Bolehkan Menghentikan
Shalat Sunnah Saat Muadzin Iqomah?
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr wb. Redaksi nu.or.id yang
terhormat. Seingat saya, sudah tiga kali ini di masjid yang berbeda-bedam saya
melihat ada jamaah yang sedang melaksanakan ibadah shalat qobliyah, begitu
terdengar iqomah oleh muadzin dia langsung menghentikan shalatnya. Padahal
salatnya belum selesai, baru dapat satu rakaat dari dua rakat yang semestinya.
Menghentikan salat sunnah saat mendengar iqomah, apakah diperbolehkan? Mohon
penjelasannya. Matur nuwun.
Hanif – Yogyakarta
Jawaban:
Wa'alaikum salam wr wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Bahwa hukum Islam yang kita pahami selama ini ada lima, yaitu yang
seharusnya dilakukan disebut wajib, yang sebaiknya dilakukan disebut sunnah,
yang seharusnya ditinggalkan disebut haram, yang sebaiknya ditinggalkan disebut
makruh, dan yang boleh ditinggalkan maupun dikerjakan disebut mubah.
Sedangkan shalat qabliyah masuk dalam
kategori sunnah. Artinya, shalat tersebut sebaiknya dikerjakan, meskipun kalau
ditinggal juga tidak apa-apa. Dalam pelaksanaan shalat qabliyah memang
terkadang mengalami kendala. Seperti baru dijalankan satu rakaat, tiba-tiba
muadzin mengumandangakan iqamah. Apakah meneruskan shalat sunnah qabliyah atau
menghentikannya kemudian ikut melakasanaan shalat fardlu berjamaah.
Sepanjang yang kami ketahui memang ada hadits
yang menyatakan bahwa ketika shalat didirikan maka tidak ada shalat yang
sempurna kecuali shalat maktubah. Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra.
إِذَا
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ
“Ketika shalat didirikan maka tidak shalat
yang sempurna kecuali shalat maktubah”
Apa yang dimaksudnya dengan ‘ketika shalat
didirikan’ dalam hadits tersebut adalah ketika iqamah dikumangkan oleh
muadzzin. Dengan kata lain, ketika muadzin mengumandangan iqamah maka tidak ada
shalat yang sempurna kecuali shalat maktub. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi.
قُلْتُ
اَلْمُرَادُ بِإِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِي قَوْلِهِ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ
اَلْاِقَامَةُ الَّتِي يَقُولُهَا الْمُؤَذِّنُ عِنْدَ إِرَادَةِ الصَّلَاةِ
“Saya berpendapat bahwa yang dimakasudkan
mendirikan shalat dalam sabda Rasulullah sawa, ‘Ketika shalat didirikan’ adalah
iqamah yang dikumandangan muadzin ketika hendak menjalankan shalat”(Muhammad
Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi,
Baerut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz, 2, h. 402)
Dengan hadits ini maka kalagan madzhab
syafi’i berpendapat bahwa dimakruhkan bagi orang yang hendak menjalankan shalat
memulai melakukan shalat sunnah, baik shalat sunnah rawatib, tahiyat masjid
atau shalat sunnah yang lainnya ketika iqamah mulai dikumandangan.
قَالَ
الشَّافِعِيُّ وَالْاَصْحَابُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ كُرِهَ لِكُلِّ مَنْ
اَرَادَ الْفَرِيضَةَ اِفْتِتَاحُ نَافِلَةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً
لِتِلْكَ الصَّلَاةِ أَوْ تَحِيَّةَ مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرَهَا لِعُمُومِ هَذَا
الْحَدِيثِ
“Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya
berpendapat bahwa ketika shalat didirika (iqamah dikumandangankan) maka
dimakruhkan bagi setiap orang yang hendak shalat fardlu memulai shalat sunnah,
baik shalat sunnah rawatib, shalat tahiyyat masjid atau selainnya karena
keumuman makna yang dikandung hadits ini.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi,
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 222)
Namun penjelasan ini tidak bisa menjawab
pertanyaan di atas. Sebab, shalat sunnah qabliyah tersebut dijalankan pada saat
belum dimulai iqamah. Di samping itu ada ketidaktahuan dari orang menjalankan
shalat qabliyah bahwa iqamah akan segera dimulai. Dengan kata lain, ketika ia
menjalankan shalat qabliyah, tiba-tiba muadzin mengumandangan iqamah, padahal
baru satu rakaat.
Dalam kasus ini maka sebaiknya (sunnah)
menyempurnakan shalat qabliyah, dengan catatan bahwa ia yakin akan bisa
mengikuti shalat jamaah sebelum imam salam. Namun jika ia khawatir dengan
menjalankan shalat qabliyah tidak bisa mengikuti shalat jamaah, maka sebaiknya
menghentikan shalatnya, kemudian ikut berjamaah karena lebih utama dari pada
shalat sunnah qabliyyah.
وَكُرِهَ
ابْتِدَاءُ نَفْلٍ بَعْدَ شُرُوعِ الْمُقِيمِ فَإِنْ كَانَ فِي النَّفْلِ
أَتَمَّهُ إنْ لَمْ يَخْشَ بِإِتْمَامِهِ فَوْتَ جَمَاعَةٍ بِسَلَامِ
الْإِمَامِ وَإِلَّا نُدِبَ لَهُ قَطْعُهُ وَدَخَلَ فِيهَا لِأَنَّهَا أَوْلَى
مِنْهُ
“Dan dimakruhkan (bagi orang yang hendak
menjalankan shalat wajib) memulai melakukan shalat sunnah setelah al-muqim
(orang yang melakukan iqamah) mulai mengumandangkan iqamah. Namun jika ia
(orang yang hendak menjalankan shalat wajib) sedang menjalankan shalat sunnah,
maka sebaiknya (sunnah) menyempurnakan shalatnya, sepanjang tidak khawatir
tertinggal jamaah karena salamnya imam. Namun apabila khawatir, maka
disunnahkan menghentikan shalatnya, kemudian ikut berjamaah karena lebih utama
dari pada shalat sunnah”. (Muhammad Khatib asy-Syarbini, al-Iqna` fi Halli
Alfazhi Abi Sujja`, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 1, h. 169)
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.
Semoga bermanfaat, dan jika Anda menemukan kasus yang serupa maka bersikaplah
bijak, dan tak perlu mempersoalkan dengan keras.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar