Jumat, 28 Agustus 2015

Azyumardi: Deklarasi Islam Tentang Perubahan Iklim



Deklarasi Islam Tentang Perubahan Iklim
Oleh: Azyumardi Azra

Bumi makin panas, sehingga makin banyak jumlah orang yang tewas karena kepanasan. Sebaliknya di belahan bumi lain, cuaca kadang-kadang sangat dingin sehingga juga menewaskan banyak manusia.

Musim kemarau dan musim hujan di kawasan seperti Indonesia juga terasa  semakin tidak menentu. Begitu juga musim panas dan musim dingin di bumi belahan utara dan belahan selatan yang iklimnya terus berubah.Perubahan iklim bukan lagi wacana akademik ilmiah teoritis, tetapi juga sudah secara kasat mata melanda umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia.

Karena itu, sangat tepat waktu belaka para pemimpin Muslim dari sekitar 20 negara—termasuk Ketua MUI Din Syamsuddin dan Direktur Pusat Kajian Islam Universitas Nasional, Fachruddin Mangunjaya—mengeluarkan ‘Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim’. Bersama sejumlah pemimpin agama lain yang berkumpul di Istanbul, Turki, pekan lalu (17-18/8/2015)  mereka sepakat tentang perlunya perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim.

Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim memaparkan ringkas berbagai gejala perubahan iklim secara cepat, seperti pemanasan global (global warming) dalam beberapa dasawarsa terakhir yang mengancam kelangsungan hidup manusia, dan lingkungan hidup secara keseluruhan. Deklarasi Islam  mengutip banyak ayat al-Qur’an dan Hadits yang mengajarkan kepada kaum Muslimin [dan umat manusia secara keseluruhan] untuk menjaga lingkungan hidup; tidak melakukan ‘kerusakan baik di langit maupun di muka bumi’, misalnya. Deklarasi juga mengemukakan bermacam Sunnah  Nabi Muhammad SAW  tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup.

Sumber kerusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan iklim juga dikemukakan—hal yang sudah diketahui banyak kalangan masyarakat. Kerusakan alam bersumber terutama bersumber dari tingkat konsumsi tidak terkendali di negara-negara maju dan kaya  (termasuk negara-negara Muslim penghasil BBM fosil). Gaya hidup tidak peduli ini misalnya meningkatkan emisi gas, salah satu penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.

Deklarasi Istanbul menyatakan, 1,6 miliar kaum Muslim turut memikul tanggungjawab menghadapi perubahan iklim. Karena itu, selain menghimbau negara-negara lain, Deklarasi juga menyeru negara-negara Muslim kaya penghasil BBM fosil agar berusaha serius menghasilkan enerji terbarukan menjelang pertengahan abad 21.

Selain itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim menyerukan agar negara-negara kaya meningkatkan bantuan keuangan pada masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim. “Negara-negara kaya memiliki kewajiban moral mengurangi konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih tersisa dari sumber alam yang tidak bisa terbarukan”.

Dalam konteks itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim benar belaka. Terdapat dampak akumulatif perubahan iklim berlipat ganda di banyak negara Muslim. Berbagai dampak akumulatif itu misalnya terlihat dengan kian seringnya terjadi banjir, longsor, kegagalan pertanian- peternakan, dan kian memburuknya kualitas lingkungan hidup.

Dampak akumulatif itu terkait dengan masih banyaknya kaum Muslim miskin di berbagai negara di Asia dan Afrika. Konflik politik berkepanjangan yang terjadi di negara-negara tersebut membuat pembangunan dan perbaikan ekonomi tidak bisa terlaksana untuk memperbaiki keadaan.

Hasilnya, kaum miskin tidak berpendidikan dan ketrampilan memadai berbondong pergi ke wilayah urban—melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Menduduki lahan di mana saja, di bantaran sungai, di bawah kolong jembatan dan tempat lain yang tidak layak dan kumuh; mereka melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi.

Keadaan ini menimbulkan banyak dampak negatif lebih lanjut. Selain berlanjutnya kemiskinan, yang terjadi juga adalah perusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup di banyak negara Muslim termasuk paling kotor di dunia, sejak dari lingkungan pemukiman sampai sungai. Meski Eropa dan Amerika Utara juga mengalami dampak perubahan iklim, tetapi lingkungan hidup, seperti pemukiman, taman, dan hutan tetap terpelihara baik; masyarakatnya rata-rata cukup disiplin, misalnya dengan tidak membuang sampah seenaknya.

Gejala ini juga terlihat jelas di Indonesia. Lingkungan hidup di negara ini termasuk salah satu yang paling rusak di antara negara-negara lain. Bahkan, Indonesia adalah salah satu di antara  negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, terutama karena penebangan hutan—apakah resmi atau liar.

Jauh sebelum Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim dikeluarkan, MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya ada Fatwa MUI No 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan; Fatwa  No 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.

Kenapa fatwa-fatwa itu nampaknya tidak efektif? Hal ini mengisyaratkan rendahnya kesadaran kaum Muslimin Indonesia tentang perlunya  penyelamatan lingkungan ekosistem guna mengurangi akumulasi dampak perubahan iklim. Inilah salah satu ‘pekerjaan rumah’ bagi setiap Muslim yang peduli. []

REPUBLIKA, 27 Agustus 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar