Syahadat dalam Shalat,
Bentengi Diri dari Kekufuran
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum. Ustadz saya mau bertanya
beberapa hal. 1. Disetiap shalat kita selalu mengucapkan syahadat, apakah
dengan begitu kita terjaga dari kufur karena selalu memperbaruinya sehari 5x?
2. Jika mandi junub air kita siram
kemungkinan ada bagian yg tidak terkena air siraman tersebut, sedangkan kita
harus meratakan air keseluruh tubuh, apakah setelah kita siram lalu kita basuh
atau gosok2an dengan tangan kita agar bagian lain terkena air siraman tdi
(seperti ketiak dll) itu sudah termasuk dengan meratakan keseluruh tubuh ?
3. Jika untuk bersuci air yg digunakan harus
suci lagi mensucikan, bagaimana jika bak yg digunakan tidak sampai dua kulah
tapi air dari keran tetap dibuka terus agar air mengalir, apakah jika air itu
dipakai untuk mandi junub lalu ada air yg telah kita siram kebadan masuk
kedalam bak, apakah airnya tetap menjadi air suci lagi mensucikan (air keran
tetap terbuka agar air mengalir)? mohon jawabannya.
Terimakasih. Wassalamu'alaikum. (Ahmad,
Depok)
Jawaban:
Wa’alaikum Saam wr. wb. Penanya yang budiman,
semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada
kami. Yang pertama tekait dengan soal syahadat. Pertanyaan pertama sebenarnya
tidak terkait secara langsung dengan persoalan fikih, tetapi lebih pada persoalan
teologis.
Sedang yang kedua dan ketiga menyangkut soal
air, dan terkait dengan persoalan fikih. Karena keterbatasan ruang waktu, maka
kami tidak mungkin menjawab semua. Namun pertanyaan yang belum sempat kami
jawab insya Allah akan dijawab pada kesempatan lain.
Kami akan memulai dengan menjawab pertanyaan
yang pertama. Dalam konteks ini pertama-tama hal yang harus diketahui adalah
tentang makna kufr atau kekufuran dan pada batas mana seseorang kemudian
dianggap kufur. Dalam bahasa Arab arti kata kufr adalah tutup (as-satr wa
at-taghthiyyah). Sedangkan kafir adalah isim fail dari kufr. Karenanya, malam
dinamai kafir sebab ia menutupi sesuatu dengan kegelapannya.
وَأَصْلُ
الْكُفْرِ فِي اللُّغَةِ السَّتْرُ وَالتَّغْطِيَةِ ، وَمْنْهُ سُمِيَ اللَّيْلُ
كَافِراً لِأَنَّهُ يَسْتُرُ الْأَشْيَاءَ بِظُلْمَتِهِ قَالَ الشَّاعِرُ: فِي
لَيْلَةٍ كَفَرَ النُّجُومَ غَمَامُهَا
“Asal kata kufr secara bahasa maknanya adalah
tutup. Dari makna ini maka malam disebut kafir (yang menutipi) karena menutupi
segala sesuatu dengan kegelapannya. Seorang penyair berkata, ‘di suatu malam
yang kegelapannya menutupi bintang-gemintang”. (Al-Khazin, Tafsir al-Khazin,
Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1425 H.2004 M, juz, I, h. 26).
Sedangkan dalam istilah syara` kufr adalah
mengingkari apa yang sudah pasti datang atau dibawa oleh Rasulullah saw.
وَفِي
الشَّرْعِ إِنْكَارُ مَا عُلِمَ بِالضَّرُورَةِ مَجِيءُ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِ
“Dan menurut syara` kufr adalah mengingkari
apa yang sudah dipasti diketahui datang dari Rasulullah saw” (Nashiruddin
al-Baidlawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta`wil, Dar Ihya` at-Turats al-Arabi,
cet ke-1, 1418 H, juz I, h. 24).
Konsekwensi pengingkaran terhadap apa yang
sudah diketahui secara pasti dibawa oleh Rasulullah saw berakibat kepada
pengingkaran apa yang telah ditetapkan Allah swt. Sedang pelakunya disebut
kafir.
Intinya orang dikatakan melakukan kufr
(kekufuran) adalah ketika ia mengingkari Allah swt, atau mengingkari
ke-esa-an-Nya atau mengingkari sesuatu yang sudah pasti diturunkan kepada
Rasulullah saw, mengingkari kenabian beliau atau mengingkari salah satu utusan-Nya.
Hal ini sebagaimana dikemukan oleh al-Baidlawi.
وَحَاصِلُهُ
أَنَّ مَنْ جَحَدَ اللهَ أَوْ أَنْكَرَ وَحْدَانِيَّتَهُ أَوْ أَنْكَرَ شَيْئاً
مِمَّا أَنْزَلَهُ عَلَى رَسُولِهِ أَوْ أَنْكَرَ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَحَداً مِنَ الرُّسُلِ فَهُوَ كَافِرٌ
“Dan kesimpulannya bahwa orang mengingkari
Allah atau keesaan-Nya, mengingkari sesuatu yang Allah swt turunkan kepada
Rasulullah saw atau mengingkari kenabian-nya atau salah satu utusan-Nya maka ia
adalah orang kafir” (Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, juz, I, h. 26).
Dengan demikian pada dasarnya ketika
seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu asyhadu an la ilaha illallah,
wa anna muhammad rasulullah (aku bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan-Nya) maka hal itu bisa menyelamatkannya dari kekufuran.
Sebab apa yang dimaksudkan dengan kedua syahadat tersebut adalah menafikan
ketuhan selain Allah, dan hanya Dia yang berhak untuk disembah, dan pengakuan
terhadap risalah kenabian Muhammad saw.
Disamping itu jika ada seseorang yang
diketahui kekufurannya, kemudian orang-orang melihat dia menjalankan shalat
pada waktunya sampai ia menjalankan banyak shalat, tetapi mereka tidak
mengetahui ia mengikrarkan syahadat dengan lisannya, maka ia dihukumi sebagai
orang mukmin. Pandangan ini merupakan kesepakatan para ulama sebagaimana
dikemukakan oleh Ishaq bin Rahawaih.
قَالَ
إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ: وَلَقَدْ أَجْمَعُوا فِي الصَّلَاةِ عَلَى شَيْءٍلَمْ
يَجْمَعُوا عَلَيْهِ فِي سَائِرِ الشَّرَائِعِ، لِأَنَّهُمْ بِأَجْمَعِهِمْ
قَالُوا: مَن عُرِفَ بِالْكُفْرِ ثُمَّ رَأَوْهُ يُصَلِّي الصَّلَاةَ فِي
وَقْتِهَا حَتَّى صَلَّى صَلَوَاتٍ كَثِيرَةً وَلَمْ يَعْلَمُوا مِنْهُ إِقْرَاراً
بِاللِّسَانِ أَنَّهُ يُحْكَمُ لَهُ بِالْإِيمَانِ
“Ishaq bin Rahawaih berkata, para ulama telah
sepakat tentang sesuatu mengenai shalat yang tidak mereka sepakatinya dalam
bentuk ibadah-ibadah lainnya. Kesepakatan mereka (dapat dipahami) karena mereka
semua menyatakan bahwa orang yang diketahui kufur kemudian orang-orang melihat
ia melakukan shalat pada waktunya sehingga ia melakukan banyak shalat,
sedangkan mereka tidak mengetahui ia mengikrarkan dua kalimat syahadat dari
lisannya, maka ia dihukumi sebagai mukmin” (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam
al-Qur`an, Riyadl-Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, 7, h. 207).
Pertanyaannya kenapa dengan menjalankan
shalat seseorang yang yang sudah diketahui kufur bisa dihukumi mukmin? Jawaban
paling sederhana untuk menjelaskan hal ini karena dalam shalat ia mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Jadi, dua kalimat syahadat yang selalu
diucapkan dalam shalat bisa melindungi kita dari kekufuran. Dan dalam sehari
minimal lima kali kita diwajibkan untuk membentengi diri kita dari kekufuran.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga apa yang kami kemukan dapat
bermanfaat.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
wassalamu’alaikum wr. wb. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar