Selasa, 25 Agustus 2015

BamSoet: Kado Tak Sedap di HUT RI



Kado Tak Sedap di HUT RI
Oleh: Bambang Soesatyo

Kinerja perekonomian nasional terkini menjadi kado yang sungguh tidak menyenangkan ketika segenap rakyat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-70.

Kalau salah urus ekonomi berkelanjutan, Indonesia akan limbung di tengah perang nilai tukar valuta (currency war) yang disuluti oleh Amerika Serikat (AS) dan China. Segalanya kini jauh dari ideal. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri, pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sudah mengungkap data atau indikator pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor bisnis.

Dari sektor garmen, kementerian tenaga kerja sudah menerima laporan tentang PHK terhadap 30.000 pekerja. Tiga institusi itu sepakat bahwa gelombang PHK massal hanya persoalan waktu. KSPI bahkan memperkirakan jutaan pekerja dari sektor padat modal, seperti industri auotomotif dan elektronik, berisiko menghadapi PHK jika ekses perang valuta saat ini tak bisa direduksi pemerintah Indonesia.

Gambaran tidak sedap lainnya terlihat pada kinerja rupiah. Seperti dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, depresiasi rupiah terhadap dolar pasca devaluasi Yuan (valuta China) sudah mencapai 10,16%. Beberapa saat setelah China mendevaluasi Yuan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh level Rp13.815 per dolar AS pada pembukaan perdagangan Kamis (13/8). Pemerintah sendiri malah terlihat seperti tak berdaya.

Penyerapan belanja Kementerian dan lembaga (KL) hingga 31 Juli 2015 baru Rp261 triliun, atau 32,8%, dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp795,5 triliun. Dari fakta ini, jelas bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal memaksimalkan peran APBN sebagai penggerak pembangunan dan motor pertumbuhan.

Salah satu faktor utama penyebabnya adalah nomenklatur K/L tak kunjung selesai. Bukan hanya K/L di tingkat pusat, hampir semua pemerintah daerah pun gagal me-maksimalkan peran APBD. Hingga Agustus 2015, terdapat Rp273 triliun dana pembangunan daerah siap pakai yang masih mengendap di perbankan. Jumlah itu merupakan akumulasi dana milik seluruh pemerintahan provinsi serta kabupaten/ kota.

Tak hanya gagal memaksimalkan fungsi APBN dan APBD, pemerintahan sekarang ini pun gagal menjalankan fungsinya sebagai regulator yang menjaga keseimbangan permintaan-penawaran untuk semua komoditi kebutuhan pokok. Setelah kasus daging sapi, kini muncul masalah pada komoditas cabai dan tomat. Tiba-tiba terjadi lonjakan pada harga cabai rawit yang mencapai Rp70.000 per kg.

Untuk mengendalikan lonjakan harga itu, Perum Bulog menggelar operasi pasar. di sejumlah pasar tradisional di Semarang, kenaikan harga cabai galak atau cabai setan mencapai 100 persen. Komoditi tomat mengalami gejala sebaliknya. Pada periode panen sekarang, harga tomat di tingkat petani anjlok hingga Rp200 per kg. Penurunan harga ini dialami petani di Garut, Cianjur, dan Bandung. Padahal, di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, harga tomat dibanderol Rp4.000 per kg.

Pada kasus daging yang harganya demikian mahal itu, tampak jelas bahwa pemerintah tidak mampu mengontrol atau mengendalikan pasokan dan permintaan. Sejatinya, permintaan daging sapi tetap tinggi. Namun, harganya menjadi sangat mahal karena ada kekuatan yang mampu memperkecil volume pasokan ke pasar. Pemerintah sendiri mengakui bahwa minimnya pasokan itu tidak masuk akal karena stok sapi siap potong mencukupi. Polri melakukan penyelidikan.

Hasilnya, ditemukan sejumlah perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang sengaja menghentikan pasokan ke pasar. Ada ribuan ekor sapi siap potong tetapi sengaja tidak dipotong untuk memasok permintaan pasar. Tentu saja model kasus seperti ini patut membuat semua orang marah, tapi juga menggelikan jika dikaitkan dengan peran pemerintah sebagai regulator.

Bukankah pemerintah yang mengeluarkan izin impor sapi potong? Logikanya, pemerintah tahu dengan detil stok sapi potong di tangan importir atau feedloter. Kalau kemudian volume pasokan ke pasar dibuat sangat minim sehingga terjadi lonjakan harga daging sapi, mengapa pemerintah sebagai penerbit izin impor tidak memerintahkan para importir/feedloter membanjiri pasar dengan daging sapi potong?

Salah Prioritas

Segala sesuatu yang tidak ideal itu terus menjadi bahan pemberitaan pers di tengah kegiatan masyarakat mempersiapkan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-70, yang jatuh pada Senin, 17 Agustus 2015. Tentu saja banyak orang dibuat tidak nyaman. Komunitas pedagang daging sapi yang marah sempat melancarkan aksi mogok jualan.

Komunitas pekerja pun mulai gelisah, karena perang nilai tukar saat ini membuat prospek ekspor Indonesia menjadi semakin suram. Perkiraan akan terjadinya PHK massal bisa menjadi kenyataan. Benar bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional saat ini tak lepas dari berlarut- larutnya ketidakpastian global. Akan tetapi, kekeliruan pemerintah menetapkan skala prioritas di bidang ekonomi justru mengeskalasi tekanan bagi perekonomian dalam negeri.

Presiden Jokowi memprioritaskan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna memperluas ruang fiskal agar pemerintah mampu merealisasikan proyek-proyek infrastruktur strategis. Namun, pengurangan subsidi BBM merontokkan daya beli masyarakat. Sebab, kenaikan harga BBM selalu diikuti dengan kenaikan harga barang dan jasa. Kini, terbukti bahwa penurunan daya beli masyarakat itu menyebabkan konsumsi dalam negeri ikut menurun.

Sektor industri dan perdagangan pun harus menanggung akibatnya. Volume produksi mau tak diturunkan. Konsekuensinya, banyak perusahaan harus merasionalisasi jumlah karyawan. Terjadilah gejala PHK massal itu. Prioritas Presiden mengubah tata nama atau nomenklatur K/L ternyata berdampak sangat serius. Nomenklatur itu otomatis mengubah pula anggaran K/L.

Perubahan penganggaran inilah yang menyebabkan penyerapan APBN 2015 menjadi sangat lamban. Presiden juga tidak segera memprioritaskan maksimalisasi atau efektivitas penyerapan anggaran di daerah. Kekeliruan ini menyebabkan potensi anggaran sebesar Rp273 triliun milik semua kabupaten/kota itu sia-sia hingga kini. Pemerintah pernah berjanji akan menerbitkan peraturan presiden (perpres) dan instruksi presiden (inpres) untuk mengatasi persoalan ini.

Sayang, upaya percepatan itu belum juga direalisasikan. Kini, bobot ketidakpastian global semakin bertambah setelah China mendevaluasi yuan. Tantangan eksternal yang semakin berat itu seharusnya mendorong pemerintah melakukan penyesuaian pada skala prioritas. Paling utama adalah mengamankan ketersediaan ragam komoditi kebutuhan pokok rakyat dengan harga yang terjangkau. Kedua, percepatan penyerapan anggaran tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah pusat dan daerah masih memiliki potensi hampir Rp1.000 triliun.

Jika dikelola dengan tepat, potensi itu mampu mengakselerasi pembangunan di dalam negeri. Selain itu, perlu stimulus ekonomi untuk mendongkrak konsumsi dalam negeri. Karena prospek ekspor semakin suram, kini saatnya semua upaya dan kebijakan pemerintah fokus pada percepatan realisasi komitmen investasi, termasuk realisasi pembangunan infrastruktur strategis.

Sebab, dari percepatan realisasi investasi swasta asing maupun lokal, serta investasi pemerintah di sektor infrastruktur strategis, akan tersedia cukup banyak lapangan kerja baru. Pemerintah pun diharapkan bisa lebih fleksibel dalam merumuskan kebijakan harga energi untuk sektor industri.

Fleksibilitas itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing aneka produk manufaktur dalam negeri. Jangan lupa bahwa setelah devaluasi Yuan, produk China akan membanjiri pasar dalam negeri. Mudah-mudahan, pada perayaan HUT RI ke-71 tahun 2016, rakyat boleh mendapatkan kado yang lebih baik. []

Koran SINDO, 21 Agustus 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi III DPR RI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar