Selasa, 11 Agustus 2015

(Ngaji of the Day) Jamak Sembahyang Karena Sakit atau Macet?



Jamak Sembahyang Karena Sakit atau Macet?

Sembahyang lima waktu ada jangka waktunya. Setiap kita pun diperintahkan agar melaksanakan sembahyang pada jangka waktu tersebut. Tidak mencuri start. Atau kedaluwarsa. Bagusnya sembahyang di awal waktu setelah azan dan iqomah. Semua itu berlaku bagi orang dalam keadaan sehat dan lapang tanpa halangan. Bagaimana mereka yang sakit atau berhalangan lain?

Dalam Fathul Mu‘in, Syekh Zainuddin Al-Malibari menerangkan.

و يجوز الجمع بالمرض تقديما وتأخيرا على المختار ويراعي الأرفق فإن كان يزداد مرضه كأن كان يحم مثلا وقت الثانية قدمها بشروط جمع التقديم أو وقت الأولى أخرها وضبط جمع متأخرون المرض هنا بأنه ما يشق معه فعل كل فرض في وقته كمشقة المشي في المطر بحيث تبتل ثيابه. وقال آخرون لا بد من مشقة ظاهرة زيادة على ذلك بحيث تبيح الجلوس في المرض وهو الأوجه

Menurut qaul yang mukhtar, seseorang dengan udzur sakit diperbolehkan menjamak dua sembahyang (Zuhur-Ashar dan Maghrib-Isya, -red.) baik jamak taqdim maupun ta‘khir. Ia boleh memilih waktu yang terbaik dari keduanya.

Maksudnya, bila sakitnya meningkat parah seperti panasnya semakin tinggi pada waktu Ashar atau Isya, maka boleh melakukan jamak taqdim dengan syarat jamak taqdim. Tetapi kalau sakitnya parah pada waktu Zuhur atau Maghrib, maka lakukan jamak ta‘khir.

Ulama muta’akhirin menyebut ketentuan bahwa sakit yang dimaksud di sini ialah sebuah penyakit yang membuat penderitanya sulit mengerjakan sembahyang pada waktunya. Persis kesulitan bergerak di saat hujan lebat yang dapat membuat pakaian menjadi basah.

Sementara ulama lain mengemukakan, kesulitan untuk jamak tidak boleh tidak mesti tampak dan lebih daripada itu. Kesulitannya kira-kira setingkat dengan kesulitan yang membolehkan seseorang sembahyang duduk. Inilah pendapat paling mengemuka.

Sementara Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi dalam I‘anatut Tholibin menegaskan sebagai berikut.

أما ما لا يشق على ذلك كصداع يسير وحمى خفيفة فلا يجوز الجمع معه

Adapun sakit yang tidak menyulitkan dalam melakukan sembahyang seperti kepala sedikit pusing atau badan agak meriang, maka tidak diperbolehkan menjamak dua sembahyang.

Bagaimana dengan kemacetan yang kerap mendera pengguna lalu lintas atau penumpang angkutan umum di saat jam macet? Ini juga mesti dilihat dari tingkat kemacetannya separah apa dan sesulit apa untuk melakukan sembahyang pada waktunya.

Kalau memang sangat sulit sekali, dengan menimbang keterangan Fathul Mu‘in berikut hasyiyah-nya seseorang bisa melakukan jamak menimbang tingkat masyaqqahnya yang tidak memungkinkan untuk sembahyang pada waktunya.

Ketentuan udzur yang memiliki tingkat masyaqqahnya sendiri, dibuat oleh kalangan ulama agar masyarakat umum memiliki panduan perihal kebolehan dan tidaknya menjamak dua sembahyang. Gampangnya, ketentuan itu dimaksud agar jangan sampai orang yang berudzur sya’ri memaksakan diri. Jangan juga orang yang senggang dan segar bugar mengambil jalan pintas; jamak. Wallahu A‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar