dikenal sejak pertama kali lembaga itu didirikan.
Untuk mengetahui sejarah pesantren, ada beberapa pendapat yang umum berlaku. Di
antaranya disebutkan, pertama kali pesantren didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim
di Gresik pada awal abad ke-17 (tahun 1619 M).
Dalam
perjalanannya, pesantren begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan
prestasi yang sangat kentara, yaitu munculnya para alumni pesantren yang
mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan
mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan
kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Hal ini
berangkat dari titik tekan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang
senantiasa dipertahankan dan kemauan membuka diri dari segala perubahan dan
perkembangan zaman.
Akan
tetapi, satu dan lain hal yang perlu dimengerti adalah keteguhan sikap para
pendiri pesantren yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial
Belanda pada waktu dulu, sehingga segala bentuk kegiatan pendidikan pesantren
tidak diproyeksikan untuk memproduksi tenaga kerja. Maka, ijasah-ijasah formal
pun pada awalnya sama sekali tidak dikenal oleh kalangan pesantren. Pesantren
hanya terfokus pada pandangan dasar thalab al-'ilmi li wajhi Allah. Prinsip
demikian ini masih dapat ditemui di beberapa pesantren sampai sekarang.
Sistem
pendidikan pesantren yang ditempuh selama ini memang menunjukkan sifat dan
bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Akan tetapi hal ini tidaklah
bisa diartikan sebagai sikap isolatif, apalagi eksklusif pesantren terhadap
komunitas yang lebih luas. Pesantren pada dasarnya memiliki sikap integratif
yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.
Pendidikan
nasional yang tertuang dalam GBHN bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap
Tuhan YME, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Dari sinilah, meskipun pola penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan
pendidikan nasional, akan tetapi ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan
yang mendukung dan menyokong tercapainya tujuan pendidikan nasional. Secara
institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya
pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya.
Pola
dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek
kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak
santrinya menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang
secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kaitannya
dengan kehidupan sesama makhluk. Filosofi "shalih" diambil dari surat
Al-Anbiya' 105:
“Sesungguhnya
bumi ini diwariskan kepada orang-orang yang shalih”.
Sehingga
untuk melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan kehidupannya,
pesantren coba membekali santrinya dengan ilmu pengetahuan yang punya implikasi
sosial menyeluruh dan mendasar. Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik,
teknologi, perindustrian, ilmu kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan
pesantren, pengkajian ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu kifayah).
Sementara
"akram" merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai
makhluk terhadap khaliqnya, untuk mencapai kebahagian di akhirat, seperti
firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu seklian di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa.”
Dalam
kaitan ini, pesantren secara institusional telah menekankan pendalaman terhadap
ilmu pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).
Berangkat
dari sikap pendirinya pada sebelum masa kemerdekaan yang sama sekali tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, maka pesantren praktis menolak
campur tangan pemerintah. Akibatnya kesan tertutup dan eksklusif begitu lekat
di tubuh pesantren. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan, pesantren mulai
membuka diri seluas-luasnya kepada ‘dunia luar’ dengan digalangnya banyak
kerjasama antara pesantren dan pemerintah atau dengan lembaga-lembaga lain,
seperti LSM-LSM di negeri ini.
Macam dan
bentuk pesantren yang amat banyak, sebanyak kiai yang mempunyai otoritas
tertinggi atas pesantren, adalah hal yang selama ini menjadi sorotan para ahli
dan pengamat masalah pesantren. Namun justru dari keberagaman bentuk pesantren
inilah, akan dapat dicapai insan kamil. Adalah mustahil, bila kesempurnaan
tersebut dicapai dengan bentuk pendidikan yang hanya satu macam.
Pesantren
dengan tujuan utamanya mencetak insan yang shalih dan akram, merupakan lembaga
pendidikan yang mempunyai implikasi dunia dan akhirat. Tidak hanya shalih saja,
akan tetapi juga akram. Keduanya haruslah tidak terpisahkan, sehingga di
samping mendalami ilmu-ilmu keagamaan, pesantren juga harus mulai mendalami
ilmu pengetahuan umum. Apalagi pesantren telah melebarkan sayap dengan
membentuk lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan klasikal dan perguruan
tinggi yang kian hari semakin ditingkatkan mutu manajerialnya dan proses
belajar mengajarnya.
Pesantren
yang lahir dan berbasis di pedesaan, di dalamnya terbentuk suatu miniatur
kehidupan masyarakat luas. Ia adalah sebuah lembaga yang memiliki kemnungkinan
dan kesempatan besar membentuk kader berwawasan sosial dan peka terhadap
lingkungannya, di samping memupuk ketakwaan terhadap Allah SWT.
Prospek
pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga
pendidikan, tanpa memandang pada dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja, skala
prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan, berlainan
antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Sementara pesantren lebih
menekankan pada pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya, sesuai
dengan nafas dan tuntutan Islam.
Untuk
lebih mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren
masih saja memperhatikan sistem pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, transfer
ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus dilaksanakan, sejauh tetap
menyelamatkan nilai-niilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh
perubahan-penubahan. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki prinsip:
“Memelihara
sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta
mengembangkan cara baru yang lebih baik".
Dengan
demikian pesantren tidak akan pernah terkesan sebagai lembaga pendidikan
konvensional yang menutup diri dan mengisolasi dari perkembangan kehidupan. []
*)
Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS).
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Dinamika Islam RRI Stasion Regional I
Semarang, Sahur ke-18 Ramadlan 1412 H. Judul asli Pesantren Membentuk Generasi
Iptek dan Bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar