Lebaran di Ambang Krisis
Oleh: Yudi Latif
Menjelang Idul Fitri, cuaca kebatinan yang terbit di relung jiwa
bangsa ini semestinya memancarkan optimisme kemenangan. Namun, berbagai tanda
kelesuan perekonomian dan kerentanan politik yang tak cepat tuntas membuat
langit kejiwaan bangsa ini diselimuti mendung pesimisme.
Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster
yang berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang
meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan bumi yang menebar bayangan
hidup yang negatif.
Dengan adanya prediksi akan kemungkinan kembalinya megakrisis, yang
kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang
buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka (optimisme realistis).
Di satu sisi, kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif
karena pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn
mengingatkan bahwa depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah.
Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup
dilumpuhkan oleh jeratan 4D-defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat),
deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa tercerabut)-yang dihayati
sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.
Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar bahwa setiap krisis
mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan,
"Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan dan betapa
banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada
Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."
Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis bahwa
kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan
dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat
ini, diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk bisa menjadi gelombang
kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.
Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang
harus diterima secara taken for granted. Kita tidak cukup menjadi suci (secara
pribadi), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk
menyucikan (negara). Seperti kata Aristoteles, "Manusia baik belum tentu
menjadi warga negara yang baik." Manusia baik hanya bisa menjadi warga
negara baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk,
manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk.
Ibadah puasa dan bulan Ramadhan mestinya menjadi momen mawas diri
untuk bertobat (kembali) ke jalan fitrah (kemurnian asal kita sebagai manusia
dan bangsa). Gema takbir (pengagungan Tuhan) mengajak kita keluar dari
kesempitan ke kelapangan jiwa. Dalam kebesaran Tuhan, setiap insan merupakan
wujud ciptaannya yang paling sempurna dengan kondisi awal yang sama-sama suci.
Keyakinan akan keaslian yang suci mengandaikan setiap orang memiliki sifat
ketuhanan dengan lentera hanifnya yang menuntun ke jalan benar.
Sebagai citra Tuhan, manusia seyogianya memandang hidup secara
positif dan optimistis. Setiap pribadi tidak tercipta sia-sia, tetapi
orang-orang istimewa dengan misi kepahlawanannya sendiri-sendiri. Pertama-tama
kita harus berprasangka baik dengan desain penciptaan Tuhan karena Tuhan akan
bereaksi sesuai prasangka itu. Dalam hadis Qudsi disebutkan, "Aku sesuai
sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka ia bebas berprasangka apa saja
kepada-Ku."
Prasangka baik pada Tuhan akan mengembangkan sikap positif pada
hidup dan sesama. Bahwa pemikiran dan tindakan baik tak akan berbuah keburukan,
begitu juga pemikiran dan tindakan buruk tak akan berbuah kebajikan. Dalam
ungkapan James Allen, "Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia,
pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan."
Lebaran diharapkan membawa optimisme yang lebar setelah manusia
berhasil melewati ujian berpuasa. Bahwa hidup bukanlah tanpa kesulitan dan
ujian dan bahwa kemenangan hidup terletak pada keberhasilan mengarungi ujian.
Dalam sebuah hadis dikatakan, "Ketahuilah bahwa pertolongan itu ada
bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu akan selalu beriringan dengan
cobaan."
Prasangka baik akan melahirkan optimisme. Dalam sikap optimistis,
setiap momen adalah istimewa dan setiap hari adalah lebaran. Timbullah hasrat
untuk merebut hari ini, memberi makna bagi hidup dan berbagai kebahagiaan
dengan sesama.
Hanya dengan jiwa optimistis manusia bisa mengemban misi
kekhalifahan di muka bumi sebagai pemimpin yang harus bertanggung jawab.
Seperti sabda Nabi Muhammad, "Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin
pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Tanggung
jawab kepemimpinan ini pada gilirannya tidak hanya menuntut perhatian keluar,
terlebih dahulu juga harus menengok ke dalam, melakukan koreksi dan asah diri.
Orang yang sadar dirinya akan memaha- mi Tuhannya. Orang yang
memahami Tuhannya akan menyadari kerendahhatian dan cinta kasih-Nya bahwa
semakin besar bukan menjadi bahaya bagi yang lain, malahan memberi ruang hidup
bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi
matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya.
Orang yang memahami Tuhannya juga akan menyadari keterbatasan
dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya akan giat belajar dan
menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok batu permata dirinya.
Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan memandang setiap momen
sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan bekerja untuk
menyempurnakan dirinya.
Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang pertobatan
kolektif, kita hadapi hadangan krisis dengan kerja keras penuh tanggung jawab
dan optimisme mata terbuka. []
KOMPAS, 14 Juli 2015
Yudi Latif | Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar