Rabu, 26 Agustus 2015

(Ngaji of the Day) Bolehkan Menghentikan Shalat Sunnah Saat Muadzin Iqomah?



Bolehkan Menghentikan Shalat Sunnah Saat Muadzin Iqomah?

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr wb. Redaksi nu.or.id yang terhormat. Seingat saya, sudah tiga kali ini di masjid yang berbeda-bedam saya melihat ada jamaah yang sedang melaksanakan ibadah shalat qobliyah, begitu terdengar iqomah oleh muadzin dia langsung menghentikan shalatnya. Padahal salatnya belum selesai, baru dapat satu rakaat dari dua rakat yang semestinya. Menghentikan salat sunnah saat mendengar iqomah, apakah diperbolehkan? Mohon penjelasannya. Matur nuwun.

Hanif – Yogyakarta

Jawaban:  

Wa'alaikum salam wr wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa hukum Islam yang kita pahami selama ini ada lima, yaitu yang seharusnya dilakukan disebut wajib, yang sebaiknya dilakukan disebut sunnah, yang seharusnya ditinggalkan disebut haram, yang sebaiknya ditinggalkan disebut makruh, dan yang boleh ditinggalkan maupun dikerjakan disebut mubah.

Sedangkan shalat qabliyah masuk dalam kategori sunnah. Artinya, shalat tersebut sebaiknya dikerjakan, meskipun kalau ditinggal juga tidak apa-apa. Dalam pelaksanaan shalat qabliyah memang terkadang mengalami kendala. Seperti baru dijalankan satu rakaat, tiba-tiba muadzin mengumandangakan iqamah. Apakah meneruskan shalat sunnah qabliyah atau menghentikannya kemudian ikut melakasanaan shalat fardlu berjamaah.

Sepanjang yang kami ketahui memang ada hadits yang menyatakan bahwa ketika shalat didirikan maka tidak ada shalat yang sempurna kecuali shalat maktubah. Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra.

  إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ

“Ketika shalat didirikan maka tidak shalat yang sempurna kecuali shalat maktubah”

Apa yang dimaksudnya dengan ‘ketika shalat didirikan’ dalam hadits tersebut adalah ketika iqamah dikumangkan oleh muadzzin. Dengan kata lain, ketika muadzin mengumandangan iqamah maka tidak ada shalat yang sempurna kecuali shalat maktub. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi.

قُلْتُ اَلْمُرَادُ بِإِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِي قَوْلِهِ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ اَلْاِقَامَةُ الَّتِي يَقُولُهَا الْمُؤَذِّنُ عِنْدَ إِرَادَةِ الصَّلَاةِ

“Saya berpendapat bahwa yang dimakasudkan mendirikan shalat dalam sabda Rasulullah sawa, ‘Ketika shalat didirikan’ adalah iqamah yang dikumandangan muadzin ketika hendak menjalankan shalat”(Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Baerut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz, 2, h. 402)

Dengan hadits ini maka kalagan madzhab syafi’i berpendapat bahwa dimakruhkan bagi orang yang hendak menjalankan shalat memulai melakukan shalat sunnah, baik shalat sunnah rawatib, tahiyat masjid atau shalat sunnah yang lainnya ketika iqamah mulai dikumandangan.  

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْاَصْحَابُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ كُرِهَ لِكُلِّ مَنْ اَرَادَ الْفَرِيضَةَ اِفْتِتَاحُ نَافِلَةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً لِتِلْكَ الصَّلَاةِ أَوْ تَحِيَّةَ مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرَهَا لِعُمُومِ هَذَا الْحَدِيثِ

“Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa ketika shalat didirika  (iqamah dikumandangankan) maka dimakruhkan bagi setiap orang yang hendak shalat fardlu memulai shalat sunnah, baik shalat sunnah rawatib, shalat tahiyyat masjid atau selainnya karena keumuman makna yang dikandung hadits ini.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 222)

Namun penjelasan ini tidak bisa menjawab pertanyaan di atas. Sebab, shalat sunnah qabliyah tersebut dijalankan pada saat belum dimulai iqamah. Di samping itu ada ketidaktahuan dari orang menjalankan shalat qabliyah bahwa iqamah akan segera dimulai. Dengan kata lain, ketika ia menjalankan shalat qabliyah, tiba-tiba muadzin mengumandangan iqamah, padahal baru satu rakaat.

Dalam kasus ini maka sebaiknya (sunnah) menyempurnakan shalat qabliyah, dengan catatan bahwa ia yakin akan bisa mengikuti shalat jamaah sebelum imam salam. Namun jika ia khawatir dengan menjalankan shalat qabliyah tidak bisa mengikuti shalat jamaah, maka sebaiknya menghentikan shalatnya, kemudian ikut berjamaah karena lebih utama dari pada shalat sunnah qabliyyah.         
   
وَكُرِهَ ابْتِدَاءُ نَفْلٍ بَعْدَ شُرُوعِ الْمُقِيمِ فَإِنْ كَانَ فِي النَّفْلِ أَتَمَّهُ إنْ لَمْ يَخْشَ بِإِتْمَامِهِ  فَوْتَ جَمَاعَةٍ بِسَلَامِ الْإِمَامِ وَإِلَّا نُدِبَ لَهُ قَطْعُهُ وَدَخَلَ فِيهَا لِأَنَّهَا أَوْلَى مِنْهُ

“Dan dimakruhkan (bagi orang yang hendak menjalankan shalat wajib) memulai melakukan shalat sunnah setelah al-muqim (orang yang melakukan iqamah) mulai mengumandangkan iqamah. Namun jika ia (orang yang hendak menjalankan shalat wajib) sedang menjalankan shalat sunnah, maka sebaiknya (sunnah) menyempurnakan shalatnya, sepanjang tidak khawatir tertinggal jamaah karena salamnya imam. Namun apabila khawatir, maka disunnahkan menghentikan shalatnya, kemudian ikut berjamaah karena lebih utama dari pada shalat sunnah”. (Muhammad Khatib asy-Syarbini, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Sujja`, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 1, h. 169) 

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bermanfaat, dan jika Anda menemukan kasus yang serupa maka bersikaplah bijak, dan tak perlu mempersoalkan dengan keras.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. []

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar