Selasa, 25 Agustus 2015

Mahfud MD: KPK Ad Hoc



KPK Ad Hoc
Oleh: Moh Mahfud MD

Pernyataan Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri memancing kontroversi. Di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 18 Agustus 2015 kemarin Megawati menyatakan KPK bersifat ad hoc dan dalam keadaan tertentu harus dibubarkan. Hampir semua media massa memberitakan dengan bumbu opininya dan dunia media sosial beramai-ramai menanggapi dengan kontroversi. Sebenarnya pernyataan Megawati itu normatif saja, tidak ada yang salah dengannya.

Tetapi banyak yang mengkritik dan melihat pernyataan itu sebagai ekspresi ketidaksukaan terhadap KPK dan Presiden Kelima itu ingin membubarkannya. Beritanya menjadi seksi karena di tengah-tengah masyarakat ada yang berpendapat, tak ada hukum yang mengatakan bahwa KPK itu ad hoc, bahkan ada yang mengusulkannya agar KPK dimasukkan secara resmi ke dalam konstitusi supaya menjadi lebih kuat.

Kritik atas pernyataan Megawati terprovokasi juga oleh penulisan judul berita oleh media massa secara bombastis, tidak menggambarkan keutuhan substansi masalah yang dikemukakan oleh Megawati. Misalnya, ada yang menulis judul berita, ”Megawati: Bubarkan KPK”.

Sesungguhnya substansi yang dikemukakan Megawati tidak seperti tergambar dalam judul yang seperti itu. Megawati tidak salah ketika mengatakan KPK merupakan lembaga ad hoc, lembaga khusus yang bersifat sementara. Saya sendiri berpendapat, berdasar latar belakang sejarah dan dasar hukum kelahirannya KPK memang bisa ditafsirkan sebagai lembaga ad hoc.

Saya katakan itu, misalnya, saat tampil di program Mata Najwa akhir 2013 bersama ICW dan pimpinan KPK yang, antara lain, diwakili oleh Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto. Sejarah dibentuknya KPK itu memang memberi tafsir historis bahwa KPK dimaksudkan sebagai lembaga ad hoc dengan tugas sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi.

KPK itu sebenarnya merupakan kelanjutan, tepatnya sebagai lembaga pengganti, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) untuk melanjutkan amanat reformasi dalam pemberantasan korupsi. Pada awal reformasi bangsa ini bersepakat bahwa penyakit paling berbahaya yang paling meruntuhkan negara ini adalah korupsi.

Korupsi harus diberantas dengan zero tolerance, tak boleh ditoleransi sama sekali. Untuk itu, harta para pejabat negara atau penyelenggara negara dalam level tertentu harus dilaporkan kepada KPKPN agar bisa dinilai kelayakan dan dilacak asal-usulnya. Tetapi KPKPN ini dirasakan kurang efektif, bahkan dianggap hanya menyebar sensasi saat memanggil para pejabat untuk melaporkan kekayaan.

KPKPN pun dibubarkan dan kita pun membentuk KPK dengan UU Nomor 30/2002. Mengapa harus membentuk KPK? Bukankah sudah ada lembaga penegak hukum konvensional seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan organisasi advokat?

Waktu itu disepakati bahwa KPK harus dibentuk karena pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal dan penegak hukumnya belum efektif dan efisien. Alasan itu tidak hanya didiskusikan atau dijadikan notulensi persidangan di DPR, melainkan dituangkan juga di dalam UU KPK.

Di dalam konsiderans UU Nomor 30/2002 tentang KPK, bagian Menimbang butir a disebutkan, KPK dibentuk karena pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal, sedangkan di dalam konsiderans Menimbang butir b disebutkan, KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum efektif dan efisien.

Jadi ada kata kunci ”belum”, yakni belum optimal dan belum efektif. Artinya, KPK itu ada selama lembaga konvensional seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan pada umumnya belum optimal dan belum efektif. Apabila lembaga penegak hukum konvensional sudah bisa optimal dan efektif dalam pemberantasan korupsi, maka KPK dapat dibubarkan.

Jelas, dari sudut historis maupun gramatik keberadaan KPK itu memang ad hoc atau sebagai lembaga antara untuk menguatkan kembali lembaga-lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Namun, sifat ad hoc KPK berbeda dengan sifat lembaga ad hoc pada umumnya yangbiasanya dibentuk dengan tugas tertentu dan dalam waktu tertentu untuk kemudian bubar.

Misalnya dulu Presiden SBY membentuk satu lembaga ad hoc yang dinamakan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dipimpin oleh Jampidsus Hendarman Supandji. Timtas Tipikor sebagai lembaga ad hoc diberi tugas tertentu dan dalam waktu tertentu, yakni menyelesaikan korupsi di sepuluh departemen dalam waktu enam bulan.

KPK berbeda dengan Timtas Tipikor, karena meski diberi tugas tertentu, yakni menangani kasus korupsi dengan kriteria tertentu, namun eksistensi KPK tidak dibatasi oleh waktu tertentu. KPK menurut, UU KPK, diberi tugas tertentu yakni menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara negara dalam level tertentu, dengan dugaan korupsi di atas Rp1 miliar dan menarik perhatian publik.

Sampai kapan sifat ad hoc KPK berlaku, atau, sampai kapan KPK boleh ada? Tak ada batas waktunya. Megawati mengatakan dengan tegas, KPK bisa dibubarkan jika tidak ada lagi pejabat yang korupsi. Jadi sebenarnya Megawati pun, sama dengan kita, menentukan syarat yang berat untuk membubarkan KPK.

Tugas kita sekarang adalah bagaimana menentukan ukuran kualitatif dan mendorong agar lembaga- lembaga penegak hukum bisa berfungsi optimal, efektif, dan efisien dalam perang melawan korupsi. Kalau hal itu sudah dicapai, KPK bisa dibubarkan. Rasanya masih perlu waktu lama untuk sampai ke sana. []

Koran SINDO, 22 Agustus 2015
Moh Mahfud MD | Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar