Bermakmum dengan Imam yang
Beda Madzhab
Pertanyaan:
Assalamua'alaikum warahmatullaohi
wabarakaatuh. Nama saya Rifqi Alhaolani usia 23 tahun, saya adalah
seorang karyawan salah satu perusahaan di Bandung, semenjak saya bekerja
selama kurang lebih 3 tahun di sini. Sering saya mendapatkan perasaan
khawatir akan sah atau tidaknya sholat yang saya laksanakan di masjid yang
berlokasi di area perusahaan, dikarenakan pengurus masjid di perusahaan
tempat saya bekerja bukanlah dari golongan madzhab imam syafi'i dan bukan
pula dari NU, pengertian dan pelaksanaan rukun sholat yang pertama yaitu
Niat mereka berbeda dengan apa yang selama ini saya lakukan.
Setahu saya niat itu ditekadkan di dalam
hati berbarengan dengan takbiratul ikhram dalam sholat (sesuai
dengan keterangan Syeikh Nawawi Albantani dalam sarah Safinatunnaja).
Mengenai hal ini saya ingin bertanya kepada pakar NU, apakah sah sholat
saya jika saya berjamaah dengan mereka? atau sebaiknya saya sholat
munfarid saja? Bagaimana pula dengan sholat Juma'at saya, mengingat ada
pula perbedaan dalam pelaksanaannya juga tidak ada 40 orang mukim walaupun
kapasitas masjid dan jemaahnya ada lebih dari 1000 orang?
Besar harapan saya untuk segera mendapatkan jawaban mengenai hal ini. Wassalamu'alaikum warhmatulloh wabarokatuh.
Jawaban:
Wa’alaikum salam wr. wb Penanya yang budiman,
semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa persoalan bermakmum kepada orang yang
menganut madzhab yang berbeda memang acapkali mengemukan di kalangan masyarakat
bawah. Perbedaan antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam soal
furu`.
Meskipun perbedaan ini menyangkut soal furu`
tetapi faktanya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi umat dibawah.
Kebingunan ini lahir karena shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah,
tetapi dalam pandangan makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.
Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca
basmalah, padahal dalam madzhab syafi’i basmalah termasuk bagian dari surat
Al-Fatihah. Atau dalam soal wudlu, di mana menurut pendapat madzhab syafi’i,
wudlu itu harus tertib, tetapi imam dalam melakukan wudlu tidak tertib. Menurut
imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat
pendapat.
اَلْاِقْتِدَاءُ
بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ
بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ
وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛
وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ
اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ
أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:
“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab
lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan
orang yang mengikuti madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmalah
ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat
kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya.
Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu
sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara
keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin
Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt,
juz, 4 h. 182)
Pendapat pertama adalah pendapat yang
dikemukakan oleh al-Qaffal. Menurut al-Qaffal bermakmum kepada imam yang
berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Kesahan ini dilihat dari sudut
pandangan imam itu sendiri.
Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat
yang dia lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum kepadanya
otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam
soal-soal furu`.
أَحَدُهَا-
اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ
اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ
“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini
dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu
sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua menyatakan tidak sah secara
mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan
yang dikemukan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai
syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan
adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap
melakukannya.
وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو
إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ
وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ
“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan
ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu
yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia
seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Dari pendapat kedua ini maka lahirlah
pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap
oleh madzhab makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah
bermakmum kepada imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang
dianggap sebagai syarat bagi kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum,
atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.
وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ
صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ
لَمْ يَصِحَّ
“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita
anggap sebagai syarat kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia
meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai kesahan shalat atau kita
meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Selanjutnya adalah pendapat yang keempat.
Pendapat ini menyatakan bahwa jika imam telah terbukti secara nyata
meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan kesahan shalat dalam
pandangan madzhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya.
Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan
seluruh hal yang menjadi kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau
diragukannya, maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh
Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli
Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i.
وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ
اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ
وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ
تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ
تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ
“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih
yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini,
al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i).
(Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan
sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah
bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan
semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita
meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua, ketiga, dan keempat
sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitkelindan. Jadi, empat pendapat
tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara
mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum
itu bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau
disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam
melakukan apa yang diwajib atau disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah
bermakmum kepadanya.
Penjelasan ini dapat membantu untuk menjawab
pertanyaan mengenai shalat jumatan dengan orang yang tidak mensyaratkan adanya
empat puluh orang mukim. Karena jumlah empat puluh orang merupakan syarat
kesahan shalat jumat maka shalat jumat anda tentu tidak sah karena tidak
terpenuhi jumlah tersebut. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka
shalat anda sah dan boleh.
Sedang mengenai perbedaan dalam niat antara
imam dan makmum sepanjang yang kami ketahui tidak ada persoalan. Tetapi jika
ternyata dalam pelaksanaan shalat diketahui secara pasti bahwa imam misalnya
tidak membaca basmalah, sedangkan anda mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa
basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah maka shalat anda tidak sah.
Dalam kondisi seperti ini maka sebaiknya anda
bermakmum dengan orang yang sepaham dengan anda, jika tidak ditemukan maka
shalat munfarid. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat
anda sah.
Dari penjelasan yang kami kemukakan dapat
dipahami bahwa inti permasalahannya bukan terletak pada apakah imam menganut
madzhab yang berbeda atau tidak. Tetapi apakah imam telah memenuhi apa yang
menjadi syarat-rukun atau kewajiban yang kita yakini atau tidak.
Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan
karena keterbatasan ruang dan waktu. Jika dirasa kurang memuaskan kami mohon
maaf, dan bisa dilanjutkan pada kesempatan lain. Kami selau terbuka menerima saran,
kritik dan koreksi atas jawaban yang kami kemukakan.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.
Wassalamu’alaikum wr. wb. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar