Rabu, 12 Agustus 2015

Buya Syafii: Kapan Bangsa Ini Dewasa?



Kapan Bangsa Ini Dewasa?
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sekalipun embrio pembentukan keindonesian dapat dilacak sejak abad ke-5 M dengan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu di Kutai Kertanegara atau Tarumanegara di Jawa Barat, proses riil yang didukung oleh fakta sejarah baru terjadi pada 1920-an. Dipelopori oleh PI (Perhimpunan Indonesia) di Negeri Belanda dan gerakan pemuda di tanahair yang berpuncak dengan Deklarasi Sumpah Pemuda pada 1928, Indonesia sebagai bangsa menemukan momentumnya yang strategis dan dinamis. Ungkapan seperti bangsa Jawa, bangsa Ambon, bangsa Banjar, bangsa Minang, bangsa Bugis, bangsa Dayak, bangsa Batak, bangsa Aceh, dan lain-lain, dengan terwujudnya Indonesia sebagai bangsa, maka bangsa-bangsa yang banyak itu menjadi suku bangsa yang jumlahnya bisa ratusan dengan subkulturnya masing-masing yang bertebaran di pulau-pulau yang jumlahnya sekarang sekitar 13466.

Jika patokan tahun 1920-an sebagai pembentukan keindonesiaan dapat disetujui, maka usia bangsa ini masih belum satu abad, sedangkan Indonesia sebagai negara baru terjadi pada 17 Agustus 1945, saat proklamasi kemerdekaan disampaikan ke seluruh pojok dunia. Alangkah dahsyatnya gema proklamasi itu, bangsa yang sebelumnya terjajah, tiba-tiba berubah menjadi bangsa merdeka. Peta dunia berubah dengan drastis. Indonesia yang sebelumnya bernama Hindia Timur Belanda, kini tampil sebagai Indonesia yang berdaulat penuh sejajar dengan mantan penjajahnya. Rakyat Indonesia berpesta pora sebagai tanda syukur atas karunia Allah ini, sedangkan Belanda dengan ambisi kolonialnya yang masih menggebu harus meratap akibat kehilangan tanah jajahannya yang cantik molek ini yang selama tiga setengah tahun berada di bawah pendudukan Jepang.

Sebuah bangsa yang belum berumur satu abad, sekalipun secara kultural memang belum stabil betul, tidak ada alasan bagi kita terus cengengesan (seperti prilaku bocah). Jika tonggak kedewasaan bangsa ini tercermin dalam Pemilu 1955 yang aman, damai, adil, dan jujur, sekalipun baru merdeka 10 tahun, maka sekarang terasa kita mengalami kemunduran dalam cara kita mengurus bangsa dan negara ini. Di ranah politik kemunduran itu terbaca dalam prilaku politisi yang belum juga naik kelas ke posisi negarawan, sebagai berulang saya tulis dalam Resonansi ini.

Sepinya para negarawan ini adalah bencana bagi Indonesia, karena tujuan kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan terwujudnya kemakmuran bersama masih jauh berada di ujung lorong sana. Amat sedikit politisi yang berfikir jauh ke depan. Lorong itu cukup panjang untuk dilalui, sementara para pemimpin formal seperti telah kehilangan kepekaan tentang tujuan kemerdekaan bangsa itu. Tengoklah sudah berapa mantan menteri, gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR/DPRD yang telah manjadi pasien KPK karena prilaku korup mereka. Korupsi yang semakin memiskinkan rakyat banyak itu adalah musuh utama dari cita-cita luhur kemerdekaan.

Aneh bin ajaib, proses pelemahan KPK sebagai salah satu anak kandung gerakan reformasi oleh negara, polri,  dan DPR sugguh sangat melukai perasaan publik yang terkesan bahwa korupsi yang masif itu bukan lagi musuh bersama. Terkait rapat dengan budaya korup ini, mafia migas, mafia pertambangan, mafia hukum, mafia rekrutmen apparat negara dan PNS (Pegawai Negeri Sipil), mafia STNK, dan mafia pada banyak sektor yang lain sampai hari ini belum juga surut. Entah berapa ribu triliun pundi-pundi negara digarong oleh perbuatan hitam mafia ini. Pusat-pusat korupsi ada di kementerian, DPR, parpol, BUMN/BUMD, dan pada banyak lembaga. Semua fenomena ini adalah bukti kongkret bahwa bangsa ini secara moral tidak dewasa, jika parameter kedewasaan itu ditandai oleh rasa tanggung jawab yang besar terhadap kepentingan publik yang masih saja terbiar.

Pada 17 Agustus 2015 bulan depan, usia kemerdekaan bangsa ini akan genap 70 tahun, sebuah usia yang semestinya semakin matang dalam cara kita mengurus dan membela bangsa dan negara ini. Keteledoran kita dalam menangani persoalan bangsa ini hanyalah akan memperpanjang derita mereka yang belum juga merasakan makna kemerdekaan bagi nasib mereka yang belum kunjung membaik. Momentum hari kemerdekaan adalah saat yang tepat untuk mempertajam kepekaan nurani kita terhadap nasib sesama anak bangsa yang masih saja berada di pinggir perhatian. Fenomena cengengesan adalah pertanda ketidakdewasaan itu. []

REPUBLIKA, 04 Agustus 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar