Senin, 10 Agustus 2015

BamSoet: Menggoreng Tax Amnesty



Menggoreng Tax Amnesty
Oleh: Bambang Soesatyo

Tax amnesty (pengampunan pajak) akan membunuh kepatuhan masyarakat wajib pajak. Maka Presiden Joko Widodo jangan ceroboh agar tidak terperangkap, sebab wacana sekaligus desakan untuk segera memberlakukan kebijakan tax amnestyadalah ”proyek” sekelompok orang yang ingin mencari untung dari upaya penghapusan hampir Rp80 triliun piutang pajak.

Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 2013, jumlah piutang pajak bruto pada neraca tercatat Rp103,24 triliun. Dari jumlah itu, piutang pajak bruto pada Ditjen Pajak mencapai Rp77,36 triliun. Diperkirakan bahwa persentase terbesar dari piutang pajak itu bersumber dari dana orang kaya Indonesia yang disimpan di luar negeri.

Piutang pajak sebesar itulah yang ingin ”digoreng” oleh sekelompok orang sebagai proyek dengan modus tax amnesty. Kalau piutang pajak sebesar itu dikurangi atau dihapuskan dengan pendekatan tax amnesty, taruhannya adalah masa depan kepatuhan rakyat membayarkan kewajiban pajaknya.

Para penggagas kebijakan tax amnesty mengemukakan bahwa pengampunan pajak diperlukan untuk memancing atau menarik pulang dana orang kaya Indonesia yang disimpan di luar negeri, utamanya di Singapura dan Belanda, karena adanya perjanjian perpajakan (tax treaty) dengan Indonesia.

Tahun lalu, seorang direktur bank BUMN mengungkapkan jumlah uang orang kaya Indonesia yang disimpan di Singapura mencapai RP4.000 triliun. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat pada tahuntahun mendatang. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) boleh dijadikan acuan.

Pertumbuhan rata-rata jumlah orang kaya di Indonesia yang memiliki aset finansial minimal USD1 juta mencapai 7,5% per tahun. Merekalazimdisebut high net worth individual (HNWI). Jumlah riilnya saat ini sekitar 40.450 orang. Komunitas HNWI inilah yang memanfaatkan tax treaty untuk menempatkan dananya di Singapura dan Belanda agar terhindar dari kewajiban pajak di Indonesia.

Dari kecenderungan peningkatan jumlah HNWI di Indonesia itu, konsultan McKinsey & Company memperkirakan dana orang kaya Indonesia yang diparkir di luar negeri bakal mencapai USD250 miliar pada 2016. Dan, sekitar USD200 miliar di antaranya disimpan di Singapura.

Kalau orang-orang kaya itu mau membawa pulang uangnya ke Indonesia, mereka hanya dibebani pembayaran pajak antara dua hingga lima persen saja dari total utang pajak masingmasing pemilik dana. Begitulah konsep awal yang sudah disiapkan para penggagas tax amnesty.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi dan penyikapan komunitas WP jujur di Indonesia. Mereka pasti iri melihat para pengemplang pajak itu mendapatkan fasilitas khusus dan perlakuan istimewa. Sudah sejak dulu semua orang tahu betapa sulitnya pemerintah menjaring dan meningkatkan jumlah wajib pajak (WP).

Menurut sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia 237.641.326. Tahun ini, jumlahnya diperkirakan 250 juta jiwa. Berapa jumlah WP? Masih sangat kecil. Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tercatat 44,8 juta orang saja.

Tahun ini, PTKP diperkirakan sudah mencapai 60 juta. Dari jumlah itu, baru 27 juta yang telah terdaftar sebagai WP. Rincian WP per 2013 memperlihatkan jumlah WP badan sebanyak 2.218.573, WP bendahara 555.995 dan jumlah WP orang pribadi 23.082.822. Untuk WP pribadi, persentase terbesar karyawan.

Betapa sulitnya meningkatkan jumlah WP di Indonesia bisa dilihat dari data beberapa tahun terakhir ini. Jumlah WP tahun 2005 tercatat 4,35 juta, tahun 2009 bertambah menjadi 15,91 juta dan tahun ini sudah mencapai 27 juta WP terdaftar. Tidak setiap tahun semua WP taat menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).

Untuk tahun ini, WP perorangan yang melaporkan SPT mencapai 9,92 juta dan WP badan berjumlah 164.359.

Kontradiktif

Maka, kalau kebijakan tax amnesty diterapkan dalam jangka dekat ini, risikonya jelas sangat besar bagi negara. Dalam jangka menengah dan panjang, pengampunan pajak bagi segelintir orang kaya raya itu justru dapat menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat WP.

Karena itu, pemerintah jangan sampai terperangkap oleh lobi-lobi berbagai pihak yang mendorong percepatan penerapan kebijakan tax amnestydi Indonesia. Argumentasi bahwa tax amnestyakan meningkatkan penerimaan negara adalah imingiming sesaat.

Sebab, ketika wajib pajak tertentu mendapatkan pengampunan, pada saat yang sama dia sebenarnya diizinkan merampok uang yang seharusnya menjadi hak negara dan rakyat. Bayangkan, sudah melakukan penggelapan dan penghindaran pajak, tetapi masih mendapatkan fasilitas dan perlakukan khusus dari negara.

Tax amnesty sejatinya adalah rekayasa kebijakan yang pastinya akan membenturkan WP jujur dengan negara. Para WP jujur merasa diperlakukan tidak adil. Di kemudian hari, WP jujur akan terdorong melakukan penggelapan dan penghindaran pajak karena berasumsi bahwa pada suatu saat nanti negara pasti akan memberikan lagi tax amnesty atau pengampunan pajak itu.

Risiko menurunnya kepatuhan WP inilah yang harus diperhitungkan dengan bijak dan cermat oleh pemerintah. Kalau tax amnesty diterapkan, upaya meningkatkan jumlah WP pada tahun-tahun mendatang akan sangat sulit. Pasalnya, masyarakat menduga pemerintah akan selalu memberikan pengampunan pajak.

Saat ini, ada upaya dari sekelompok orang mendorong pemerintah mempercepat penerapan kebijakan tax amnesty. Pemerintah diberi iming-iming bahwa jika tax amnesty diterapkan, dana masyarakat Indonesia yang sekarang ditempatkan di negara lain akan mengalir masuk lagi ke dalam sistem perbankan Indonesia.

Kekeringan likuiditas di dalam negeri akan tertolong dengan masuknya dana milik WNI dari luar negeri itu. Argumentasi seperti itu sarat jebakan dan berisiko sangat tinggi. Pemerintah diharapkan tidak terjebak pada skenario seperti itu. Untuk itu, Presiden perlu menggunakan wewenangnya menghentikan tahapan dan proses membuat rancangan kebijakan tax amnesty itu.

Termasuk upaya memasukan klausul tax amnesty dalam revisi Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kalaupun pada akhirnya tax amnesty diperlukan sebagai instrumen untuk menambah volume pembiayaan, rancangan kebijakannya harus memperhatikan rasa keadilan segenap rakyat Indonesia.

Harus juga mempunyai landasan hukum yang kuat, serta didukung data yang akurat dan lengkap, sebab tax amnesty itu kebijakan yang instan. Usianya tidak boleh lama. Karena itu, derajat keyakinan akan keberhasilannya haruslah sangat tinggi. Kalau kalkulasinya ngawur atau hanya sekadar perkiraan, Presiden harus berani menggugurkan opsi kebijakan itu.

Soalnya, tax amnesty akan terlihat sebagai kebijakan yang kontradiktif jika dihadapkan pada program Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 yang sudah dicanangkan pemerintah. Dengan moto reach the unreachable, touch the untouchable, program ini bertujuan mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan nasional dengan memaksimalkan potensi penerimaan pajak.

Pemerintah akan memetakan potensi itu dengan membaca data-data pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), OJK, Bank Indonesia, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta kementerian/lembaga. Hasil pemetaan itulah yang akan dijadikan pijakan untuk program intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan.

Kalau ada kebijakan tax amnesty yang dilandasi pertimbangan asal-asalan, intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan itu akan mendapat perlawanan keras dari rakyat. []

Koran SINDO, 15 Juli 2015 − 08:22 WIB
Bambang Soesatyo | Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI/Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar