Jumat, 21 Agustus 2015

(Ngaji of the Day) Masa Iddah Perempuan yang Cerai Apakah Hanya untuk Memastikan Isi Rahim?



Masa Iddah Perempuan yang Cerai Apakah Hanya untuk Memastikan Isi Rahim?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau bertanya mengenai soal iddah perempuan yang ditalak atau diinggal mati suami. Perempuan yang cerai atau ditinggal mati sebagaimana yang saya ketahui harus menjalani masa iddah. Tujuannya adalah untuk mengetahui bersihnya rahim dari janin. Tetapi saat ini dengan bantuan alat kesehatan ternyata sudah dapat diketahui apakah rahimnya bersih atau ada kandungannya. Nah dari sini saya ingin bertanya, apakah si perempuan yang cerai tersebut masih harus menjalani masa iddah, padahal ia sudah dapat dipastikan menurut dokter bahwa rahimnya bersih. Atas penjelasannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh []

Ina – Bandung

Jawaban:

Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa perempuan yang cerai memang harus menjalani masa iddah atau masa tunggu sampai pada batas waktu tertentu yang telah ditetapkan. Sehingga ketika ia sudah melewatinya ia boleh menikah lagi dengan orang lain.

Memang benar jika dikatakan bahwa salah satu tujuan iddah itu untuk mengetahui bersihnya rahim. Namun bukan hanya untuk itu saja, dalam iddah juga mengandung unsur ta’abbudi. Dengan kata lain, iddah mengandung dua hal, yaitu yang bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.

Yang dimaksud dengan ta’aqquli adalah hal-hal yang bersifat rasional atau dapat dinalar. Dalam konteks iddah maka unsur ta’aqquli-nya antara lain adalah untuk mengetahui bersihnya rahim, di mana hal ini jelas-jelas bisa dinalar. Dengan kata lain, sesuatu itu bersifat ta’aqquli apabila diketahui kemaslahatannya melalui nalar sehat.

Sedang yang dimaksud ta’abbudi ini adalah hal yang tidak bisa dinalar. Dalam konteks iddah adalah menjalani masa iddah sampai selesai sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, meskipun sudah dapat dipastikan bahwa rahimnya bersih.

Karena itu maka para ulama mendefiniskan iddah sebagai masa tunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahmi atau rahim dari kehamilan atau untuk tujuan ta’abbudi. 

وَهِيَ أَيِ الْعِدَّةُ شَرْعًا مُدَّةٌ تَتَرَبَّصُ فِيْهَا الْمَرْأَةُ لِمَعْرِفَةِ بَرَاءَةِ رَحِمِهَا مِنَ الْحَمْلِ أَوْ لِلتَّعَبُّدِ وَهُوَ اِصْطِلاَحًا مَا لاَ يُعْقَلُ مَعْنَاهُ عِبَادَةً كَانَ أَوْ غَيْرَهَا أَوْ لِتَفَجُّعِهَا عَلَى زَوْجٍ وَشُرِعَتْ اَصَالَةً صَوْنًا لِلنَّسَبِ عَلَى اْلاِخْتِلاَطِ

“Iddah secara syar’i adalah masa penungguan oleh perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim atau untuk tujuan ta’abbudi yang secara istilahi merupakan sesuatu yang  pengartiannya tidak bisa dirasionalisasikan, baik bersifat ibadah murni ataupun lainnya, atau untuk berbelasungkawa atas kematian suaminya. Dan iddah pada dasarnya disyaraitakan untuk melindungi keturunan dari ketercampuran (dengan bibit dari lelaki lain)”

Nah, dari penjelasan singkat ini sebenarnya dapat dipahami bahwa perempuan yang cerai harus menjalani masa iddah, meskipun bersihnya rahim sudah dapat diketahui sebelum selesai masa iddahnya.

Alasan yang dapat dikemukakan dalam konteks ini adalah bahwa iddah bukan semata-mata hal yang bersifat ta’aqquli seperti mengetahui bersihnya rahmi, tetapi juga bersifat ta’abbudi atau bernilai ibadah sehingga iddah harus dijalani sampai selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Sesuatu yang masuk dalam kategori yang bersifat bersifat ta’abbudi itu tidak bisa dikutak-katik. Karena pada dasarnya dalam soal ibadah kita hanya mengikuti petunjuk yang sudah ditetapkan, tanpa harus mempertanyakannya.

Jadi, dua hal ini yaitu ta’aqquli dan ta’abbudi menjadi sesuatu yang melekat pada diri iddah sendiri. Dan keduanya tidak perlu dipertentangkan. Dua  model pendekatan inilah yang kemudian digunakan oleh para ulama untuk menjelasakan persoalan kenapa perempuan yang cerai meski sudah sudah diketahui rahimnya bersih sebelum masa iddahnya selesai masih harus menyelesaikan masa iddah sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga penjelasan singkat ini bisa memadai sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. Wb

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar