Jumat, 14 Agustus 2015

Kang Komar: Pintu



Pintu
Oleh: Komaruddin Hidayat

Setiap hari kita berurusan dengan pintu. Di rumah saja setiap hari setidaknya kita keluar-masuk pintu rumah, kamar mandi, dan kamar tidur.

Begitu keluar kita melewati pintu pagar, lalu pindah lagi masuk pintu mobil. Sampai tempat kerja ketemu lagi sekian banyak pintu. Betapa vitalnya fungsi sebuah pintu sehingga pintu juga menjadi objek bisnis yang melibatkan sentuhan seni. Sebuah pintu pagar atau rumah bukan sekadar penutup dan pembuka lorong untuk keluar masuk bagi penghuninya, melainkan juga menampilkan status sosial pemiliknya.

Jadi, wujud fisik sebuah pintu juga berperan sebagai pintu atau jendela bagi orang lain untuk mengintip selera seni dan tingkat ekonomi tuan atau nyonya rumahnya. Pintu itu mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi kita. Kapan kita buka dan kapan kita tutup terserah kita. Dengan demikian, pintu juga menandai kemerdekaan kita. Kita yang punya pintu, kita yang pegang kuncinya dan kita yang menentukan kapan mau membuka atau menutupnya.

Namun, pintu akan menimbulkan persoalan ketika kuncinya macet atau hilang sehingga tidak bisa dibuka. Tiba-tiba kita menjadi tahanan. Tidak lagi memiliki kemerdekaan untuk keluar-masuk. Dan itulah yang terjadi pada mereka yang tinggal di penjara atau rumah tahanan. Penghuninya tidak lagi memiliki dan menguasai kemerdekaan kapan mau keluar atau masuk. Bahkan setiap pintu ada penjaga dengan sikap curiga.

Pintu ternyata juga memiliki makna metaforis. Ada istilah pintu-pintu menuju Tuhan. Padahal, Tuhan lebih dekat dari urat nadi seseorang. Ada lagi pintu tobat, yaitu jalan kembali menuju kebenaran agar mendekatkan pada Tuhan. Dalam wacana politik juga sering terdengar ungkapan pintu masuk ke istana dalam arti literer maupun metaforis.

Untuk dekat dengan pusat kekuasaan para politisi dan pengusaha mesti tahu figur-figur penting yang bisa menjadi pintu masuknya. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua pintu mendekatkan seseorang pada kebaikan dan kesejahteraan. Ada pintu-pintu maksiat dan pintu neraka. Salah pilih pergaulan akan menjerumuskan seseorang ke jejaring narkoba atau korupsi. Di sekeliling kita terbuka lebar pintu-pintu yang akan mengubah nasib begitu kaki melangkah masuk.

Misalnya saja kita salah masuk pintu tol, akibatnya bisa jauh dan nyasar. Begitu pun pintu-pintu kehidupan. Beberapa teman ada yang menyesal dan mengutuk kehidupan karena merasa salah masuk pintu politik yang ujungnya malah membawa sengsara diri dan keluarganya. Lebih jauh lagi memaksa dirinya mesti melangkah masuk pintu tahanan KPK.

Sekali masuk pintu tahanan seseorang terampas kemerdekaannya, suatu mahkota kehidupan termahal sebagai anugerah Tuhan. Semegah apa pun rumah tahanan, lebih mahal harga diri dan kemerdekaan. Ibarat sangkar burung, meski terbuat dari emas tetap tidak sebahagia terbang bebas di alam terbuka.

Perlu kita renungkan, meskipun rumah dan kantor megah, jika penghuninya terampas kemerdekaannya untuk selalu tumbuh berkembang menggapai derajat kebaikan dan kebenaran yang lebih tinggi, maka sesungguhnya seseorang telah terpenjara. Pintunya terkunci. Sekte-sekte keagamaan, ideologi, dan partai politik juga selalu membuka pintunya agar orang lain masuk. Tetapi jangan-jangan sekali masuk tidak bisa keluar lagi.

Dalam rumah kehidupan ini seseorang membuat pintupintu sampai dengan pintu bilik kamar yang kecil. Yang repot ketika seseorang terkurung dalam bilik kecil yang pengap dan tidak tahu bagaimana keluar. Orang tanpa sadar membangun penjara untuk dirinya. []

Koran SINDO, 7 Agustus 2015
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar