Senin, 31 Agustus 2015

Quraish Shihab: Keadilan



Keadilan
Oleh: M. Quraish Shihab

Apakah kata yang dapat menggambarkan ajaran Islam secara utuh? Ada yang berkata tauhid, ada lagi yang memilih kata salam/damai. Ada juga yang memilih kata kasih, namun yang paling banyak pendukungnya adalah adil.

Pada masa lalu di Yunani pernah berkumpul sekian banyak filsuf membahas makna Keadilan. Ada yang berkata: “Keadilan tecermin dalam kebenaran ucapan dan kesetiaan membayar utang.” Ada juga yang menggambarkannya dengan: “Bantuan untuk teman-teman dan mudharat terhadap musuh.” Filsuf Thrasymachus menegaskan bahwa Keadilan tidak lain “kecuali keberpihakan kepada yang kuat“.

Sang filsuf menunjuk kenyataan yang dialami oleh masyarakat apa pun dengan sistem pemerintahan apa pun yang mereka anut. Dalam masyarakat itu—menurutnya—terlihat betapa faktor kekuatan mengarahkan makna keadilan. Pemerintah atau penguasa dalam segala kondisi membuat peraturan perundangan yang mengantar kepada terciptanya jaminan untuk kelanggengan kekuasaan mereka. Di sana tidak diperlukan kompetensi sehingga tidak wajar bertanya: “Mengapa saya lebih mampu dari dia, tapi mengapa dia di kedudukan itu?” Karena di sana yang berlaku adalah kekuatan; kekuatan materi, kelompok, atau kekuatan tipu daya.

Dalam pandangan agamawan hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Tuhan semesta alam Yang Maha-adil itu adalah Tuhannya yang kuat dan yang lemah sehingga seperti ucap Sayyidina Abubakar ra. ketika menerima jabatan kekhalifahan: Yang kuat di antara kamu, lemah hingga hak orang lain yang direbutnya kukembalikan kepada pemiliknya, dan yang lemah, kuat sampai kukembalikan haknya yang direbut orang lain.

Keadilan dalam pandangan agama dan moralis adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang semestinya. Keadilan adalah memberi hak kepada pemiliknya dengan cara yang terbaik dan dengan secepat mungkin. “Penundaan pembayaran utang bagi yang mampu adalah kezaliman,” begitu sabda Nabi saw. Itu karena penundaan tersebut tidak pada tempatnya. Demikianlah, segala sesuatu ada tempatnya.

Ada “tempat” bagi Tuhan, antara lain Dia harus diesakan dan diagungkan sesuai kebesaran-Nya. Manusia pun ada tempatnya. Tidak adil/ kezaliman/ keliru kalau anak dihormati sebagaimana penghormatan kepada ayah. Tidak adil juga bila peci Anda tempatkan di kaki atau mandi di ruang tidur dan makan di WC. Keadilan dalam masyarakat terlaksana dengan baik bila setiap anggotanya berada pada tempat yang sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Ini mencakup pemimpin mereka yang tertinggi hingga rakyat jelata yang lemah. Karena itu, KKN adalah kezaliman.

Dari sini perlu ada ukuran/kriteria bagi segala sesuatu agar ia ditempatkan di tempat yang semestinya. Sebelum meletakkan sesuatu, ketahuilah apa sesuatu itu dan apa tempat yang tersedia untuknya. Atau bila Anda telah memiliki tempat tertentu, maka letakkanlah di sana apa yang sesuai, karena keliru jika Anda meletakkan air di wadah yang bocor. Tidak adil juga jika Anda meletakkan seorang yang bodoh atau tidak tepercaya menjadi pemimpin karena itu berakibat fatal. “Apabila satu tugas diserahkan kepada yang tidak memiliki kriteria yang diperlukan untuknya, maka nantikanlah kehancurannya,” begitu sabda Nabi saw. Di tempat lain beliau mengingatkan, “Siapa yang memilih seseorang sedang dia mengetahui ada yang lebih mampu daripada yang dipilihnya, maka dia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan amanat kaum muslimin.”

Keadilan adalah dasar utama dalam segala persoalan. Ia harus ditegakkan terhadap yang dibenci sekalipun (QS. al-Mâ’idah [5]: 8). Itu sebabnya banyak ulama menegaskan bahwa, “Negara/ Pemerintahan non-muslim yang menegakkan keadilan akan didukung Allah ketimbang Negara/ Pemerintah yang mengaku Muslim tapi tidak menegakkan keadilan.” Wa Allâh A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar